ACEHNOLOGI (VOLUME II, BAB 21) ; POLITIK ACEH

in #indonesia7 years ago

Assalamualaikum,
Pada penghujung bab yang dibahas pada kajian Acehnologi Volume 2 ini menyajikan tentang Politik Aceh, disini dibahas bagaimana situasi atau pandangan yang dipahami oleh media-media Aceh, Nasional hingga media Internasional yang membahas dan tertarik pada pembahasan politik di Aceh. Sejauh ini berdiskusi mengenai Aceh, tentu tidak terlepas dari namanya Politik yang dilakukan oleh orang Aceh. Praktik politik yang dilakukan oleh orang Aceh menarik dibahas dikarenakan sejah daphulu masyarakat Aceh telah menjalin hubungan politik dengan negara-negara luar. Seperti, Portugis, Inggris, Belanda.
Pada bab ini juga dibahas mengenai teori-teori politik yang dilakukan oleh orang Aceh. Dikarenakan begitu besarnya cakupan respon orang Aceh terhadap bangsa-bangsa luar, maka cakupan pemikiran politik Aceh juga menarik dikaji. Disini peranan Sultan dalam membangun pemikiran politik Aceh juga berdampak dan bertujuan untuk membangun kerajaan-kerajaan yang bersifat negeri atau nanggroe. Hingga membentuk sebuah dinasti.
Pola berpikir yang diutarakan diatas juga terdapat pemikir yang berpikir tentang politik bagaimana menyatukan dan berusaha untuk orang Aceh berjuang melawan penjajah, adapun pemikir yang terakhir yaitu yang melakukan tafsir terhadap teori politik dari barat, baik yang dididik dari sarjana barat maupun yang otodidak, bertujuan untuk mempraktikkannya pada situasi perpolitikan Aceh saat ini. Hal demikian berbeda jika kita melihat politik Jawa yang sudah dikemas menjadi politik Indonesia, juga dengan politik Melau yang sudah dikemas dengan politik Malaysia. Perlu diingat disini bahwa praktik politik Aceh cenderung disandingkan dengan praktik politik Asia Tenggara atau Politik Melayu.
Adapun dalam perjalanan politik sangat menarik untuk dijadikan inspirasi dalam kajian politik di negeri ini. Disini dibahas dalam beberapa fase, namun saya hanya mengambil beberapa fase yang saya anggap sangat menonjol yaitu, pada fase Separatisasi 1 terjadi ketika DI/TII dibawah pimpinan Tgk. Abu Daud Beureueh pada 21 September 1953, ketika semangat Islam kembali muncul dan hendak mendirikan suatu negara Islam dan siap bertumbah darah jika permintaan itu tidak dikabulkan, andaikan jika ada orang yang berpemahaman tentang pembentukan negara Islam di Aceh merupakan bentuk perlawanan hukum, namun langkah kami ambil ini merupakan langkah yang disebabkan oleh hukum yang kacau atau kekacauan hukum di NRI ini.
Dari penjelasan fase-fase diatas bisa dilihat bahwa aktor atau dalang dari kondisi politik di Aceh, para aktornya adalah ulama yang datang langsung dari Timur Tengah dan Asia Selatan yang langsung mendirikan kerajaan juga meruppakan bentuk dari perluasan jazirah Islam. Disini juga perlu dilihat dikarenakan tujuan daripada aktor perjuangan tersebut untuk memperluas jazirah Islam, otomatis yang menjadi musuh atau musoh dalam sebutan bahasa Aceh dimaksudkan ialah kaphe (kafir) seiring perjalanan waktu yang dimaksudkan sebagai musuh disini diidentik dengan PAI (penghancur agama islam) ditujukan kepada pemerintahan Indonesia khususnya Jawa. Namun seiring perjalanan waktu konsep musuh disini ketika datangnya Mou Helsingki berubah menjadi kawan akrab dan dijadikan kawan baru dalam melakukan perdamaian di Aceh.
Jika diurut dari abad ke-8 hingga abad ke-21 M akan dijumapi beberapa nama pemikir Politik Aceh, salah satunya Sultan Malikal-saleh hingga Surya Paloh. Dari penjelasan diatas ada pemikir yang mendirikan kerajaan, gerakan, partai, bahkan ada orang Aceh yang mendirikan sebuah media hingga partai sampai menguasai dunia perpolitikan di Indonesia.
Sebagai contoh lain salah seorang tokoh yang mengusung ideologi negara yang ke-Aceh-an melalui kacamata sejarah yaitu Tgk Hasan di Tiro telah memaksa pemerintahan Indonesia selama hampir tiga dekade lebih menyesuaikan kebijakannya dengan ideologi yang diusung oleh Tokoh ini. Belum lagi sosok ulama sekaligus aktor dari gerakan membangun negara berideologi Islam yaitu Tgk Abu Daud Beureueh yang telah mewariskan semangat juang dan persatuan Islam demi menyatukan Islam dan Negara harus ditampilkan di Aceh.
Setelah penjelasan diatas yang mengenai dengan fase, tokoh, isu, ide-ide dan beberapa peristiwa politik di Aceh, juga tidak lupa dijelaskan bagaimana perubahan praktik Politik di Aceh didalam bidang otoritas dan kekuasaan. Bisa kita lihat dari pandangan penulis disini secara umum peristiwa politik di Aceh selalu diawali dengan konflik. Baik itu sesama orang aceh ataupun dengan pihak luar. Disini juga penulis memberikan rujukan bagi pengkaji Politik Aceh dapat meilhat pada buku volume 6 yang mana disitu membahas tentang literatur mengenai Politik Aceh.