Assalamualaikum,
Bab ini selain bertujuan unutk menggali falsafat berpikir orang Aceh, bab ini juga mengunakan pendekatan fenomenologi yang melihat sesuatu sebagai “things as they are”. Yang diketahui sejauh ini adalah cara berpikir orang Aceh sangat dipengaruhi oleh faktor tingkat spiritual dan pemahaman mereka terhadap konsep alam (kosmologi). Tentu saja cara berpikir orang Aceh sudah berubah seiiring perubahan zaman dan budaya dalam kehidupan masyarakat di Aceh. Sebelumnya penulis disini mengatakan bahwa telah banyak para sarjana yang menulis tentang cara berpikir orang Aceh, khususnya yang paling otentik adalah hadih maja yang merupakan nasihat para tetua di Aceh. Dalam bahasa Aceh muncul kata seumike atau pike. Biasanya dalam kehidupan sehari-hari sering digunakan istilah cara seumike (cara berpikir). Bisa dikatakan bahwa dengan kata lain cara seumike lebih berhubungan dengan aspek cara mendapatkan ilmu pengertahuan.
Pembahasan selanjutnya ini akan dijelaskan bagaimana yang dinamakan dengan pola seumike orang Aceh. Tentu saja dalam pola pikir yang sekilas telah dijelaskan diatas bahwa ada tiga pondasi yang digunakan, yaitu alam, agama dan jiwa. Istilah ini sering muncul, namun belum ada penjelasan yang menyeluruh. Misalnya tanda-tanda alam dibiarkan turun menurun, dan dikondisikan untuk dilaksanakan, tanpa harus bertanya apakah itu masuk akal ataupun tidak. Hana roh sering disebutkan dengan pemahaman yang muncul jika dilakukan melawan alam. Jadi sesuatu jika dilakukan mengikuti keinginan alam. Istilah Roh (jika boleh) bisa diartikan sebagai ruh atau spirit yang merupakan sebuah kekuatan yang tidak tampak secara kasat mata.
Simbol penyelarasan ini kemudian menjelma untuk memasukkan alam kedalam kehidupan masyarakat. Proses daur ulang ini kemudian berubah menjadi semacam doktrin kosmik bagi orang Aceh untuk menjadikan alam sebagai sahabat. Karena itu, semua aktifitas masyarakat Aceh, gunung, bukit, sawah, sungai hingga laut selalu dibarengi dengan sapaan terhadap alam. Lalu pola pikir ini ditutupi dengan falsafah Hana Roh kalau ada upaya melakukan sesuatu yang tidak sesuatu dengan doktrin kosmik orang Aceh. Disini pola pikir seperti ini dibangun berdasarkan pengalaman dan kemampuan dalam menempatkan diri antara relasi manusia dengan alam.
Selain daripada itu, aspek yang terakhir adalah Hanjeut (tidak boleh) yang berasal dari agama. Bersumber dari ulama yang merupakan dari hukum-hukum Allah yang menjadi larangan. Karena itu, setiap ada upaya yang berkaitan dengan keagamaan, tempat bertanya adalah para ulama. Dan tidak sedikit pula kitab yang ditulis para ulama untuk dijadikan panduan kepada ummat.
Ada beberapa point yang bisa diambil dari uraian diatas. Pertama, dalam kehidupan masyarakat Aceh, jaringan bersosial dditentukan dengan status sosial seserorang. Relasi ataupun jaringan demikian menciptakan pemikiran orang setempat dengan cara menilai orang dengan melihat perkauman, dalam hal ini persoalan keluarga dan agama menjadi sangat penting dalam mengatur status sosial dalam bermasyarakat. Kedua, cara berpikir orang Aceh dimulai dari kampung-keluarga. Artinya kampung diibaratkan sebagai sebuauh keluarga, namun jika keluarga tersebut tidak termasuk dalam kehidupan kampung, maka dapat dipastikan bahwa keluarga tersebut bermasalah pada kampung tersebut. Ketiga, seperti yang telah dijabarkan diatas seperti Hana, yang dapat melahirkan dan muncul sebagai adat ataupun reusam. Dikarenakan pada zaman kerajaan dijadikan sebagai undang-undang dan dijadikan diatasnya berisi aturan yang berasal dari agama. Keempat, konsep terakhirnya yang merupakan konsep berpikirir orang Aceh yaitu Timang atau selaras. Konsep seperti ini menjadi konsep yang menjadi kompas dalam bermasyarakat di Aceh, jika sudah timang maka ia sudah tegak lurus dan sering juga disebutkan Sulu. Dalam artiannya adalah dalam bermasyarakat Aceh terpancar dari cara berpikir secara tegak lurus seperti menegnai alam, jiwa dan juga ketuhananan.
Sort: Trending