You are viewing a single comment's thread from:

RE: Kuliah S1 di Jerman: Tahap pertama mesti lulus "Studienkolleg" dulu

in #indonesia7 years ago (edited)

Sekedar cerita, saya punya kerabat yang sudah kuliah s1 di Bandung tapi di semester II dia memutuskan untuk pindah ke Jerman dengan alasan kualitas pendidikan di sana lebih baik. Saat sudah di Jerman, dia mengikuti serangkaian kegiatan untuk memperdalam bahasa Jerman. Saya kurang paham apa sebutannya, karena dengan menggunakan bahasa Asing. Hampir dua tahun dia di Jerman namun sayangnya dia tidak lulus ujian bahasa Jerman yang digunakan sebagai syarat perkuliahan. Secara akademik menurut saya anaknya cukup pintar, tapi akhirnya dia harus pulang karena tidak lulus ujian bahasa.
Ternyata cukup sulit bisa berkuliah di Jerman. Walau katanya biaya kuliahnya cukup murah bahkan geratis, namun harus ada serangkaian tes yang harus dilalui.
Saya pribadi salut dengan mahasiswa Indonesia yang berhasil kuliah di Jerman dan menamatkannya.

oh ya satu lagi, adakah cerita tentang anda hingga bisa menetap di Jerman? Saya ingin sekali membacanya..
terima kasih :D

Sort:  

Kegagalan paling sering karena faktor ketidak mampuan untuk adaptasi dan kebanyakan kerja.
Mahasiswa Indonesia banyak yang tidak siap untuk mandiri. Mandiri disini bukan sekedar mandiri dalam hal ngurus makan minum dan hal pribadi lainnya sendiri. Tapi yang lebih krusial adalah dalam hal usaha untuk aktif "self informed" dan mau "speak up", ngga malu bertanya hanya karena takut kehilangan muka.
Insiden klasik itu gini misalnya: "Guru bertanya:"Ada pertanyaan?" Semuanya pada diem... padahal sebenarnya masih ngga ngerti, tapi gengsi nanya... mungkin karena kebiasaan jelek di Indonesia temen2nya pada suka ngetawain kalau ada pertanyaan yang dianggap nggak cukup intelek sih (kayak yang ketawa itu udah paling pinter aja gitu hehe), jadi keder untuk nanya. Takut dianggap bodoh gitu.
Padahal logika, sang guru sekalipun ngga selalu bisa menjawab pertanyaan lho, tidak ada orang yang tahu semua hal didunia ini.
Dulu sering temen saya waktu di Studienkolleg milih ngerecokin saya untuk nanya ini itu, padahal sang guru ada di depan. Saya sih jawab ya, tapi sang guru sampe negur ngingetin kalau beliau itu di depan bukan cuma untuk pajangan LOL.
Kebiasaan takut nanya ini jelek banget efeknya, karena ketika kita udah di bangku kuliah, ngga semua temen deket kita itu ngambil fokus studi yang sama dengan kita, ngga selalu ngambil kelas yang sama dengan kita jadi ngga selalu aturan tertentu yang berlaku buat dia ngga selalu berlaku buat kita meskipun fakultasnya sama, karena setiap Profesor bisa punya tuntutan yang berbeda untuk tugas tertentu yang dia berikan.
Nggak jarang kesalahan sepele seperti "adanya kewajiban hadir minimal 80%" tiba-tiba nggak tahu, hanya karena biasanya nggak ada kewajiban begitu, atau syarat mengikuti ujian yang bisa bervariasi juga. Ada juga kasus anak yang 1 semester penuh ngga ngapa-ngapain karena dia ngga tahu kalau booking kursi untuk seminar tertentu yang dia lakukan itu ternyata semuanya berlaku untuk semester yang akan datang. Hal-hal macam gini bisa dihindari andai aja anak indonesia yang terbiasa dengan pola didikan "semua sudah ditentukan dan dimanage" sementara dia tinggal mengerjakan dan nunggu instruksi.
Dan satu hal penting terkait dengan usaha menguasai bahasa jerman dengan baik: kebanyakan mahasiswa indonesia hobinya hang out dengan sesama orang indonesia, atau paling jauh sesama orang asing yang tentunya kemampuan bahasa jermannya juga ngga semuanya cukup bagus.
Ngga banyak yang aktif hang out dengan orang lokal.
Baca koran berbahasa Jerman dan nonton berita TV lokal juga nggak suka...
Kalau begini, gimana mereka mau cepet pinter bahasanya?
Contohnya aja saya, bahasa jerman saya bisa bagus karena dengan suami selalu berbahasa jerman sehari-hari... tapi banyak ibu-ibu indonesia yang nikah sama orang jerman aja sehari-hari lebih suka berbahasa inggris cuma karena merasa toh udah lulus "integration course" dan punya PR, ngga butuh lagi memelihara standar kemampuan bahasa jermannya, apalagi memperbaiki. Asal bisa untuk ngegosip sesekali dan belanja atau urusan remeh temeh dengan orang setempat cukup lah.
Urusan-urusan yang rada penting toh ada suami yang ngerjain....
Nah, dengan begini, nggak heran mengapa rata2 ibu2 yang nikah sama orang jerman juga kemampuan bahasanya stagnan, bahkan kalau dibandingkan dengan hasil test bahasanya waktu datang ke Jerman jadi menurun kualitasnya, padahal dulunya sempat dapat nilai bagus pas ujian kursus.
Ini salah satu kelemahan yang umum di aspek bahasa mas.
Kesuksesan kuliah itu kuncinya ngga cuma dengan rajin datang ke kelas dan dengerin pidato dosen saja.
Terakhir, siswa di Indonesia rata-rata terbiasa dengan "memorising too many things" instead of nurturing the ability to solve problem.
Sementara disini, "memorising" rumus itu nggak penting. Kita ujian aja pada umumnya boleh bawa kumpulan rumus, ujian Kimia juga boleh bawa "periodensystem" ngga perlu itu hafal kode ilmiah macam2 unsur kimia segala.
Something that a computer, a calculator could do better than us should just be given to them to solve, and something that are easily found out just by opening an ensiklopedia, why the professor need to ask the answer from us: the supposedly future expert of those relevant field?
Mahasiswa diharapkan menjadi Calon expert dimasa depan, maka mestinya mereka di tuntut untuk bisa "mikir" sendiri, untuk "solving problem" dan bukannya "sekedar" mengulang isi buku yang ditulis orang lain sebelumnya, apalagi secara literal.
Nah, hanya anak2 yang bisa menyesuaikan diri dengan mindset baru macam inilah yang bakal sukses mas, yang ngga bisa berubah ya susah :)