Menikmati Puisi: Dari Fansuri Hingga Tsunami

in #indonesia7 years ago (edited)

Tulisan ini adalah pengantar awal untuk diskusi dan kegiatan apresiasi sastra dengan para siswa di sejumlah sekolah di Aceh beberapa tahun lalu. Saya posting di sini agar bisa dibaca oleh banyak kalangan yang tertarik menulis puisi.

14207762_10208866476198107_4147456826339520164_o.jpg

OLEH: MUSTAFA ISMAIL

Pendahuluan

Puisi adalah salah satu jenis dari karya sastra. Berbeda dengan prosa yang mengungkapkan makna dengan kata-kata yang terang berderang, puisi sebaliknya: mengungkapkan makna dengan cara yang “remang-remang”. Hal lain yang khas dalam puisi adalah irama, yang dibentuk oleh pilihan kata atau kekuatan bahasa. Bahkan, dalam tradisi lama, puisi bisa menjadi “kata-kata penyembuh” (mantra).

Dalam sejarah dunia, puisi tertua adalah Epos Gilgames dari milenium ke-3 SM di Sumeria, Mesopotamia (kini Irak). Naskah kuno itu ditulis berbentuk baji pada tablet tanah liat. Selain itu, banyak karya kuno lainnya telah disusun berbentuk puisi. Sebut saja Veda India (1700-1200 SM), Zoroaster's Gathas (1.200-900 SM) dan Odyssey (800-675 SM) .

Di Indonesia, tradisi berpuisi bisa dilacak dalam keseharian masyarakat seperti mantra, pantun, dan syair-syair lain dalam berbagai khasanah budaya Indonesia. Sebagian besar itu adalah syair-syair lisan. Menurut Sapardi Djoko Damono, tradisi lisan di mana pun adalah asal-muasal puisi modern. Bahkan, cukup aman untuk dikatakan bahwa pada dasarnya puisi modern pun, yang ditulis berdasarkan prinsip keberaksaraan, memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan prinsip kelisanan. [1]

Istilah puisi sendiri mulai banyak digunakan pada 1930-an atau tepatnya setelah terbitnya majalah Pujangga Baru pada 1933. Sebelumya, karya itu disebut syair. Namun, menurut catatan dan sejarah sastra, tradisi puisi pertama di Indonesia datang dari Aceh, yakni Hamzah Fansuri. Ia sastrawan sekaligus ulama yang hidup pada abad 16. Fansuri adalah pengembang Tarekat Wujudiyahyang beranggapan bahwa segala makhluk pada asasnya esa, karena wujud daripada zat Allah.

Profesor sastra dari Austalia, yang banyak meneliti sastra Indonesia, A. Teew, menyebut Hamzah Fansuri sebagai Sang Pemula Puisi Indonesia. [2] Salah satu puisinya yang paling terkenal adalah Syair Perahu.

Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetuli jalan tempat berpindah
Di sanalah i'tikad diperbetuli sudah

Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu

Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan

Jika kita perhatikan, bentuk puisi Fansuri itu berangkat dari pantun dengan rima a-a-a-a. Namun, yang membedakan dengan pantun adalah soal optimalisasi makna. Pada pantun, larik pertam dan kedua adalah sampiran, baru larik ketiga dan keempat kita temukan isinya. Adapun pada puisi, seluruh larik itu adalah puisi.

Setelah itu, di Aceh, muncul sejumlah penyair-penyair hebat lainnya, seperti Teungku Chik Pantee Kulu (1881-1891). Sastrawan Ali Hasjmy menyebut Teungku Chik Pantee Kulu sebagai penyair perang. Ia mampu mengobarkan semangat perlawanan rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda dengan syair Hikayat Prang Sabi. [3]

Berikut ini petikan karya Teungku Chik Pantee Kulu:

Salam alaikom walaikom teungku meutuah
Katrok neulangkah neulangkah neuwo bak kamoe
Amanah nabi...ya nabi hana meu ubah-meu ubah
Syuruga indah...ya Allah pahala prang sabi

Ureueng syahid la syahid bek ta khun mat
Beuthat beutan...ya Allah nyawoung lam badan
Ban sar keunung la keunung senjata kaf la kaf
Keunan datang...ya Allah pemuda seudang

Djimat kipah la kipah saboh bak jaroe
Jipreh judo woe ya Allah dalam prang sabi
Gugur disinan-disinan neuba u dalam-u dalam
Neupuduk sajan ya Allah ateuh kurusi

Ija puteh la puteh geusampoh darah
Ija mirah...ya Allah geusampoh gaki
Rupa geuh puteh la puteh sang sang buleuen trang di awan
Wat tapandang...ya Allah seunang lam hatee

