Jurnalisme Damai: Bad News is (not always) a Good News

in #indonesia6 years ago (edited)

sumber

Sebagai negara yang multikultural dengan berbagai etnis, suku, budaya, ras, dan agama, merupakan tantangan besar bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk menjaga keseimbangan dalam keberagaman. Agar kondisi negara tetap stabil, maka sangat dibutuhkan kerja sama yang baik antar warganya untuk mengayomi setiap perbedaan. Bukan menciptakan pertikaian.

Namun, selama beberapa waktu ini Indonesia kembali diguncang dengan berbagai isu SARA yang mengancam toleransi di tengah-tengah masyarakat. Isu SARA memang isu yang paling mudah digoreng sedemikian rupa oleh berbagai pihak yang berkepentingan dan tidak bertanggung jawab, untuk memecahbelahkan bangsa. Salah satu pihak yang paling mungkin menampilkan kasus bertemakan SARA dan membuatnya meledak di tengah-tengah masyarakat adalah media massa. Baik itu media-media mainstream ataupun media-media sosial.

Sejalan dengan pandangan Peter L. Berger mengenai konstruksi sosial atas realitas, maka dalam konteks ini media massa menjadi salah satu elemen yang mampu membentuk realita di tengah-tengah masyarakat, begitu pula realita mengenai pertikaian/konflik/peperangan. Berbagai kasus yang diterima oleh masyarakat merupakan hasil dari perpanjangan tangan media massa. Maka opini yang terbentuk di kepala masyarakat, sangat bergantung pada bagaimana media massa membentuknya. Sesuai dengan fungsi media massa sebagai pengkonstruksi realita.

Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan menjadi sebuah berita bermakna yang disajikan kepada publik (Ibnu Hamad, 2004: 11).


sumber

Apa yang dibaca, didengar, dan ditonton oleh masyarakat dari media massa pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi media atas realitas. Media tidak bisa objektif atau mengutip realita begitu saja dari lapangan, tapi media "membungkus" realita dengan nilai-nilai yang diusungnya. Media selalu punya kepentingan, punya framing, atau pembingkaian atas realita yang ditemukan dan disampaikan kepada khalayaknya. Al-Zastrouw menjelaskan di dalam Alex Sobur (2001: 35), setidaknya media massa itu dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama, kapasitas dan kualitas pengelola media. Kedua, besar kepentingan yang bermain dalam realitas sosial. Ketiga, tinggi/rendahnya taraf kekritisan masyarakat.

Oleh karena itulah, dalam memberitakan berbagai kasus yang ada di tengah-tengah masyarakat pun media akan mewakili nilai-nilai yang mendominasinya. Punya sudut pandang dominan. Sehingga tidak aneh jika masyarakat menemukan media yang pro ke kelompok/pihak tertentu, lalu bersikap kontra dengan lainnya. Seperti itu juga dalam memberitakan isu-isu konflik/pertikaian.

Sudah menjadi sejarah kelam di tengah-tengah masyarakat Indonesia mengenai berbagai pertikaian yang berkaitan dengan SARA. Kasus di Poso contohnya, dapat kita jadikan gambaran bagaimana peranan media massa menjadi pemicu pertikaian antar kelompok etnis sehingga menjadi kian berlarut-larut.

Begitu pula dalam peliputan kasus konflik di Aceh yang terjadi dengan pemerintahan pusat sebelum bencana Tsunami lalu. Media massa juga berperan sebagai mediator untuk semakin memperkeruh ataupun mencapai kesepakatan-kesepakatan.

Kasus SARA lainnya juga masih saja terjadi seperti ketika adanya Bom Bali, pembakaran gereja di Singkil, pembakaran mesjid di Papua, kasus jamaah Ahmadiyah, perbedaan khilafiyah antar jamaah dalam Islam, dsb. Selalu saja mendapat sorotan media massa dan publik.

