Assalammu'laikum kawan-kawan kali ini saya akan mereview buku Acehnologi Vol 2 Bab 14 tentang Sejarah Aceh
Pada saat sejarah Aceh ditulis sebagai bagian dari sejarah kebudayaan islam maka Aceh dapat disebut sebagai Sejarah Kerajaan Aceh yang mana posisinya sama dengan sejarah Nasional.
Sebelum abad ke-19 M, ketika sejarah Aceh Darussalam menjadi sejarah Nasional di Aceh, maka sejarah-sejarah di negeri kecil di Aceh sering tidak ditulis secara komprehensif padaha hampir seluruh negeri Aceh juga memiliki sejarah tersendiri baik itu sebelum bergabung sebagai Aceh Darussalam atau setelah bergabung dengan Indonesia. Bisa dikatakan bahwa penompang Sejarah Aceh sesungguhnya tidak dapat mengesampingkan sejarah Kerajaan Peurelak, sejarah Samudera Pasai, sejarah Tamiang, sejarah Pidie, sejarah Gayo,sejarah Aceh di pantai Barat (Meulaboh. Nagan Raya, Blang Pidie dan Labuhan Haji).
Karena begitu luasnya negeri dan negara yang bersentuhan dengan Aceh, maka sejatinya sejarah Aceh bukan hanya semata-mata sejarah Aceh Besar dan Banda Aceh.
Dalam bab sejarah Aceh lebih lanjut Kuntowijoyo pada halaman 381 menyebutkan bahwa” sejarah adalah rekonstruksi masa lalu” dia menitikberatkan mengenai apa yang direkonstruksi oleh sejarah, yaitu “apa saja yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan dan dialami oleh orang.” Dengan itu sejarah Aceh bukanlah merupakan romantisme belaka, melainkan merekonstruksi seperti yang dikemukakan oleh kontowijoyo yang dirasakan oleh orang Aceh.
Kembali pada pandangan kontowijoyo dia mengemukakan lima hal yang direkonstruksi oleh sejarah yaitu: pikiran (thinking), perkataan (word), pekerjaan (work), perasaan (feeling) dan pengalaman (experience). Jika dilekatkan pada kata sejarah maka sejarah Aceh akan memuat tentang sejarah pemikiran Aceh, sejarah perkataan Aceh, sejarah pekerjaan Aceh, sejarah perasaan Aceh, dan sejarah pengalaman Aceh. Tentulah diantara istilah-istilah tersebut ada kata yang hilang yaitu ‘orang’ atau ‘manusia’ baik sebagai pelaku atau saksi sejarah.
Upaya yang lain untuk menggali Sejarah Aceh adalah untuk memperkokoh identitas dan jati diri rakyat Aceh. Ini dapat dilakukan melalui pemerhatian sejarah sebagai kesadaran diri.
Dari uraian diatas bisa dilihat bahwa tugas Acehnologi di dalam membangun dasar-dasar keilmuan Sejarah Aceh tidaklah mudah. Seperti yang pesankan oleh Ibrahim Alfian beliau adalah seorang sejarawan nasional dari Aceh, dalam Kontribusi Samudra Pasai terhadap studi awal di Asia Tenggara.
Jika dilihat dari karya-karya di Aceh, penulis Aceh cenderung menghubungkan kajian sejarah dengan kebudayaan dan peradaban (tamaddun). Usaha ini menyiratkan bahwa ada upaya dari penulis Aceh untuk memasukkan Aceh di dalam lintasan sejarah peradaban islam secara global.
Sampai disini kajian sejarah Aceh pada abad ke-17 M memang telah menampakkan bagaimana kejayaan Aceh pada masa tersebut, sampai pertengahan abad ke-18 M. Namun apa bila kajian-kajian sejarah lebih banyak bukan mengilustrasikan tentang ‘Aceh’ melainkan menyajikan tampilan sejarah kerajaan-kerajaan besar di pulau Ruja, seperti Kerajaan Peureulak dan Kerajaan Samudera Pasai.