Selain itu, ada pula penyair Do Karim atau Abdul Karim dengan puisi Prang Kompeni. Ini juga puisi yang sangat dikenal sebagai pengobar semangat pertempuran masyarakat Aceh terhadap Belanda. Do Karim membacakan sendiri syair itu. [4] Namun tidak diketahui pasti kapan Do Karim lahir dan tiada. Namun Ali Hasmy memperkirakan Do Karim lahir sebelum perang Aceh (1873) dan meninggal sebelum 1903. [5]

Puisi Indonesia pun terus tumbuh dan kemudian – untuk memudahkan mengidentifikasinya – digolongkan dalam penanda-penanda (periodisasi) seperti Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Sastra Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950 - 1960-an, Angkatan 1966 - 1970-an, Angkatan 1980 - 1990-an, Angkatan Reformasi dan Angkatan 2000-an. [6]

peluncuran-antologipuisidiujongbatee.jpg
Penyair Aceh tahun 1990-an. Repro koleksi foto Doel CP Allisah (alm)

Memahami Puisi

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut bahwa puisi adalah: (1) ragam sastra yg bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait (2) gubahan dl bahasa yg bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; (3) sajak.

Kritikus sastra H.B. Jassin berpendapat bahwa puisi adalah pengucapan dengan perasaan yang di dalamnya mengandung pikiran dan tanggapan-tanggapan. Penyair dan esais Amerika Serikat Ralp Waldo Emerson menyebut bahwa puis adalah mengajarkan sebanyak mungkin hal dengan kata-kata sesedikit mungkin. Herman J Waluyo mendefinisikan puisi sebagai karya yang mengungkapkan pikiran dan perasaan secara imainatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa.

Harold Bloom, profesor sastra di Universitas Yale, Amerika Serikat mengatakan pada dasarnya puisi adalah bahasa kiasan, terkonsentrasi sehingga ekspresif dan menggugah. Rahmat Joko Pradopo, penyair sekaligus profesor sastra dari Universitas Gajah Mada (UGM) menyebut puisi adalah ekspresi pemikiran yang membangkitkan perasaan. Ia mampu membangkitkan imajiasi panca indera dalam suasana yang berirama.

Dari sejumlah definisi di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa ciri puisi adalah: (1). Pengucapan dengan perasaan (ungkapan perasaan). (2). Mengandung pikiran dan tanggapan. (3). Simbolik (berbicara banyak hal dengan sedikit kata, kiasan, dll). (5). Imajinatif. (6) bahasa atau pilihan katanya kuat. (7). Berirama. Dengan demikian, sebuah puisi yang baik– secara teknis – harus mengandung unsur-unsur itu.

Kita bisa melihat dengan jelas unsur-unsur itu dalam contoh puisi berikut ini.

Aku

Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari

Hingga hilang pedih perih

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Puisi di atas sudah pasti ungkapan perasaan penyairnya (Chairil Anwar). Namun, tidak sekedar ungkapan perasaan, puisi itu juga mengadung pikiran dan respon terhadap kondisinya saat ini. Respon itu makin kuat ketika dia menegaskan dirinya sebagai “aku binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang”. Baris-baris selanjutnya makin menegaskan heroisme Chairil dalam menghadapi hidup, menunjukkan eksistensniya. Puncak penegasan eksistensi itu adalah ketika berkata: Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Pernyataan-pernyataan dalam puisi itu adalah pikiran Chairil, Lalu pikiran-pikiran itu disampaikan dengan simbol-simbol waktuku, binatang jalang, luka, sampai hidup seribu tahun lagi. Hidup seribu tahun lagi juga melambungkan imaji (bayangan) pembaca pada suatu kondisi tertentu, yang mungkin tak ada dalam bayangan nyata. Seperti diketahui, imaji atau imajinasi memang dibangun melampuai kenyataan. Dan semua itu disampaikan dengan pilihan kata yang kuat, dengan bunyi yang harmonis.

image

Konteks Masyarakat

PUISI, sebagaimana karya seni lainnya, adalah cermin dari masyarakat. Ia tidak pernah terlepas dari persoalan-persoalan dalam masyarakat. Jacob Sumarjo menyebut bahwa itu terjadi karena manusia hidup dan berelasi dengan orang-orang lain di sekitarnya. Dengan demikian, selalu dapat ditarik sifat relasi antara karya sastra dengan masyakat di mana sastrawan itu hidup.

