Surat Ini Kutulis Untuk Ibu-mu

in #indonesia6 years ago

Aku bukan perangkai huruf yang handal lalu kemudian mampu membuatmu hanyut dalam pusaran kata-kata.

Walau begitu, aku tetap mencoba menulis surat ini untukmu.

Kau tahu, Aku telah mengenal anakmu, walau baru mengenalnya selama dua tahun. Tetapi aku merasa sudah mengenalnya lebih dari pada itu. Anakmu yang selalu memasang curiga pada semua orang dengan nilai tinggi, bahkan padaku sekalipun juga begitu. Mungkin ini diwariskan darimu selain wajahnya yang lumayan cantik.

Aku tidak heran, jika anakmu tidak memiliki banyak teman. Ia selalu berhati-hati saat memutuskan berteman dengan seseorang atau tidak, terlebih dengan lelaki. Bukan karena tidak nyaman dengan topik perbincangan yang monoton, tetapi ia takut suatu saat akan mengecewakan orang-orang itu. Dan ia berasumsi bahwa akulah orang yang akan kuat menghadapi kekecewaan itu jika tiba waktunya nanti.

Kudengar dari anakmu, kau juga senang piknik. Sadarilah, Bu. Aku lahir di Tanah Aceh. Di sini kau dapat menemukan banyak bukit hijau dengan panorama mengagumkan, jika kau berkenan nanti aku ajak kau melihatnya. Lepas dari rutinitas kantormu, tidak ada suara-suara telepon yang wajib dijawab, khususnya suara kemacetan yang pasti sering menjadi keluhan kebanyakan orang. Namun, di sini Bu, terlalu banyak penindasan. Yang mereka alami mirip seperti yang menimpamu belasan tahun lalu.

Aku rasa kita memang perlu penyamaan persepsi mengenai itu, Negeri kita ini mengalami kesulitan dalam memperhatikan penindasan. Jika saja hidup tidak butuh banyak syarat, kita pasti sudah bertemu sejak aku jatuh cinta dengan anakmu. Dan aku tidak perlu mengenalmu sebagai orang yang berbeda. Bu, kami sering membicarakan ini, kami selalu memikirkan strategi untuk melampaui batas-batasan supaya kami bisa berdiri paling tinggi lalu berpegangan tangan di atas orang-orang yang mendongak melihat langit dan bercerita bahwa kita adalah kupu-kupu yang bebas.

Selain mendukung kebebasan mencintai tanpa sekat, anakmu juga mendukung orang bercinta tanpa pandang suku. Ini di luar dari dedikasimu sebagai ibu. Ia punya ideologi sendiri seiring perjalanan hidupnya. Begitu juga ketika ia memilih untuk memulai atau tidak, berpacaran atau tidak, menikah atau tidak, di dapur atau tidak, di kantor atau tidak, bahkan kaya atau tidak.

Kau mungkin tidak begitu tahu, Bu. Banyak kemapanan yang tidak disetujui anakmu ini. Terkadang aku sering gengsi kalau berdiskusi dengannya. Pasti aku kalah telak setiap beradu mulut dengannya. Anakmu lebih liar dari kecurigaanmu. Seandainya dunia ini tidak terbentuk dengan moral, jimat-jimat, hukum, dan sejuta tetek-bengeknya, anakmu pasti sudah melarikan diri dari rumah. Hanya saja akan butuh waktu lama meyakinkannya untuk melakukan suatu tindakan. Ia akan menyusun indikator dalam setiap bervisioner, melihat dengan objektif, berpihak pada banyak orang, juga memastikan tidak merendahkan martabatnya sebagai perempuan, bermanfaat, dan tidak boleh untung hanya sepihak, harus imbang dan adil. Kalau semuanya sudah tersedia, kau akan segera mendapat kesepakatan darinya.

Sering ketika pagi menjelang, kami sarapan di tempat yang kumuh dan murahan. Itu sengaja kami lakukan guna menambah modal para pengusaha kecil untuk menghancurkan pasar pengusaha besar. Dengan begitu, menurutnya terpantiklah peperangan ekonomi hingga menjatuhkan semua harga barang. Kau tahu, Bu. Bagi kami peristiwa ini wujud dari hakikat kebahagiaan. Bahagia untuk kami, juga bahagia untuk mereka semua para penjaja dagangan kaki lima, hal itu pula,yang membuat aku semakin kukuh untuk bersama anakmu.

