Review Acehnologi (Vol 3 Bab 23 Jejak Spirit Aceh)

in #indonesia7 years ago

Assalammua'laikum Wr...Wb.kali ini saya akan me-review kembali buku Acehnologi vol 3 bab 23 tentang jejak spirit Aceh.
20180530_212307.jpg

Sejauh ini fungsi spirit Aceh memang tidak lagi menghasilkan sistem berfikir dalam kehidupan kebudayaan Aceh. Hal ini sesuatu yang bersifat spirit tidak mampu diterjemahkan ke dalam realitas kehidupan nyata masyarakat. Sehingga spirit Aceh seoalah-olah telah tenggelam ditelan masa.
Pada dataran fenomena pusat-pusat yang memberikan kekuatan spirit tersebut masih dapat dilihat secara real. Contohnya pada ketika ada orang yang jatuh atau tertimpa suatu masalah secara mendadak, maka orang Aceh akan mengatakan krue seumangat, atau orang sedang melantunkan syair dalam seudati atau saman kerap disambut secara bersamaan dengan kata “kruee”

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa kekuatan spirit yang masih dipraktikkan dan memiliki makna adalah tradisi meugure atau menuntut euleume dikalangan masyarakat Aceh. Proses penyemaian spirit Aceh di dalam konteks kekinian tidak mudah, hal ini disebabkan ketiadaan upaya untuk melakukan transformasi mengenai kekuatan yang abstrak yang muncul didalam masyarakat Aceh. Karena sistem berfikir yang sangat abstrak telah sirna, maka sitem berfikir masyarakat yang muncul adalah sitem materi. Topik mengenai spirit akan menggiring kita pada konteks sejarah Aceh.

Namun, begitu kita meloncat pada persoalan budaya Aceh, maka sampai hari ini konstruksi identitas ke-Aceh-an masih mengundang sejumlah perdebatan. Akan tetapi ketika mendiskusikan kebudayaan Aceh maka ada tiga hal yang mutlak harus dipahami yaitu “sejarah, bahasa, dan tradisi Aceh”.

Berangkat dari pembahasan diatas menarik untuk dipahami mengapa jejak pejuang Aceh serta budaya Aceh mampu menjadi spirit. Disini kata spirit menjadi kata kunci bagaimana orang Aceh mampu mensinergikan nilai-nilai perjuangan dan kebudayaan. Hal serupa juga terjadi pada persoalan kebudayaan pada beberapa aspek tertentu masyarakat masih bisa bertahan pada kesepakatan bersama mengenai makna-makna simbolik.

Disini pemikiran yang berupa menghadang penafsiran terhadap makna sombolikkerap mengundang sejumlah konflik dikalangan masyarakat. Pada masyarakat perkotaan hal-hal yang bersifat simbolik cenderung dipandang sebagai symbol ke-Aceh-an.
Sementara dikalangan masyarakat kampong mereka mengangap sebagai bagian budaya endatu.

Dalam rentang sejarah Aceh ada juga kelompok besar yang selalu menghiasi lembaran demi lembaran historisitas Aceh yaitu para sultan dan ulama. Kedua kelompok ini tidak bisa dipisahkan. Disini juga muncul para pejuang Aceh yang melawan Belanda selama bertahun-tahun. Karena itu, ketika menulis sejarah Aceh konstribusi ulama dan peran sultan dalam membina peradaban Aceh tidak dapat diabaikan. Dalam artian spirit pembangunan Aceh saat itu adalah melalui ilmu pengetahun. Yaitu struktur berfikir masyarakat Aceh pada zaman tempo dulu bisa diukur dab dapat dianggap sebuah legasi kebudayaan yang sangat mapan.

Paham ke-Aceh-an yang mampu menerima spirit ini, karena ada pandangan orang Aceh todak boleh menjadi kafir, karena tanah Aceh adalah tanah para Aulia. Jadi konsep kaphe dan aulia merupakan batas spiritualitas yang tidak dapat dinegosiasikan di Aceh.
Spirit kemudian menjadi “pagar” bagi masyarakat setempat mereka sangat patuh pada apapun yang di ucapkan oleh ulama sehingga tata kehidupan masyarakat pun sangat teratur.

Struktur kebudayaan Aceh selain diuji pada masa kolonial juga diuji pada masa menjadi bagian dari NKRI. Semua sendi kemasyarakatan berubah. Institusi kesultanan hancur. Hilangnya otoritas kesultanan di Aceh telah menyebabkan kehilangan spirit kekuasaan di Aceh.
Kenyataan ini menyiratkan bahwa untuk membangkitkan kembali spirit melalui pejuang dan budaya, perlu diadakan dialog antara masa sekarang dengan masa lalu untuk membangun aceh kedepan.