“Kegelisahan masyarakat menjadi kegelisahan para pengarangannya. Begitu pula harapan-harapan, penderitaan-penderitaan, aspirasi mereka menjadi bagian pula dari pribadi pengarangang-pengarangnya. Inilah sebabnya sifat-sifat dan persoalan suatu zaman dapat dibaca dalam karya-karya sastranya.” [7]

Ignas Kleden memperkuat hal itu dengan menyatakan bahwa sebuah karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi kebudayaan tempat karya itu dilahirkan. Meskipun, kata Ignas, pengarang berusaha mengambil jarak dan bahkan melakukan transendensi secara sadar dari jebakan kondisi sosial dan berbagai masalah budaya yang ada di sekitarnya. [8]

Bahkan, sebetulnya bukan hanya merefleksikan, tidak jarang penyair mengambil peran secara sadar dalam masyarakat. Rendra misalnya, dengan sajak-sajaknya yang penuh kritik sosial, dengan sadar telah mengambil pilihan untuk menjadi semacam katalisator dari berbagai persoalan, baik itu persoalan sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Ia misalnya menerbitkan kumpulan sajak berjudul “Potret Pembangunan dalam Puisi” .

Karena itu, Rendra mengatakan bahwa kewajiban penyair untuk mengkritik semua operasi dalam masyarakat, baik yang bersifat sekuler maupun spritual yang menyebabkan kemacetan di dalam kehidupan kesadaran. Sebab, menurut Rendra, kemacetan kesadaran adalah kemacetan daya cipta, kemacetan daya hidup, dan melemahkan daya pembangunan. Rendra memang kemudian dikenal sebagai penyair yang cukup kritis dalam merespon persoalan dalam masyarakat dan negara. [9]

Sebetulnya, ini bukan cuma ciri penyair atau seniman pada umumnya. Ini adalah refleksi dari nilai-nilai kemanusiaan yang bisa dipunyai oleh siapa saja. Seseorang yang masih berjalan dalam rel kebenaran dan keadilan tentu akan tersentak jika dihadapkan pada persoalan-persoalan ketidak-adilan dan ketidakbenaran. Mereka lalu mencari saluran untuk menanggapi masalah itu, sesuai dengan kapasitas dan keahliannya.

Jika ia seorang politisi, ia akan berjuang lewat jalur politik. Jika ia birokrat ia akan berusaha menanggapi masalah itu dengan jaringannya di jalur birokrasi. Begitu pula untuk profesi-profesi yang lain. Nah, seniman menggunakan karya seni untuk merespon persoalan itu. Jadi, sebagai makluk sosial, menurut Prof Bimo Walgito, manusia berhubungan dengan sekitarnya dan mempunyai dorongan untuk mengabdi pada masyarakat. [10]

Jejak-jejak kepedulian dan keterlibatan dalam isu-isu sosial itu dengan mudah kita lihat, misalnya, dalam puisi-puisi penyair Aceh. Dalam merespon konflik Aceh, misalnya. AA Manggeng Putra (10Februari 1964 - 27 Maret 2010 ), antara lain menulis seperti ini:

image
Iustrasi: Repro gambar lukisan Mahdi Abdullah. Sumber: Internet

YANG HILANG DI MUSIM BADAI

Aku cari engkau saudaraku yang sudah lama tidak
kembali
apakah musim badai tanah rencong ini
telah mendekapmu di penjara-penjara rahasia
suara tidak selalu menjadi kata, saudaraku
untuk itu ingin kupastikan nurani atas kehilanganmu
apakah engkau mendengarnya dari sukma bumi
yang bernafaskan air mata

saudaraku,
hujan dan cahaya kunang-kunang
memberi isyarat duka cita atas kepergianmu
jangan kuburkan kebenaran, saudaraku
hanya karena keterpaksaan
bersuaralah meskipun tak jadi kata
kami mendengarnya di musim gugur daun-daun muda
berumahkan pepohonan tumbang yang tercabut akarnya

pastikanlah saudaraku
jika engkau bersama Tuhan menunggu pengadilan akhir
riwayat
tinggal risau kami di jalan-jalan penuh gelagat
saat manusia memutuskan keadilan di meja hijau
adakah suaramu bergema dari kubur rahasia
sebab ada pertanyaan yang belum terjawab:
“berapa harga kemerdekaan dibanding nyawa?”

Aceh, 1991

Penyair lain, Fikar W. Eda, dalam puisi berjudul “Tubuh Rebah” (1998), menulis seperti ini: tubuh rebah ke bumi/ deru angin mematahkan dahan/ bau busuk menguap dari kelopak daun/ darah membuat kolam/ di atasnya teratai kuncup/ membalut tubuh tak lagi bernyawa. [11] Sajak itu, jelas sekali, memperlihatkan sebuah kegelisahan banyaknya korban yang jatuh akibat konflik Aceh yang berkepanjangan.

