Orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya. Sesulit apapun kondisi yang dihadapi oleh orang tua, tak mungkin terbersit untuk membiarkannya hidup menderita. Itu pula yang dirasakan oleh sang penulis, Han Hee-Seok.
Bila selama ini Anda mungkin menyaksikan betapa indah dan menariknya kehidupan di Korea Selatan, maka ada sisi lain persaingan mengerikan yang mungki sulit untuk dibayangkan. Di negeri Ginseng, persaingan hidup bahkan telah dimulai sejak anak dilahirkan. Pasalnya, siapa dan apa pekerjaan orang tua akan menjadi dasar penentu masa depan sang anak.
Demikian halnya dengan Han Hee-Seok. Terlahir di sebuah keluarga yang miskin, Han Hee-Seok selalu dibayangi oleh ketakutan akan mewariskan kemelaratan kepada anak-anaknya. Hidup miskin baginya adalah suatu keniscayaan. Namun, yang dia pahami adalah kemiskinan yang dialaminya tak lain dimulai dari pendidikan yang kurang mumpuni.
Dari sini lah kemudian Han berupaya ‘setengah mati’ untuk memberikan bimbingan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya. “Aku tidak ingin anak-anakku mendapatkan ketidakadilan dan mengalami hidup yang tidak layak hanya karena tidak memiliki uang.” (halaman 23). Kalimat ini menguatkan tekad Han untuk mencari cara agar masa depan anaknya tidak suram lantaran tidak mengenyam pendidikan dengan optimal.
Proyek masa depan ini dimulai dari tantangan pertama: mendidik Geoul, anak sulungnya. Geoul bisa dibilang belum menunjukkan minat pada bidang apapun. Sebenarnya hal ini tak terlalu memusingkan jika saja Han sanggup untuk memasukkan Geoul ke kelas kursus. Bimbingan dari guru kelas kursus telah terbukti mampu mengasah dan menampilkan potensi anak-anak didik mereka.
Apalagi fasilitas berupa kursus bagi anak-anak usia sekolah di Seoul, Korea Selatan, memang sudah dianggap lumrah, bahkan wajib untuk dilakukan. Namun, saking terbatasnya penghasilan Pak Han, dia tidak mampu membayar biaya kursus di manapun.
Wajar saja, Pak Han hanya berprofesi sebagai seorang penulis yang belum terkenal. Kalau penulis yang sudah diakui, mereka akan menerima kontrak oleh penerbit. Lain halnya dengan Pak Han yang mesti menulis naskah bukunya baru kemudian menawarkannya kepada penerbit. Untuk memenuhi kebutuhan harian, Han pun bekerja serabutan sebagai buruh pada lokasi konstruksi. Kesulitan ekonomi semakin terasa tatkala istri Han juga diberhentikan dari pekerjaannya.
Di saat semua terasa kian menghimpit, Han justru merasa semakin yakin untuk memulai strategi peningkatan kemampuan akademis Geoul. Karena tidak punya latar belakang sebagai pendidik dan sama sekali buta mengenai teknik mengajar, maka Han pun menghubungi saudaranya yang memang memiliki kompetensi sebagai pengajar.
Diawali dengan meminta anaknya untuk meniru cara belajar siswa terpandai di kelas, Geoul pun mulai mengingat materi pelajarannya. Meski perlahan tetapi pasti, Geoul kemudian menunjukkan peningkatan nilai. Yang unik, bila orang tua lain mengurangi bahkan melarang anak-anak mereka menonton televisi, Han justru menjadikan tv sebagai salah satu media ajar yang efektif.
Han berpendapat bahwa televisi akan memberikan banyak hal positif jika kita menonton dengan bijak (hal. 35). Khususnya untuk program dokumenter yang meliput mengenai lingkungan, sosial, pendidikan, budaya, dan lain-lain. Media lain yang juga menjadi pilihan dari Han untuk mengedukasi Geoul adalah kolom surat kabar. Tidak tanggung-tanggung, di tengah sempitnya pendapatan keluarga, Han memutuskan untuk berlangganan dua surat kabar sekaligus. Tujuannya tidak lain untuk melatih Geoul memiliki sudut pandang yang berbeda.
Menuntut anak untuk mengubah gaya belajar dan mendampingi proses pendidikan Geoul juga membawa pengaruh terhadap pergeseran kebiasaan Han. Bila tadinya Han sangat suka minum soju (minuman keras khas di Korea) atau bir dan merokok, kini semua kebiasaan itu dihapuskannya. Bahkan, tidak hanya Han yang berupaya mengubah diri, istrinya pun mencoba tes menjadi pegawai asuransi, walau dirinya punya sifat pemalu.
Geoul pun dengan susah payah mengikuti segala arahan dari ayahnya. Han pun tak pernah bosan untuk menyiapkan guntingan kolom koran yang disusun menjadi kliping agar mudah dibaca oleh Geoul. Bukan cuma itu, setiap hari sepulang sekolah, Han senantiasa menyempatkan diri untuk bertanya mengenai materi apa yang dipelajari oleh Geoul di sekolah.
Caranya sangat sederhana, yakni dengan meminta Geoul untuk menjelaskan soal seakan Han adalah muridnya. Dengan begitu, suka tidak suka Geoul harus berupaya mengulang pelajaran sekolahnya.
