Pagi itu mentari memenangkan pertaruhan. Setelah berhari-hari dirundung hujan, akhirnya cerah kembali menyingsing. Sebuah pagi yang cukup ampuh untuk merangsang rasa semangat beraktivitas. Kebetulan hari itu aku ada janji untuk berdiskusi ringan bersama rekan seangkatan di kampus.
Sebelum bergegas berangkat ngampus, aku berberes terlebih dahulu di rumah. Karena memang waktu janji kami untuk ngumpul di kampus masih lama. Sekitaran jam sebelasan nanti, sempat bagiku untuk berleha-leha sarapan sambil menonton TV.
Ternyata waktu memang selalu tak terasa ketika dimanfaatkan untuk bermager ria. 😂 Seusai bersiap-siap dan yakin betul akan seluruh barang bawaan yang dipastikan tak tertinggal. Aku berdiri, menanti kendaraan umum di depan rumah. Beruntung betul kali ini keluargaku berkesempatan tinggal sementara di sebuah rumah tepat di pinggir jalan besar. Jadi tak perlu repot kalau "kendaraan" satu-satunya milik kami sudah dibawa adikku melanglang buana. Ada labi-labi yang setia mondar-mandir di depan rumah, siap mengantar kemanapun sesuai lintasannya. Yap, si labi-labi kesayangan yang ekonomis. Kalau di Langsa dulu aku menyebutnya "sudek", atau "angkot" dalam istilah anak medannya. 😂
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba. Tak perlu melambaikan tangan atau memanggil. Bagai punya hubungan telepati, si labi-labi langsung berhenti tepat di depanku. Nyatanya tentu tak seperti itu, pasti ada penjelasan teoretik akan situasi tersebut. Namun menurutku, para supir labi-labi barangkali sudah memiliki kemampuan untuk mengenali penumpang. Bisa saja mereka mengenali calon penumpang lewat gesturenya seperti, mereka yang tengah berdiri di pinggir jalan, celingak-celinguk, menunggu, atau barang bawaan dan penampilannya yang menunjukkan bahwa mereka akan berpergian. Ya, itu teori sederhana menurutku sih. 😂 Jadi silahkan berimajinasi lebih jauh lagi stremians sekalian😂
Labi-labi yang kunaiki saat itu kebetulan sedang tak berpenumpang. Hanya ada aku seorang dan ia berjalan pelan. Seolah tengah mencari, Pak supir menghampiri tiap orang yang berdiri di pinggir jalan. Namun sayang belum rezekinya, mereka menunggu jenis kendaraan lain dengan jarak lintas yang lebih jauh. Terlihat ketika sebuah L300 mendekat dan mereka menaikinya. Ah.. ternyata teoriku tak sepenuhnya benar. Pak supir labi-labi ini tak benar-benar mengenali penumpangnya. Ia hanya mendatangi semua orang yang hendak berpergian tanpa tahu kendaraan jenis apa yang mereka perlukan.
Mesin kendaraan masih terus melaju dan penumpang lain tak kunjung ditemui. Hingga pada sepertiga perjalananku, labi-labi itu berhenti. Aku melirik ke bahu kiri jalan lewat jendela labi-labi yang kubuka. Tak ada siapapun di sana. Lantas kenapa Pak supir berhenti?
Berselang terdengar pintu labi-labi dibuka. Seorang lelaki paruh baya keluar dan meneriakkan sesuatu ke arah seberang jalan. Kemudian Pak supir itu mengambil ancang-ancang untuk menyeberang. Kuikuti arah pandangnya lalu mendapati 5 orang bocah berseragam SD tengah berdiri di seberang jalan.
"Preh inan beuh!" Bapak itu kembali meneriakkan kalimat serupa untuk meminta anak-anak itu agar menunggu dan membiarkan dirinya yang menjemput mereka. Benar saja, setibanya di seberang Bapak itu merangkul lengan anak-anak itu dan menginstruksikan untuk berpegangan sebelum akhirnya membawa mereka menyeberang dan naik ke angkutannya. Sungguh sebuah pemandangan yang menurutku cukup jarang kudapati di zaman sekarang ini.
Anak-anak itu duduk di hadapanku dan sibuk menghabisi jajanan yang sedari tadi mereka pegang. Aku tersenyum ketika salah seorang dari mereka menatapku malu-malu.
"Pulang kemana dek?" Tanyaku padanya. Ia menjawab pelan dan masih terlihat malu-malu. Gadis kecil itu berucap lagi, namun tak dapat kudengar jelas karena suaranya yang kecil dan situasi jalan yang berisik. Akhirnya aku hanya mengangguk seolah paham.
Berselang, aku kembali berujar ketika rasa penasaranku hadir.
"Adik-adik ini setiap harinya pergi sekolah naik ini?" Tanyaku lagi. Beberapa diantara mereka mengangguk cepat lalu mengiyakan. Aku berdecak kagum mendengarnya. Diusia mereka yang masih terbilang dini, tak kudapati raut cemas apalagi takut. Wajah-wajah itu hanya menampakkan bagaimana mereka menikmati perjalanan pulang dari sekolah saat itu.
