MEMANG pertumbuhan penduduk (demografi) yang semakin meningkat dari tahun ke tahun merupakan dilema tersendiri dalam memastikan keadilan ruang. Disatu sisi, perlu dilakukan perluasan ruang untuk kebutuhan lahan produksi demi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Disisi lain, kawasan hutan yang ada di Indonesia, khususnya Aceh yang berfungsi untuk penyangga kehidupan manusia sedang dalam kondisi kritis yang sangat mengkhawatirkan. Dilema ini perlu disikapai dengan bijak, khususnya oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait.
Hal yang sangat kontras berkaitan dengan keadilan ruang adalah pengusaan lahan yang dikuasai satu dua orang dengan jumlah yang sangat besar. Sebagai contok, ±50% kawasan Areal Peruntukan Lainnya (APL) di Kabupaten Aceh Utara hanya dimiliki oleh 12 orang dalam bentuk konsesi Izin usaha Perkebunan (IUP). Bayangkan +600 ribu penduduk di Kabupaten Aceh Utara hanya sebagian kecil yang mendapat akses dalam pemafaatan ruang. Ironisnya lagi, ±50% pemegang konsesi IUP tersebut berpotensi menjadi “pengrusak alam”. Sehingga tidak heran longsor, banjir dan kemarau panjang menjadi agenda wajib yang harus ditanggung masyarakat Kabupaten Aceh Utara pada setiap tahunnya. Alih-alih investasi untuk mencapai kesejahteraan, malah yang terjadi pengrusakan terhadap alam.
Itu hanyalah secuil persoalan yang terjadi di tanah yang tercinta ini, masih banyak persoalan-persoalan lain yang terjadi berkaitan dengan keadilan ruang. Penggusuran warga akibat keserakahan “investor tamak” untuk merebut ruang, merupakan persoalan lain yang hampir selalu menjadi tontonan dan terpampang di media-media online dan cetak. Begitu juga kriminalisasi terhadap warga yang telah menggarap lahannya secara turun-temurun dan nasibnya harus berakhir di jereji besi, yang juga diakibatkan oleh kserahakan “investor tamak” di bidang ruang.
Pemangku kebijakan yang memahami konektivitas antar instrument pembangunan dengan baik, maka akan dapat memastikan kawasan-kawasan yang telah diperuntukan untuk budidaya dan lindung. Sehingga potensi konflik lahan dan pengrusakan terhadap hutan dan lahan (deforestai dan degradasi) secara “legal” dapan diantispasi sedini mungkin. Dengan harapan, konsep “membangun tanpa merusak” dapat berjalan secara seimbang dan beriringan. Bukankah keadilan ruang merupakan salah-satu indicator penting untuk mengentaskan kemiskinan dan itu juga (ruang/lahan) merupakan salah-satu alat produksi yang paling produktif.
Bila kembali ke persoalan awal dengan melihat secara objektif, maka dilemanya bukanlah pada persoalan pertumbuhan penduduk dengan peningkatan kebutuhan lahan produksi (ruang). Akan tetapi persoalannya adalah distribusi ruang yang tidak berjalan secara berkeadilan. Kasus di Kabupaten Aceh Utara merupakan salah-satu contoh yang terjadi monopoli terhadap ruang oleh segelintir orang, yang kemudian dilegalkan melalui selembar kertas yang mengatasnamakan pengembangan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Namun fakta yang terjadi bertolak belakang dengan semangat dan motivasi awal.
Maka penting kemudian bagi pemangku kebijakan untuk memahami konsep pembangunan melalui rencana tata ruang. Sehingga dapat melahirkan kebijakan yang berbasis keadilan ruang dan yang lebih pentinya lagi adalah memberikan izin pemafaatan ruang berdasarkan manfaat dan funsi ruang itu sendiri. Sehingga konsep “membangun tanpa merusak” dapat berjalan dengan seimbang dan berkeadilan.
Bila ditelusiri secara lebih mendalam, setiap pembangunan disemua tingkatan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus menjadi alas dan pondasi yang paling mendasar dalam acuan pembangunan. Ketentuan-ketentuan pembangunan tersebut, kemudian diterjemahkan dalam regulasi pada tingkatan daerah masing-masing. Maka kemudian penting bagi setiap pemangku kebijakan untuk memahami konektivitas antar instrument tersebut, sehingga program pembangunan yang akan dijalankan tidak tumpang tindah dan tidak saling berbenturan.
Begitu juga saat RTRW memastikan pemanfaatan dan peruntukan ruang, maka sedapatkan mungkin kawsan tersebut dimanfaatkan berdsarkan fungsinya masing-masing. Bila tidak, maka pembangunan yang tujuan utamanya untuk peningkatan kesejahteraan dan pengentesan kemiskinan akan berbanding terbalik dengan semangat dasar. Sehingga konsep “membangun tanpa merusak” akan jauh dari harapan dan hanya sebatas impian.