Sehingga dalam beberapa tahun belakangan pun, isu bertemakan SARA semakin marak terjadi. Terlebih lagi di masa internet dan sosial media semakin menjamah kehidupan masyarakat Indonesia. Liputan bertemakan SARA yang entah itu fakta atau hoax kian menggerogoti pikiran khalayak, menggiring opini dan sikap mereka.

Lihat saja bagaimana kasus penistaan agama Ahok membangkitkan kemarahan sebagian besar umat muslim Indonesia. Media massa kini berhasil menggiring opini dan menciptakan dua kubu besar masyarakat Indonesia yang saling pro dan kontra satu sama lainnya, yaitu kubu kaum pembela Islam dan kubu nasionalis/multikulturalis.

Dua kubu ini kini menjadi jamaah media massa yang saling menjatuhkan satu sama lainnya, bersikeras, dan berperang sebegitu hebatnya di media-media massa mainstream ataupun media sosial.

Hingga pada akhirnya, baru-baru ini DUAR! Meledaklah bom di tiga gereja Surabaya dan menyusul aksi-aksi teror lainnya di beberapa wilayah Indonesia. Pertikaian pun meruncing. Kepercayaan, keberagaman, dan persatuan antar masyarakat semakin diuji.

Indonesia krisis keberagaman. Rasa kebersamaan bangsa sedang ditantang habis-habisan gara-gara kasus bertemakan SARA, yang gencar dipertontonkan di media massa, diperlihatkan sahut-menyahut, sesuai dengan nilai-nilai yang dianut media.

Maka oleh karena itu, peran media massa sebagai pembentuk realita sangat penting kiranya dalam menjaga kestabilan di dalam masyarakat Indonesia di tengah-tengah ancaman dan ujian keberagaman seperti saat ini. Konflik akan semakin terjadi jika media massa pun memfasilitasi itu terjadi. Begitupula sebaliknya, jika media mampu menjadi membawa isu-isu perdamaian di dalam liputannya, maka kedamaian pun akan tercipta di tengah-tengah masyarakat.

Eriyanto (2002: 27) menjelaskan, media massa adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk ditampilkan kepada khalayak. Maksudnya, pekerjaan dari media massa tidak sekadar memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa. Melalui penggunaan bahasa, media dapat menonjolkan aktor-aktor dan peristiwa tertentu dengan mengabaikan yang lainnya. Inilah yang disebut sebagai framing media. Pembingkaian tersebut menentukan bagaimana khalayak akan memahami dan melihat peristiwa-peristiwa bertemakan konflik dalam sudut pandang tertentu.

sumber

Di sinilah perlu penerapan jurnalisme damai. Sebuah proses yang mana kegiatan di media lebih berorientasi membawa nilai-nilai perdamaian dalam setiap liputannya, khususnya dalam kasus bertemakan konflik.

Jurnalisme damai adalah sebuah keharusan untuk menjaga iklim yang baik bagi kehidupan bangsa dan Negara.

Dalam istilah jurnalisme damai, istilah bad news is a good news bagi media massa tidak sepenuhnya benar. Karena sesuatu yang buruk jika disampaikan hanya akan semakin membuat suasana semakin buruk bagi khalayaknya yang sedang bertikai.

Apa yang kita dapatkan saat ini memperlihatkan bagaimana setiap media punya framing masing-masing dalam menciptakan realitanya. Terkait dengan kasus bom Surabaya misalnya, media-media massa punya nilai yang berbeda dalam membingkai realitas.

Bagaimana labelisasi dan stigma negatif terhadap keyakinan tertentu, kemarahan publik, kesedihan, ketidakpercayaan, kekhawatiran, belasungkawa, pesan perdamaian, kelapangan hati korban dan orang di sekitarnya, dan berbagai reaksi lainnya sangat tergantung pada setiap framing yang diciptakan media.

Penerapan jurnalisme damai ini tidak hanya sebatas memberitakan informasi ke masyarakat, tapi juga harus dapat menyejukkan, tidak membawa kepentingan, dan bisa merangkul siapa saja.