Bu, Aku jadi ingat ketika anakmu pernah menyelipkan cerita tentang perjuangan suamimu sewaktu merebut hati mertua, Ya mertua suamimu sekarang. Kalian harus bersusah payah dengan mengarang cerita di hadapan ibumu supaya ia tak perlu mengamuk jika mengetahui anaknya melahap makanan dengan kadar gizi yang rendah. Bahkan dalam arti lain mungkin juga dengan harga rendah pula. Aku rasa perilaku seperti itu tak perlu kucontoh dan berbuat hal yang sama di hadapanmu sekarang, kini aku sudah mengantisipasi betul akan kekecewaanmu jika banyak yang kusembunyikan darimu. Meski dengan berlaku jujur pun kuyakin akan membuatmu kecewa berkedalaman.

Kau sudah pernah jalani itu semua, walau berasal dari agama yang sama, bahkan ras kau dan suamimu tidak berbeda. Perjuangannya kukira akan lebih mudah jika dibandingkan dengan perjuanganku dan anakmu.

Walau sesungguhnya tidak ada satupun perjuangan yang dapat dianggap remeh. Mewujudkan ekspektasi mertua menjadi lelaki yang berkecukupan tentu lebih berat daripada sekedar memberanikan diri hanya dengan mengirim surat. Aku paham betul bahwa bagimu uang tidak akan bisa menjinakkan segala macam prinsip, betulkan begitu, Bu?

Anggap saja semua yang kutulis sekarang ini adalah laporan kebersamaanku dengan anakmu. Terlebih lagi aku juga menghormatimu sebagai orangtuanya. Ia menitip salam supaya kamu jangan terlalu sibuk bekerja, luangkan waktumu untuk berlibur, perbanyak juga minum air, sebelum di tempatmu air berubah menjadi debu, pasti penyesalan akan kau dapatkan nanti. Dan belajarlah sedikit suka membaca seandainya suratku datang lagi nanti dengan halaman yang lebih banyak. Namun, ketika kau sudah suka membaca nanti, berhati-hati pula dalam memilih bahan bacaan. Terutama di media sosial. Mereka semua memang pabrik informasi terbesar kini, tetapi yang kau baca darinya belum tentu baik, serap lah beberapa diantaranya saja, anakmu jauh lebih paham soal itu.

Untuk itu, Aku sarankan berlanggananlah koran mingguan yang memiliki kolom sastra, dan kau sobek saja berita di halaman bagian depan itu. Semuanya. Sebab yang penting dari koran hanya obituari dan kolom sastra. Dan atau jika pun kau memang seorang yang gemar memperhatikan pasar bebas, mungkin lembar tentang situasi ekonomi bisa kamu temui disana. Agar kau tahu betapa memilukannya keadaan di sekitarmu sekarang.

Jangan lupa titip salam ku pada suamimu, aku harap nanti bisa bertemu langsung dengannya untuk sekedar bertukar rahasia, pasti sangat mebantu, sekaligus memberi tahu tentang koleksi barangmu atau hanya sekedar makanan kesukaanmu. agar ketika saat berkunjung nanti aku tidak bawa tangan kosong.

Oh ya, hampir saja lupa, yang ingin kujadikan konklusi dari surat ini adalah, bahwa hal yang paling ekstrem dalam perjuangan sepasang kekasih yaitu ketika mereka menjalin ikatan yang tidak melibatkan syarat kemapanan.

Bahkan, mungkin para anggota keluarga akan mempertimbangkan keberlangsungan hubungan mereka, maksudku "kami". Mereka akan menjadi dua kutub yang terpisah di antara bentangan-bentangan yang berisi cibiran masyarakat yang katanya paling ber-adat.

Mereka yang saling mencintai adalah mereka yang gila. Tetapi percayalah, mereka pula yang paling sadar bahwa cinta menjadi cara lain Tuhan menyatukan hambanya. Tidak ada satupun manusia yang memiliki otonom atas manusia lain dalam kebebasan mencintai itu sendiri.

Bu, anakmu akan bertanya, "Apa tidak masalah kalau isi suratnya aku tulis dengan begitu kasar?”

Walau dengan sedikit gugup, aku tetap mencoba menenangkan anakmu, "Tenang!, Aku tidak mencantumkan namaku sedari awal menulis surat ini".

Salam...