Assalamualaaikum,
Pada kali ini saya akan melanjutkan tugas review pada buku Acehnologi yang berjudul Jejak Spirit Aceh, sekarang ini fungsi Spirit Aceh memang tidak lagi menghasilkan cara berpikir dalam kehidupan kebudayaan Aceh. Dikarenakan sesuatu yang bersifat spirit belum mampu diterjemahkan kedalam realitas kehidupan nyata masyarakat. Mengakibatkan Spirit Aceh seolah-olah sudah tenggelam tertimbun masa, meskipun pada dasarnya pusat-pusat yang memberikan spirit tersebut bisa dilihat secara real.
Pada pembahasan bab ini, dikupas tentang Spirit ke-Aceh-an, harus diakui bahwa topik mengenai spirit akan membawa kita pada konteks sejarah Aceh. Namun jika kita berangkat pada persoalan budaya Aceh, hingga saat ini kontruksi identitas ke-Aceh-an masih terdapat sejumlah perdebatan. Namun jika kita mendiskusikan tentang kebudayaan Aceh, maka ada tiga hal yang semestinya harus dipahami yaitu bahasa, sejarah, dan tradisi Aceh.
Selanjutnya, kata spirit menjadi kunci bagaimana orang Aceh mampu menjadikan nilai-nilai perjuangan dan kebudayaan, contohnya seperti pada masa penjajahan, para ulama mengambil langkah perang sabil sebagai spirit dari suatu perjuangan. Pada saat itu barangsiapa yang membaca hikayat prang sabil, maka semangat para pejuang Aceh semakin membara. Hal yang sama terjadi pada persoalan kebudayaan. Pada beberapa aspek tertentu masyarakat masih bertahan pada kesepakatan bersama mengani makna-makna simbolik. Namun pada masyarakat perkotaan jika memandang kepada hal yang berbai simbolik cenderung dipandang sebagai simbol ke-Aceh-an.
Tepatnya di Aceh, upaya untuk menggali aspek keilmuan dan falsafah kehidupan orang Aceh masih belum begitu muncul ke permukaan. Sehingga warisan dan simbol yang penuh dengan nuansa keilmuan dari sultan maupun ulama sering dipandang hanya sebagai warisan simbolik semata. Artinya untuk mendalami aspek spirit orang Aceh, pemahaman cara pandang orang Aceh harus mutlak diperlukan. Spirit kemudian menjadi pagar bagi masyarakat setempat. Disini mereka sangat patuh terhadap apa yang dikatakan dan disampaikan oleh ulama, hingga referensi mereka berbicara dengan cara membawa nama ulama dibelakangnya. Sehingga tatanan bermasyarakat disini sangat teratur dikarenakan mereka berjalan pada poros dan fungsinya masing-masing.
Ketika terjadi suatu perperangan dan musuh datang, spirit para ulama itu berubah menjadi ideologi ataupun pandangan jihad. Sultan Aceh, dikarenakan beberapa alasan tertentu memberi otoritas istana kepada para ulama untuk berjihad. Melalui spirit jihad inilah para ulama memberikan perlawanan yang tiada henti pada musuhnya. Struktur kebudayaan Aceh selain di uji pada masa kolonial juga diuji pada masa menjadi bagian dari NKRI. Semua sendi-sendi kemasyarakatan kesultanan yang dianut terdahulu berubah, institusi kesultanan hancur, hingga struktur kepemimpinan diubah menjadi struktur ala Mataram.
Pada bagian ini ada beberapa hal yang peru diperhatikan. Pertama, membuka kembali kajian megenai spirit di Aceh adalah sesuatu yang sangat menarik dikarenakan studi ini berkaitan dengan studi Kosmologi. Disini juga ditekankan mampukah kita bisa menggali cara pandang kehidupan orang Aceh untuk digunakan sebagai spirit membangun Aceh. Kedua, sampai saat ini kesultanan Aceh telah hilang otoritas dankewenangannya, mengakibatkan pada poros ini hanya muncul simbol-simbolkerajaan yang sekarang dialihkan menjadi aset kebudayaan Aceh. Selain itu juga poros ulama juga telah mengalami pergeserab yang cukup menonjol. Padahal semestinya di Aceh poros ulama yang sangat berpengaruh dan berperan dalam membangun Aceh yang berhakikat. Ketiga, bergesernya spirit atau konteks kebudayaan Aceh juga mengejutkan, yang maksudnya adalah keinginan untuk berenergi positif di Aceh cenderung di tantang oleh masyarakat Aceh itu sendiri demi menonjolkan energi negatifnya. Seperti korupsi dan kolusi telah menyatukan diri dalam berperilalu negatif, jikapun energi positif ingin dibangkitkan kembali maka aspek-aspek perilaku negatif yang tidak perlu diberikan ruang dalam kehidupan sosial masyarakat.
Sort: Trending