Semakin gencar media membela pihak tertentu dan menjatuhkan lainnya, semakin berkibarlah konflik dan pertikaian. Sehingga hal ini tentu saja tidak boleh terjadi, demi Indonesia yang stabil dan iklim demokrasi yang baik dalam bangsa dan bernegara.

Akan tetapi, alangkah buruknya pihak media massa adalah jika menjadikan isu bertemakan konflik ini sebagai ladang uang mereka, dalam konteks kepentingan ekonomi politik media massa. Isu konflik dianggap sebagai good news yang punya rating tinggi dan diminati masyarakat. Atau dibawa dalam ranah kepentingan kelompok dominan tertentu, sehingga kasus-kasus konflik disetting sedemikian rupa melalui agenda -setting media, sehingga mencerminkan kepentingan pihak yang diusungnya.

Jika demikian. Berdosalah media.

Untuk itu, jurnalisme damai harus diterapkan. Setiap pelaku media, pengguna media, harus dapat menanamkan nilai-nilai perdamaian dalam menyampaikan pesan-pesan di media massa.

Media massa dan orang-orang di dalamnya tidak boleh egois untuk mengedepankan kepentingan dari nilai-nilai yang diusung di belakangnya dengan mengorbankan persatuan masyarakat. Tidak boleh membela satu pihak, menjatuhkan yang lainnya. Tidak boleh mengadu domba. Menjadi pemantik api dan kemarahan. Atau memberikan pesan-pesan pertikaian. Yang diutamakan haruslah inti dari perdamaian.

Kunci dari jurnalisme damai adalah berpegang pada etika jurnalistik dan mengedepankan idealisme pers demi menjalankan tugas sebagai pemersatu bangsa. Hal ini tentu saja sesuai dengan apa yang telah diamanahkan di dalam Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Bahwa dalam bermedia insan pers punya aturan yang harus dijalankan, etika yang harus dijaga dalam bentuk sikap independensi, prinsip cover both sides, tidak SARA, dan menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran.


Referensi:

  1. Agus Sudibyo. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LkiS.
  2. Alex Sobur. 2001. Analisis Teks Media: Suatu pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
  3. Ana Nadhya Abrar. 2011. Analisis Pers. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
  4. Apriadi Tamburaka. 2012. Agenda Setting Media Massa. Jakarta : Rajawali Pers.
  5. Burhan Bungin. 2006. Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
  6. Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LkiS.
  7. Ibnu Hamad. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap berita-berita Politik. Jakarta: Granit.

DQmTtT5dMeuTXG91Nyou3LGXuxkfZ8xQKUETMt9YUD5dipm_1680x8400.jpeg

Sort:  

Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by putrimaulina90 from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, theprophet0, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.

If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.

Media massa adalah salah satu unsur yang sangat penting di tengah masyarakat. Melalui media massa banyak hal yang dapat dilakukan, mulai dari menyampaikan informasi penting sampai dengan membentuk opini tertentu terhadap suatu realitas. Salah satu teori misalnya menyebutkan bahwa media massa menjadi alat hegemoni pemerintah kepada masyarakat.

indenpendensi dan netralitas dalam pemberitaan adalah pondasi dasar dalam sajian infomasi yang dikeamas oleh wartawan, kemadian masuk dapur redaksi, setelah itu di seeting oleh redaktur dan hasilnya diraptkan lagi oleh tim redaksi...

namun selama ini kebebasan media terlebih media online membuat banyak berta yang kita konsumsi bermacam ragam,, bahkan ada yg menyalhi kode itik jurnalis hingga dsb.. tulisan ini sangat baik untuk para bos media, jurnalis hingga wartawan di tingkat bawah... tks @putrimaulina90.

Sepakat bang. Bagaimana pun, sudah ada aturan dan kode etik yang harus dijalankan dengan benar2 oleh pelaku media. Baik media mainstream ataupun netizen pengguna media sosial.
Tapi sayangnya, di antara kita agaknya abai dgn hal ini...sering mengedepankan ego masing2 dan kepentingan pihak berkuasa. Sehingga media susah utk independen. Alhasil, jika ada perseteruan media massa hanya dijadikan "alat" pihak berkuasa untuk saling memojokkan. Wallahu'alam.

