Pertengahan Oktober 2016 lalu, saya berkesempatan sharing fotografi bersama pecinta fotografi di Banda Aceh. Lembaga Pers SumberPost membuat sebuah workshop bertemakan ‘Human Interest’. Ada tiga materi dalam Klinik Fotografi tersebut, saya diminta memaparkan teknik dasar penguasaan kamera (perihal teknis).
Saya sadar betul, berbicara fotografi ‘Human Interest’, kita dituntut lebih peka dalam memunculkan sisi ‘humanis’. Dengan kata lain, rasa personal, estetika dan momen untuk bisa menggugah siapa saja yang melihatnya lebih diutamakan. Perihal teknis yang hendak saya paparkan bukanlah menjadi faktor utama lagi.
Pertanyaan selanjutnya, “untuk apa juga belajar perihal teknis, kalau yang sangat menentukan itu bukan pada kamera?”
Nah, dalam hal ini perlu kita pahami bersama, fotografi adalah komunikasi visual yang tidak bergerak dan tanpa suara dalam menyampaikan ide atau pesan. Oleh karena itu, kita perlu memahami prinsip kerja kamera, supaya rasa personal dan subjektifitas serta nuansa yang kita rasakan, bisa kita tuangkan ke dalam gambar.
Misalnya, kita hendak menampilkan detail raut wajah seorang nenek dengan kerutan lebih nyata, maka kita mengatur pencahayaan lebih gelap, namun terukur. Sebaliknya, kita juga bisa membuat sebuah foto yang penuh dengan inspirasi namun kelihatan ceria, kita bisa mensetingnya dengan nuansa lebih terang atau cerah. Begitu juga, apabila kita ingin membuat foto dengan ketajaman ruang lebih luas ataupun menjadikan gambar hanya tajam dibagian objeknya saja, kita juga bisa mengatur settingan dengan sedemikian rupa.
Prinsip kerja kamera dari ‘Analog’ sampai sekarang ini (digital) tetaplah sama; untuk mendapatkan pencahayaan yang tepat, umumnya kita perlu memahami prinsip kerja ‘Segitiga Exposure’, yakni menentukan nilai komponen dasar dari Aperture, Shutter Speed dan ISO. Dalam hal ini, kita menentukan keseimbangan antara ketiganya.
Menjelaskan ketiga element tersebut, saya sengaja memperlihatkan tiga jenis kamera dari era yang berbeda; Seagull 203 buatan China keluaran tahun 60-an, Nikon FM3A (rollfilm) dan Nikon D7200 (digital).
Tidak ada perbedaan yang signifikan terkait prinsip kerja dari ketiga jenis kamera tersebut. Ketiga-tiganya tetap disematkan Diafaragma, Shutter Speed dan Iso; hanya tata letak saja yang berbeda. Barangkali ini yang dikatakan bahwa, kamera bukanlah segala-galanya; banyak sekali kita temukan karya luar biasa dari fotografer terdahulu, karyanya dibuat dengan kamera Analog, yang hanya memiliki fitur sangat sederhana dan media penyimpanan yang sangat terbatas.
Setelah materi selesai, peserta diberi kesempatan untuk mempraktekkan langsung menggunakan kamera masing-masing, dan dilanjutkan dengan sesi evaluasi.
Dalam proses evaluasi, penekanan saya adalah, para peserta menyadari akan kondisi pencahaan yang selalu berubah-ubah. Jadi kepekaan akan perubahan itu yang perlu ditingkatkan dan diperbaharui.
Maka dalam hal ini jelas bahwa, pembelajaran terhadap perihal teknis ini bukanlah sesuatu yang baku. Melainkan kita hanya perlu memahami dasarnya saja sebagai bekal awal untuk memulai memotret, dan selanjutnya kita bebas menyeimbangkan sesuai dengan kondisi dan keinginan kita. Otomatis, kita perlu melakukannya secara terus-menerus. Dalam fotografi, ‘Skil itu hanya bisa ditebus dengan praktik’, tidak cukup hanya dengan teori, apalagi sibuk berbicara jenis kamera yang digunakan.
Setelah evalusi berakhir. Sebagai penutup saya menyampaikan; "Dalam fotografi, teknis itu penting, tetapi teknis itu tidak penting.” Saya tidak memperincikan ucapan saya itu. Namun saya yakin, ketika peserta yang hadir sungguh-sungguh dan konsisten menekuni bidang fotografi, maka pada saatnya nanti, mereka akan memahami pernyataan tersebut, karena saya juga sudah merasakan masa-masa itu.!