Assalamualaikum,
Awal mula pembahasan pada bab ini, penulis terlebih dahulu memperkenalkan seorang penyair Aceh yang bernama T.A Sakti (Teuku Abdullah) yang merupakan mahasiswa penulis pada pasca sarjana Uin Ar-Raniry. Penulis sendiri disini bukan merupakan seorang sastrawan, namun dalam membangun Acehnologi jika tidak dibangun dengan dasanya Sastra Aceh seperti halnya membangun rumah tanpa fondasi, dikarenakan pemikiran para Endatu Aceh terdahulu lebih banyak terdapat pada karya-karya sastra.
Diantara kajian Sejaarah Aceh dengan kajian Sastra Aceh disini merupakan nasib yang sama, yaitu sama-sama ditarik pada ranah kajian Sastra Melayu, oleh karena itu kita melihat pada kajian Sastra Melayu cenderung dirujuk pada abad ke-16 dan 17, dibuktikan dengan studi yang dilakukan oleh Syed Naquib al-Attas terhadap karya-karya Syeikh Hamzah dan Syeikh Nurdin Ar-Raniry. Tetapi sayangnya citra Sastra Aceh “tenggelam” seiring perjalanan waktu dikarenakan pengaruh dari pada karya-karya ulama Aceh dalam bahasa Melayu.
Tidak terlepas dari itu, ketika Aceh melawan Belanda pada 1873, salah satu penyebab terpenting memicu perperangan terhadap penjajah disitu adalah karya sastra, yaitu “Hikayat Prang Sabi”. Syair dalam bahasa Aceh yang terdapat pada hikayat ini terdapat kekuatan ataupun spirit pada para pahlawan aceh dalam menerjang Belanda.
Karya “Sastra Aceh” dengan karya “Sastra di Aceh” harus ada penjelasan yang jelas, bisa dijelaskan disini bahwa bahasa yang digunakan bukan hanya bahasa Aceh namun juga terdapat bahasa Melayu, dan juga tidak sedikit kalangan yang menganggap bahwa sastra Melayu juga dimulai di Aceh. Karena itu dapat dikatakan Sastra Melayu juga merupakan Sastra Aceh dan juga “sastra Aceh” yang mengunakan bahasa Aceh merupakan “sastra di Aceh”. Dalam hal ini, sastra di Aceh telah dipindahkan kedalam studi Melayu, dimana didalamnya terdapat berbagai kajian sastra di Negeri Melayu.
Mengenai dengan periode Satra Aceh, Mohd Harun membagi kepada 5 periode, periode pertama yaitu periode Animisme yaitu periode takhayul yang mempercayai kepada makhluk-makluk halus yang memiliki kekuatan luar biasa. Periode kedua yaitu periode Hindu dimana sastra-sastra Aceh sudah mulai bersentuhan dengan kepercayaan Hindu. Periode ketiga yaitu periode Hindu Islam, dimana karya Sastra Aceh sudah mulai terdapat pembaharuan atau pergeseran dari kepercayaan Hindu kepada kepercayaan Islam. Periode keempat yaitu periode Islam dimana karya Sastra Aceh sudah mengalami perubahan yang signifikan terhadap kepercayaan Islam. Periode yang terakhir merupakan periode yang sempurna yaitu selaiin masih tetap pada mempertahankan pola ucap tradisional, sudah mulai bergerak kepada arah inkonvensional ataupun tidak lagi terikat pada hal yang berisfat masih kaku.
Disini juga penulis menjelaskan bahwa ilmu yang dimiliki oleh penulis bukan merupakan ilmu kesastraan, namun dalam menjelajahi ilmu kemanusiaan, ilmu sastra disini merupakan gerbang utama untuk memasuki kelompok masyarakat. Dapat dipahami juga bahwa sastra bagi orang Aceh merupakan cara untuk membangkitkan kesadaran, yang menguubungan anatara imajinasi sosial dengan imajinasi kebatinan. Funsi sastra daripada imajinasi sosial disini merupakan bagian dari suatu ingatan tentang suatu peristiwa yang terjadi. Imajinasi sosial disini merupakan ada kaitannya dengan imajinasi kebatinan, dikarenakan peranan mistik sangat mempengaruhi kehidupan rakyat Aceh. Dengan begitu, karya sastra Aceh sebenarnya bukanlah ingin merambah kepada sesuatu hal yang diluar kemampuan manusia, melainkan mengantarkan manusia itu sendiri kepada tahap untuk memahami hakikat kemanusiaannya sendiri.
Disini juga penulis mengutip pandangan Berlin, pandangan Berlin disini menyiratkan tentang kekuatan suatu gagasan ataupun konsep, bahkan seorang penyidik dapat meruntuhkan sebuah peradaban. Nilai kepentingan dari suatu gagasan yang dihasilkan oleh para pemikir, pasti timbul pertanyaan mengapa penulis mengaitkan studi Sastra Aceh dengan pandangan Isaih Berlin diatas ? dikarenakan salah satu yang memperkuat peradaban Aceh merupakan gagasan ataupun ide yang dihasilakn oleh pujangga di Aceh.
Penghujung daripada bab ini dijelaskan bahwa setidaknya pada Acehnologi disini telah di jelaskan dan menyodok aspek dan nilai kebatinan orang Aceh. Dan sastra merupakan daripada aspek kebatinan dan akan memperkokoh fondasi metafisika dalam studi Acehnologi. Adapun bab berikutnya tentang Studi Religi Aceh, disini dikupas bagaimana pemahaman religi dalam masyarakat Aceh.
Sort: Trending