Selamat Senin sore menjelang malam steemian Indonesia.
Bagaimana cerita Senin mu? Lenggang atau padat, bosan atau apa, bahagia atau terancam punah? Nikmati saja, karena keluar dari comfort zone itu menyeramkan.
Ini lanjutan cerita singkat tentang Sekolah : Kesia-siaan Yang Di Wajibkan, disana ada sepenggal cerita tentang Ara - Anak teman dekatku, sekarang dia sudah kelas 3 SD. Hari Senin ini aku mengajaknya bolos sekolah. Tapi bukannya senang, dia malah takut dan merasa terancam dengan segala aturan sekolah dan orang tuanya yang sudah pasti tidak akan memberi izin atas usulan ku untuk bolos sekolah, di hari Senin pula.
"Tenang, Papa biar urusan Om. Sekolah biar urusan Papa", bujukku pada Ara.
Berkelok, menikung, menanjak, berputar, dan menari-nari keangkasa, akhirnya teman dekatku luluh juga. Sekolah biarkan saja, "Nanti juga loe paham A-Mild", begitu kata iklan rokok bukan Sempurna.
Jadilah di Hari Senin ini dia Bolos Sekolah bersama ku. Ha ha.
Rasanya tidak perlulah aku cerita semua tentang perjalanan Ara selama bolos sekolah bersamaku, karena perjalanan kami sangat panjang, berkelok, menikung, menanjak, berputar, dan menari-nari keangkasa, sama seperti ketika aku membujuk Ayahnya yang super perfectionist itu.
Yang ingin aku ceritakan disini adalah tentang pertanyaan yang di tanyakan kepadaku saat kami sedang ngopi di kedai kopi dekat pinggir jalan itu. Pertanyaan yang dia tanya kepadaku spontan ketika dia melirik seorang petugas wanita penyapu jalan yang sedang bekerja persis di depan kedai kopi kami singgah.
"Om, Ibu tu kok rajin kali ya? Selalu di sapunya jalan, mungkin kalau dia gak ada pasti disini kotor semua ya om?"
Kali ini Mataku tidak langsung berair, hidungku tidak lagi mimisan, bajuku pun tidak basah, tenggorokan juga lancar, bibir yang masih pecah-pecah, dan lumayan mudah buang air besar.
Aku hanya terharu biru kelabu, merah jambu, abu-abu, kanotbu, buku, sepatu pokoknya semua yang akhiran U itu lah akU.
"Pertanyaan yang tidak ada dalam kurikulum ni", pikirku.
Aku menjawab semua pertanyaannya dengan lugas dan tegas, berwibawa dan sangat bersahaja. ha ha. Kali ini aku tidak lagi bertanya pada guru terbaikku "google". Karena jawaban itu sudah ada di kepalaku.
Gara-gara pertanyaan anak kecil kelas 3 SD masih bau kencur itu, pikiranku bermain-main sendiri mengelilingi seputar si tukang sapu dari Dinas Kebersihan Kota itu. Mencoba menerka mengapa dia bisa serajin itu ya, meninggalkan semua pekerjaan rumahnya, berpanas-panas, berdebu-debu, emang berapa gajinya? cukupkah itu untuk keluarganya, pikiranku bertanya.
Jadi timbul tanda tanya besar dalam kepala kecilku.
Sebenarnya, apa patokan/nilai yang Pemerintah kita pakai untuk mengukur gaji seorang pekerja?
Nilai kerja kerasnya kah?
Atau dari kebermanfaatannya kah?
Atau dari bagusnya pakaiannya ketika berkantor?
Logikanya :
Kalaulah kerja keras di jadikan patokan untuk gaji seseorang, lalu kenapa seorang petani di gaji lebih sedikit dari pada yang bukan petani? Padahal kalau kita lihat kerja keras nya, petani lah orang yang layak mendapat gaji lebih besar. Berangkat pagi bahkan sebelum matahari terbit, bekerja di bawah terik matahari, untuk menghidupkan dirinya dan seluruh manusia di bumi ini.