Lucunya, aku yang melihat dan bukan siapa-siapa justru dirundung kekhawatiran. Bagiku mereka masih terlalu kecil untuk dilepas begitu saja ke lingkungan yang tak pernah kita tahu isi kepala orang-orangnya. Mereka masih terlalu polos untuk mudah percaya pada orang lain. Mereka masih belum tahu apa-apa akan seberapa kejamnya dunia.
Oke, kuakui..
Mungkin Kota ini tak sekejam kota-kota besar lainnya. Taraf kriminalitas tak seekstrim Kota Medan, Banda Aceh atau bahkan Jakarta misalnya. Akan tetapi bukan berarti langsung mempercayai dan membiarkan mereka begitu saja untuk pulang sendiri. Jalanan ini luar biasa liarnya. Motor-motor, truk, dan bus itu tak pernah tahu ada anak sekecil mereka yang berkeliaran di dekat jalan. Jika saja tak ada Bapak supir labi-labi yang peduli, kemudian mereka memutuskan untuk menyeberang sendiri. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Iya kalau sekali-kali. Jika berkali-kali? Bukankah kehati-hatian juga ada batasnya? Wah..Naudzubillah.. Jangan sampai!
Namun, dari serangkaian ceritaku di hari itu. Aku belajar mandiri dari bocah-bocah itu dan belajar peduli dari si Pak supir. Peduli terhadap sekitar adalah pelajaran mahal, dan aku mendapatinya secara cuma-cuma kala itu.
Banyak yang bilang dunia sudah berubah. Ya, memang jauh berubah. Terbukti dari bagaimana adegan yang seharusnya lumrah justru menjadi langka hari ini. Seperti sepetik kisah bocah Sekolah Dasar dan si Pak supir ini. Jika dilihat, tak ada yang spesial memang. Kalau berfikir logika memang sudah sepantasnya kita membantu anak-anak itu.
Akan tetapi, realitas terkadang tak semanis angan-angan. Aku sempat menemui situasi serupa di depan rumahku. Seorang bocah hendak menyeberang seorang diri. Banyak orang dewasa yang berlalu lalang namun hanya melihat tanpa niat membantu. Aku tertegun kala itu, dan segera membuka pintu rumahku berniat membantubya menyeberang. Ah sayang aku keduluanan. Anak itu sudah terlanjur menyeberang sendiri ketika situasi jalanan kebetulan sudah sepi.
Ya! Dunia memang sudah seapatis itu hari ini. Siap-siapkan dan kuatkan mental untuk bertahan akan pedisnya pergumulan hidup di masa ini. Masa di mana kepercayaan tak lagi "sakral", egoisme didewakan, dan relasi dianggap sebatas sumber kekuatan memperkokoh kepentingan diri.
Ah.. makna "ketulusan" sudah benar-benar hilang! Begitu pikirku sebelumnya. Ya, sebelum aku bertemu labi-labi yang tak kukenal itu. Untunglah, ternyata anggapanku terpatahkan. Dibalik kejinya dunia, masih ada mereka yang senantiasa "pakai hati" ketika menjalani hidup. Masih ada mereka yang benar-benar mengerti arti hubungan antara sesama manusia sebagai mahkluk sosial. Berakal namun pula berbudi.
Lagi, aku belajar arti hidup dari sepenggal kisah sederhana yang kutemui di jalanan!
Awesome!😆😉
banyak cerita dari labi-labi... saya suka dengan "rasa" yang dirimu tuangkan di tulisanmu ini.
Wah.. terima kasih banyak!😉
wah baik banget bapak sopir angkotnya kak, kalau di daerah saya malah para siswa dibiarkan nyabrang jalan sendiri sama sopirnya.
Nah iya. Baik banget Bapaknya, makanya saya langsung tersentuh pas liatnya. Alhamdulillah di zaman skrg masih ada ya yg baik begitu.. 😉
Interesting @putrianandass. Sepertinya ilmu menulis dari TKF sudah terserap betul ya 😊
Hehehe alhamdulillah bg..
Bisa serap ilmunya abg kita (TKF) yg luar biasa di dunia literasi ini.
Ini juga berkat ilmu dr abg juga loh dan rekan2 steemians lainnya!
Smoga bsa terus menulis ! Amin
Waww. oh waww.
Membaca penuh penghayatan coretan tangan kak putri tidak akan ada kata bosan, BTW dalam hal ini sadra ingin berbagagi analisa hehe, Pak supir itu mempunyai rasa tanggung jawab akan anak anak yang mau menyebrang, dia merasakan bagaimana jika anak anaknya demikian, salutlah, semoga kita tida menjadi bagian dari kaum kaum yang apatis, semoga
Waah terimakasih dekku..
Setuju sama analisanya! Dan amin atas pengharapannya. Semoga kita tak menjadi bagian yang apatis.. 😉🙏
semoga kak heheh