Aku di Leuser Coffe

in #indonesia6 years ago

Untuk urusan yang tidak terlalu penting, suatu kali dan baru kali itu saya pernah datang ke Leuser Coffe di seputaran Lampineung. Untuk ukuran warung kopi itu tidak luas, hanya semuka toko saja, dan juga tidak ada interior mewah di dalamnya. Juga tidak banyak kursi untuk pelanggan, hanya beberapa saja. Sungguh sangat biasa saja penampilannya. Aku tiba di sana hanya berselang menit dengan adzan magrib, dan jamaah shalat pun bahkan belum selesai pada salam takhiyatul akhir. Dasar aku!.

Setiba di sana, nampak olehku wajah-wajah yang tidak asing lagi bagiku. Mulai dari wajah aktivis lingkungan, wajah jurnalis, atau para pegiat LSM. Tentu pula, di sana aku melihat sepasang touris yang agak urakan dibawa oleh seorang guide lokal. Semua wajah-wajah itu datang untuk mencicipi Arabica Coffe dari dataran tinggi tanah Gayo yang diracik oleh tangan-tangan terampil. Seorang dari mereka adalah temanku.

Namanya Danurfan, tapi banyak orang memanggilnya Cigem. Di Leuser Coffe ia bertugas meroasting biji kopi. Caranya sudah lebih modern, Cigem dibantu oleh mesin yang diletakkan persis di belakang meja Barista. Setiba aku di sana, aroma coffe memenuhi seluruh ruangan dalam warung. Aroma khas itu tidak kuabaikan, berkali-kali aku hirup hingga aroma benar-benar hilang.

Aku mendekat, aku lihat tangan lelaki itu seperti tidak lelah mengaduk-aduk biji kopi dalam wadah besi. Terus saja dan seperti tidak pernah berhenti. Itu ia lakukan hingga puluhan menit. Kata Cigem, aroma itu selalu akan memenuhi ruangan dalam warung selagi biji kopi diroasting. Begitu proses *roasting, sudah selesai, perlahan aroma itu pun terbang dan lalu hilang bersama sang malam.

Dari kabar yang kudengar, sedikit dari hasil penjualan kopi di Leuser Coffe akan digunakan untuk kegiatan konservasi di Aceh. Kurasa ini konsep yang menarik untuk diadopsi oleh warung kopi lainnya.

Biar seperti orang-orang, aku juga memesan segelas kopi. Kopi milikku disajikan dalam gelas kecil berwarna putih susu. Karena Arabica, kopi di sajikan berasa pahit, pahitnya pun tak tanggung-tanggung, sampai lengket di tenggorokan. Aku tidak biasa minum kopi pahit, oleh Cigem aku pun diambilkan gula cair yang memang sudah disediakan untuk orang-orang seperti aku.

Aroma kopi kuhirup, kopi kuseruput, aku mulai duduk santai di meja kopi persis di muka meja Barista. Kebetulan di meja yang sama aku berjumpa dengan kawan lama, dan kami mulai bernostalgia. Berbincang apa saja yang selalu menghasilkan tawa terbahak-bahak. Sampai-sampai kami lupa bahwa masih ada kuaci di atas meja yang harus kami habiskan. Sedangkan kulitnya kami biarkan begitu saja di sana.

Tergesa-gesa kopi kuseruput begitu kutahu kalau lokasi berjumpa dengan temanku batal di Leuser Coffe. Sedikit kopi kusisakan di dasar gelas. Aku bangkit dan segera bergerak ke kasir. Dua gelas kopi sekira 20 ribu saja, kata Cigem. Aku pamit dan segera menuju parkiran. Beberapa orang ku kenal yang nongkrong di depan juga tidak lupa kulambaikan tangan.

Itu pertama kami aku ke Leuser Coffe, bagiku tempat itu mengesankan dan layak disinggahi. Sebenarnya sudah lama aku mendengar nama itu tempat, dan baru malam 27 Agustus 2018 lalu aku berkesempatan.[]

@pieasant