Han pun tidak mudah puas. Dirinya meluangkan waktu untuk memilih lokasi wisata yang gratis untuk dikunjungi bersama anak-anaknya di waktu liburan sekolah. Sampai kemudian pada rapor terakhir SMP milik Geoul tertera peringkat pertama dari seluruh murid di sekolahnya. Ya, Geoul ternyata metode pengajaran yang dilakukan meski tanpa menginjak bangku kursus, efektif untuk dilakukan.
Akan tetapi, perjuangan masih panjang. Han ingin agar kelak Geoul berkuliah di kampus ternama, sehingga ketika lulus punya kesempatan bersaing untuk bekerja di tempat terbaik dan mengubah nasibnya. Maka dimulailah pertarungan untuk mempertahankan prestasi Geoul.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Han adalah mengajak Geoul untuk membuat jadwal rencana belajar. “Semakin terperinci jadwal yang kita buat, kita akan semakin aktif menepatinya. Jika ingin menepati janji, maka keinginan kita akan semakin kuat.” (Hal. 102) Geoul pun dengan penuh semangat melaksanakan rencana belajar yang dibuatnya.
Yang hebat, ketika Geoul lalai memenuhi rencana belajarnya, Han memilih untuk memberinya motivasi alih-alih mengomelinya. Menurut Han, tidak ada seorang pun yang dapat menjalankan rencana yang dibuat secara 100%. Cara yang tepat untuk membuat anak merasa tenang.
Stres dan tekanan masa SMA jelas berbeda dengan apa yang dirasakan Geoul pada jenjang pendidikan sebelumnya. Apalagi buku bacaan yang dibutuhkan oleh Geoul, tak semua bisa dibeli oleh Han. Jadi pilihan yang ada hanya meminjam ke perpustakaan. Malangnya, hal yang sama dipikirkan pula oleh orang tua lain. Persaingan meminjam buku pun dimulai. Namun hal tersebut tak menyurutkan semangat Han untuk memperoleh buku yang diperlukan putrinya.
Belum usai tantangan untuk memfasilitasi proses belajar Geoul, ada lagi cobaan yang datang. Kali ini kesulitan dalam pembayaran SPP Geoul dan Yeoul. Syukurlah, kecerdasan Geoul mengetuk simpati wakil kepala sekolahnya untuk memberikan dirinya beasiswa. Demikian halnya dengan Yeoul yang lalu mendapat bantuan pelunasan SPP oleh wali kelasnya.
Perjuangan Geoul pun mencapai Ujian Akhir Nasional. Peserta ujian bisa memilih jurusan kuliah dan kampus yang ingin dituju. Geoul memilih jurusan Bisnis Manajemen yang dikenal sangat sulit dengan tingkat persaingan yang tinggi, sehingga timbul keraguan di benak Han dan istrinya. Apakah Geoul mampu memasukinya?
Han Hee-Seok berhasil menuturkan perjuangannya mengubah nasib melalui peningkatan kualitas belajar anak. Hal yang tadinya dianggap mustahil ditempuh oleh mereka yang punya keterbatasan ekonomi. Bahkan trik dan strategi yang dilakukan oleh Han, sangat mungkin untuk diterapkan di tanah air. Mengingat tingkat persaingan hidup di sini pun tak kalah sulit bila dibandingkan di Korea Selatan.
Meski beberapa penjelasan terasa agak ‘melompat-lompat’, tetapi pembaca tetap bisa memetik makna dari setiap uraian yang dituliskan oleh Han. Apalagi, terdapat beberapa ilustrasi yang membuat buku tidak terasa monoton. Tampilan buku juga tampak menarik dengan kombinasi warna dan pemilihan font judul yang jelas.
Terlepas dari seperti apa kondisi ekonomi Anda, buku ini tepat untuk dijadikan inspirasi dalam mendidik anak. Sangat banyak ide pendampingan belajar anak yang kerap terlewat atau mungkin dianggap sepele oleh kebanyakan orang. Padahal, hal-hal sepele dan sederhana tersebut justru membantu anak untuk lebih memahami pelajaran.
Data Buku:
Judul Asli: If You Are a Parent With No Property, Teach Your Children How to Study
Judul Buku: Parent With No Property
Penulis: Han Hee-Seok
Penerjemah: Rencidiptya
Tahun terbit: 2013
Cetakan ke-: 1
Penerbit: B First (PT Bentang Pustaka)
Jumlah halaman: 232 halaman
ISBN: 978-602-8864-76-3
Gambar: Foto Koleksi Pribadi
Wah, saya langsug tertarik sama buku ini karena kegigihan Han untuk mendidik anaknya sendiri sebelum benar-benar sekolah di sekolah formal. Konsepnya seperti homeschooling. Saya harap, sesibuk apapun orang tua di luar sana, tetap menyempatkan untuk belajar bersama sang anak seperti apa yang Han lakukan :)
Iya mbak @honeyvha22 beneran ini menginspirasi bukunya. Gak jarang orang nyerah duluan lantaran anaknya dianggap gak pintar,. Padahal mungkin seperti tokoh Geoul di buku ini, cuma butuh motivasi dari ortu dan didampingi dengan menyesuaikan karakter si anak. :)
Congratulations @rina3ana! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!