Kalaulah gaji di ukur dari segi kebermanfaatannya. Lantas, mengapa gaji seorang tukang sapu jalanan lebih kecil dari pada dokter? Kalaulah dokter di nilai bermanfaat dan berguna untuk mengobati orang sakit, maka tukang sapu jalanan lebih dari itu, dia bermanfaat untuk mencegah penyakit.
Jadi, kenapa gaji tukang sapu jalanan lebih kecil dari pada gaji seorang dokter?
Bukankah mencegah lebih baik dari pada mengobati ya... heran.
Berarti, kalau aku boleh menduga - banyak dikitnya, besar-kecilnya gaji seseorang bukanlah di lihat dari kerja-keras atau manfaat dari apa yang dia kerjakan. Tapi besar-kecilnya gaji seseorang di nilai dari bagusnya pakaian yang di kenakan ketika seseorang berkantor. kurasa begitu.
Maka jangan heran, ketika suatu kali kita melihat pengemis dengan menggunakan baju rapi berdasi, menanti uang di balik meja kerjanya, atau pengemis berdasi yang saban hari menakut-nakuti politisi demi gaji tinggi.
Betapa abstrak nya sistem gaji, kalau secara filsafat saja sudah kacah, kenapa harus di pertahankan? Wallahu a'lam.
Salam Manis
@Only.home
Aku cuma bisa bilang waaawww... Emejing kali tulisan nya wak...
Udah baca wak??
Udah lama gak baca tulisan yang model begini dari @only.home..
Terima kasih telah menanti...
Salam manis...
mantap cerita nya hehee
Terima kasih bro..
Semoga berkenan..
Salary saduran dari salt jaman baheula pekerja di gaji pake garam. Untuk ganti keringat asin. Yang dh di keluarin. Intermezzo. Jmn dulu garam setara dengan 0.sekian gram emas
Gitu ya bro...
Mantap ceritanya.. tapi saya menunggu apa jawaban anda terhadap pertanyaan ara.. hehehe
Jawabannya karena dia memang sudah rajin dari sananya... he he he
Karena sekolah dokter mahal bg @only.home :)
Iya juga ya.. Kasihan anak2 yang gak sekolah ya.. bisa jadi tukang sapu jalanan..
Harus sekolah, gak apa jdi tukang sapu untuk membiayai sekolah.
Kami juga jual risol ke warung kupi untuk biaya kuliah ;)
Yaya.. luar biasa dek..
Tajam dan kejam. Setajam bineeh oen padang dan oen tubeiy. 😀
Hahaha... lebih tajam dari silet nyan bg..
Kop bahaya.. haha
😀
Ya begitulah sering kebalik-balik. Yang bekerja keras bahkan sekeras-kerasnya kadang tak mendapat hasil yang sepadan. Sungguh ironi.
Alangkah lucunya negeri ni...
keren cerita fiksinya om
Terima kasih.
Masih butuh arahan agar lebih bagus lagi bg..
Kita seringkali iba, tapi tahu nggak, ternyata Allah itu benar Maha Adil. Pernah saya bertanya pada seorang tukang sapu jalanan juga, ternyata dia bahagia saja walau upah rendah. Yang penting baginya adalah sudah kerja, urusan lain yang sulit bukan urusan dia katanya, tak sanggup dia pikirkan. Dia bilang juga, lebih baik dia tak tahu apa-apa dan jadi tukang sapu daripada tahu banyak dan jadi petinggi, hidupnya lebih bebas dan bahagia. Dari sana saya berpikir, betul juga. Allah memberikan kita keadilan, dia diberikan kehormatan nikmat dan ujian sesuai kapasitasnya, begitu juga dengan kita. Hiks!
Aku percaya para ibu tukang sapu jalanan itu bahagia, karena dapat bekerja untuk melanjutkan hidupnya. Aku juga yakin mereka ikhlas bekerja..
Tapi seharusnya, gaji mereka jangan di nilai dari pakaian yang mereka pakai.
Ntah lah mbak.. gak sanggup aku panjangkan lagi tulisan ni, menetes pulak nanti air mataku.. hiks!!
Congratulations @only.home! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Award for the number of comments received
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
To support your work, I also upvoted your post!
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Hmm... kok belom ada yang nanya gini ya? OKweh, biar aku aja.
Biar pande dia wak...