Begitu pula ketika peristiwa tsunami terjadi pada Desember 2004, para penyair banyak menulis sajak luka dan duka. Bahkan, ada sejumlah buku antologi puisi bersama lahir, seperti Aceh 8,9 Skala Richter (2005), Ziarah Ombak (2005), Lagu Kelu (2005), Syair Tsunami (2007). Itu belum termasuk begitu banyak puisi yang dimuat di koran-koran maupun yang diterbitkan sendiri-sendiri oleh penyairnya.

Salah satu sajak, yang cukup menyentuh, ditulis Azhari. Sastrawan Aceh ini kehilangan keluarganya dalam tragedi itu.

IBUKU BERSAYAP MERAH

Ibu, Abah dan Dik Nong
setelah bala aku pulang ingin melihat
kalian dan kampung

kukira 26 desember cuma mimpi buruk
tapi tak kutemukan kalian di sana,
juga Arif kecil yang cerewet

seperti kalian, kampung kita ternyata sudah tiada
berubah menjadi laut yang raya

lihat Ibu ada bangau putih
berdiri dengan sebelah kaki di bekas kamarmu

bangau itu tak bersayap merah
seperti dulu pernah kauceritakan padaku

karena aku tahu bangau itu telah memberikan sayap
merahnya buatmu
agar kau peluk Abah dan Dik Nong ke dalamnya

Banda Aceh 2005

image

Kala gempa menggoyang dan tsunami menyusulnya, Azhari sedang tidak berada di Banda Aceh. Begitu tahu tsunami, ia buru-buru pulang dan menemukan kenyataan yang tak pernah terbayangkan. Tapi sajak itu, tidak hanya menyuratkan kesedihan, melainkan tapi sekaligus kepasrahan kepada Tuhan. Ia sadar betul bahwa Tuhan Maha Besar, Maha Mengatur semuanya, dan manusia tidak dapat menolak. Manusia hanya bisa merawat kenangan.

Jakarta, 13 Agustus 2014

[1] Damono, Sapardi Djoko, makalah, dimuat di http://kalam.salihara.org/html-index/268-kesusastraan-indonesia-sebelum-kemerdekaan, diakses pada 12 Agustus 2014.

[2] Teeuw, A. 1994. "Hamzah Fansuri, Sang Pemula Puisi Indonesia". Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.

[3] Hasjmy, Ali. 1977. Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agressi Belanda. Jakarta: Bulan Bintang.

·

[4] Ara, L.K, dkk (ed). 1995. Seulawah Antologi Sastra Aceh. Jakarta: Yayasan Nusantara.

[5] Sudirman. 2013. Do Karim, Serambi Indonesia, Minggu, 10 Maret 2013.

[6] Wikipedia, Sastra Indonsia, diakses pada 12 Agustus 2014 -- http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Indonesia

[7] Sumardjo, Jacob. 1982 Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya

[8] Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Freedom Institute dan Grafiti.

[9] Rendra. 2001. Penyair & Kritik Sosial. Yogyakarta: Penerbit Kepel Press.

[10] Walgito, Bimo, Prof. Dr. 2003. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Penerbit Andi.

[11] Bahri, Saiful, dkk (ed), 2000. Keranda-keranda. Banda Aceh: DKB, NGO HAM dan Elsam Jakarta.

Sort:  

Detail sekali bng, pemaparannya sampai akhir.
Jarang ada artikel yg begini. Seperti sebuah makalah yg di presentasikan di perkuliahan.

ya itu makalah saya. Saya posting biar teman yang suka puisi bisa membaca. terima kasih

Oman... Kop hayeu! Gagah that awak droun... Nyou baro deuh bang fikar ngui kupiah meukeutop. Thanks for sharing abang... Sukses selalu.

nyan jameun. watee di meulaboh. jadi pakek gaya teuku umar haha

Ini baru awak awai... :)

hehe.... anak muda zaman old haha.

Ulasan sangat penting dan jarang diajarkan di sekolah sekolah..

aku ingin mendorong teman-teman mempoating karya yang lebih bisa manfaatnya oleh banyak orang. Ayo kita warnai steemit ini

Indah sekali tulisan ini, sangat educatif berisi pesan moral dan nilai seni yang tinggi. Banyaknya referensi dapat diartikan penulis memiliki ilmu dan wawasan yang sangat luas, membaca adalah kunci utamanya, Subhanallah bang @musismail

terima kasih

Keren sekali makalah bang Mus . Komplit dan detil. Ini ilmu yang bisa diserap oleh siapa saja. Sangat bermanfaat. Thanks sudah berbagi. Ini layak dapat vote banyak.

ya na, saya berbagi pengetahuan dan pengalaman semoga bermanfaat buat banyak orang. Mksh

Izin resteem ya bang...

Sangat mendetail dan inspiratif... Banyak wawasan ttg puisi yg bisa kita dapatkan melalui tulisan ini... Very much like this...😍😍