Alhasil, jika ada perseteruan media massa hanya dijadikan "alat" pihak berkuasa untuk saling memojokkan.

Menarik. Saya bukan pemerhati media. Jadi, ada contoh kasusnya tidak?

Yang terlihat jelas sekali itu seperti kasus penistaan agama Ahok. Keberpihakan media jelas sekali dari agenda-setting wacana yang dibangun tiap kubu media. Ada yang pro ada yang kontra. Tergantung siapa penguasa media di baliknya. Kasus yang sedang hangat sekarang pun begitu, kalau mau kita dalamin lagi arah framing medianya pasti akan ketahuan mana media yang melabelkan dirinya sebagai pihak pro NKRI/multikulturalis dengan menjudge pihak-pihak tertentu sbg radikal. Cuma bisa amati sekilas, untuk hal seperti ini harus ada analisis framingnya.

Tulisan ini sebenarnya bagus, tetapi semuanya opini penulis, alangkah lebih indah lagi jika dicantumkan narasumber yang berkonpeten.

Thanks adun masukannya. Keseluruhan tulisan memang opini, karna memang sifat penulisan di media ini memang argumentasi pribadi penulis. Kira-kira sebagai masukan, bagian mana yang harus ditambahkan pendapat berkompeten? Istilah media massa sebagai pengkonstruksi realita dan tidak bebas nilai, itu sesuai dengan kajian konstruksi realita Peter L. Berger. Dan bagian media massa harus bersikap independen, tidak bias, tidak SARA, cover both side, semuanya sudah jelas diatur dalam UU Pers no.40 thn 1999 dan Kode Etik jurnalistik.
Saya cuma menginterpretasikan kajian konstruksi realitas Berger tsb dengan aturan ttg pers. Begitu adun. :)

Oke oke..., nti kita bahas di meet up aja, yang jelas tulisan ini bagus, cuma dikit lagi ditambah. Hehehe

Haha. Sudah diralat. Maklum nulisnya tengah malam menjelang sahur. Ditulis seingat dan sesuai kemampuan pikiran penulis. Hehe

Iya, begini maksudnya, mantap mantap...

Iya, begini maksudnya, mantap mantap...

kemudian media massa itu mengacu pada UU pers sedangkan media sosial tertangung yg punya akun, jadi media massa/media online beda dengan media sosial, tetapi selama ini kita lebih banyak melihat perseturuan dan perselihan paham di media sosial..tks

Sejalan dengan pandangan Peter L. Berger mengenai konstruksi sosial atas realitas, maka dalam konteks ini media massa menjadi salah satu elemen yang mampu membentuk realita di tengah-tengah masyarakat, begitu pula realita mengenai pertikaian/konflik/peperangan. Berbagai kasus yang diterima oleh masyarakat merupakan hasil dari perpanjangan tangan media massa. Maka opini yang terbentuk di kepala masyarakat, sangat bergantung pada bagaimana media massa membentuknya. Sesuai dengan fungsi media massa sebagai pengkonstruksi realita.

Jadi ingat pernah baca buku tulisan Prof. Teuku Jacob yang judulnya Manusia, Ilmu dan Twknologi : Pergulatan Sepanjang Masa. Salah satu kata-kata di sana adalah bahwa di masa depan informasi akan memainkan peranan penting, yang menguasai informasi akan menjadi pemenang. Kira-kira gitu, saya lupa pwrsisnya. Bukunya terbit tahun 80an. "Masa depan" datang dalam 2 dekade.

Ini artkel panjang jadi kaya baca kolom di surat kabar. 😊

Iya, saya juga ingat ada istilah siapa yang menguasai media, akan menguasai dunia. Jadi itulah mengapa orang berlomba-lomba menguasai media, jadinya rentan dengan kepentingan.

Hahaha. Panjangkah?
Soalnya kalau nulis yang serius, susah dipersingkat.