Assalamualaikum,
Anggapan yang sering beredar dalam dunia akademisi yaitu “local schoolars” cenderung dikucilkan dibandingkan dengan “international schoolars” bahkan pemikiran seperti ini muncul dalam berinteraksi baik itu formal ataupun informal kerap dijadikan bahan tertawaan, dimaksudkan disini ialah anggapan dari “international schoolars” kepada “local schoolars” bahwa kemampuan mereka tidak berkualitas. Namun kemampuan dari “international schoolars” dan “local schoolars” sekarang kita sebut saja peneliti luar dan peneliti lokal memang jauh berbeda, diakui dengan peneliti luar mereka mapan secara teori maupun materi, tetapi tidak dengan peneliti lokal yang mana mereka miskin akan teori dan juga materi. Dikarenakan intelektual Aceh belum mampu memasuki pada ranah teorisasi ilmu pengetahuan.
Kondisi demikian semakin parah ketika karya dari Snouck Hurgronje begitu mendominasi dan mampu mengubah pola pikir masyarakat Aceh dalam menggali sejarah, selain itu juga para peneliti Aceh juga rujukannya pada karya-karya dari Snouck Hurgronje. Berbeda dengan wilayah Jawa yang memuji dan beranggapan bahwa Snouck Hurgronje berhasil membawa pisau bedah karena berhasil mengunakan istilah Antropologi. Cara pandang Snouck disini bertujuan mempengaruhi dan ingin mengkerdilkan Aceh sebelum abad ke-16, dengan demikian tidak muncul dampak kesadaran sejarah terhadap rakyat Aceh, dan dikalangan para pembaca dan juga peneliti Aceh sebelum abad ke-16.
Berharap Antropologi Aceh mampu menarik lebih jauh lagi mengenai kebudayaan yang dihasilkan oleh rakyat Aceh, hingga mampu bertahan dari setiap kepungan baik itu dari Belanda maupun dari Republik Indonesia. Karena itu kehadiran Aeh dan segala pengalaman kepungan kebudayaan (penjajah, Indonesia, Melayu dan Barat) mendorong kita untuk memahami apa yang sebenarnya yangg dimiliki oleh Antropologi Aceh. Dalam hal ini memunculkan ilmu Acehnologi yaitu sisi Antropologi memang landasan awal, setelah memahami sejarah, kosmologi, filsafat, sosiologi yang ada di Aceh. Diakui bahwa peneliti yang dari Aceh untuk melakukan penelitian sebagaimana yang dilakukan oleh peneliti luar yaitu berdiam pada suatu wilayah untuk mendapatkan hasil yang akurat secara bertahun-tahun.
Selanjutnya dalam studi Antropologi Linguistik Aceh. Kekayaan bahasa dan sastra Aceh masih belum banyak disentuk oleh peneliti Aceh sendiri, mengingat di Aceh sendiri memiliki puluhan bahasa. Jika diletakkan konsep Acehnologi disini pada bagian linguistik akan melihat bagaimana penuturan bahasa Aceh sendiri bagi orang Aceh, dikatakan orang Aceh disni dikarenakan tidak semua orang Aceh mampu bertutur kata mengunakan bahasa Aceh, ditambah lagi dengan masa sekarang ini semakin menurunnya kesadaran mengunakan bahasa Aceh dikarenakan banyak dalam penuturan bahasa Aceh diganti dengan bahasa Indonesia yaitu sebagai bahasa resmi.
Bagian lain yang tidak kalah pentingnya pada Antropologi Aceh itu sendiri yaitu kajian budaya, karena kajian ini juga membutuhkan peneliti antropologi untuk menafsirkan bagaimana kebudayaan di Aceh berdasarkan wilayah-wilayahnya. Didalam Acehnologi sendiri telah dipaparkan tentang kebudayaan di Aceh, namun hal yang terpenting dalam kajian ini ialah penerapan teori-teori ilmu tersebut dalam spirit Aceh, namun sayangnya pada Acehnologi sendiri masih banyak mengunakan istilah-istilah teori barat untuk menguatkan argumen, otomatis yang terjadi disini ialah dipaksakan untuk mengunakan teori-teori luar dalam menafsirkan kebudayaan Aceh dikarenakan teori lokal belum banyak mendominasi.
Disini saya tidak menjelaskan atau menjabarkan penafsiran kebudayaan berdasarkan wilayah-wilayah, adapun yang saya jabarkan disini adalah gambaran secara umum bagaimana cara yang ditempuh antropologi untuk menafsirkan kawasan-kawasan yang berada di Aceh karena disetiap kawasan di aceh memiliki ciri yang khas pada masyarakat. Disini kehidupan masyarakat Aceh sangat diperkuat dengan tali ikatan Religi yang begitu berpengaruh dalam kehidupan masyarakan, bagian lain pengikat masyarakat Aceh disini bisa dilihat dari kelompok masyarakat, ekonomi, kekerabatan. Ditambah lagi dengan kebiasaan orang Aceh dengan membangun suatu keluarga tidak jauh dari keberadaan orang tua mereka. Susuna rumah dan batasan rumah mereka juga tidak mengunakan yang lain, susunan tersebut dimaksudkan adalah antara suatu kampung dengan kampung yang lainnya hingga menjadi suatu mukim, dan didalamnya terdapat perangkat gampong yang disebut dengan, Peutua Meunasah, Keuchik, Tuha Peut, Tuha lapan. Oleh karena itu dalam masyarakat Aceh struktur dalam suatu kampung teratur secara sistematis dan mempunyai khas.
Adapun bagaimana oprasional Antropologi Aceh pada era kontemporer seperti sekarang ini, kita lihat dari perpindahan masyarakat perkampungan ke kota masih banyak didomiasi dengan kepentingan ekonomi yang menjadi penyebab utama, dari keseluruhan perpindahan masyarakat tersebut yang berlandaskan kepentingan ekonomi didominasi oleh masyarakat Pidie.
Pembahasan yang diatas merupakan bagaimana gejala yang muncul pada saat awal mula pengkajian Antropologi hingga gejala yang terjadi pada saat era kontemporer saat ini, dan pada bab selanjutnya akan dibahas dengan Sastra Aceh, dikarenakan pengaruh sastra disini tidak kalah pentingnya, dibuktikan dengan banyak para sastrawan yang menghasilkan teori-teori pengkajian metafisika.
Sort: Trending