Yang penting dicatat, kesadaran bermedia warga pribumi adalah hasil dari amatan mereka terhadap praktik bermedia pihak kolonial dan warga (keturunan) China. Hal ini seperti diterangkan oleh Andi Suwirta bahwa
“Kelahiran pers bumiputra, yaitu pers yang dikelola, dimodali, dan dimiliki oleh orang Indonesia sendiri, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh perkembangan pers yang dikelola oleh orang-orang Belanda dan China di Indonesia (Hoogerwerf, 1990:141). Pada akhir abad 19 dan awal abad 20 orang-orang Belanda dan China itu telah menerbitkan dan memanfaatkan pers sebagai media yang efektif untuk membela kepentingan politik dan sosial mereka. Keadaan seperti itu kemudian disadari juga oleh golongan elite modern Indonesia untuk menerbitkan pers sebagai media untuk menyosialisasikan gagasan, cita-cita, dan kepentingan politik mereka, terutama dalam memajukan penduduk bumiputra di Indonesia.
Hanya saja, mulanya sifat media-media yang tersebut itu tidak banyak memiliki arti politis, tetapi hanya surat kabar yang lebih banyak memuat iklan-iklan. Berita hanya sedikit. Begitu pula dengan jumlah eksemplar yang hanya berkisar 1.000-1.200. Media-media tersebut seperti Soerabajaasch Advertentieblad yang terbit 1835 di Surabaya atau Semarangsche Advertentieblad di Semarang.
Tentu saja situasi semacam itu bukanlah hal yang diinginkan para pemilik dan pengelola media. Media pengiklanan bukanlah tujuan mereka. Hanya saja ada beberapa situasi tertentu yang membuat media mereka pada mulanya hanya bisa menerbitkan sedikit berita dan banyak iklan.
Pertama, keterbatasan awak. Di masa itu belum orang-orang terdidik yang memiliki kemampuan meliput lalu menulis berita sangatlah sedikit. Sementara untuk membuat media pemberitaan, yakni media yang lebih banyak memublikasikan berita, bukan iklan, dibutuhkan wartawan yang jumlahnya memadai.
Kedua, masalah keuangan. Sebagai media baru, tentu faktor keuangan agar tetap dapat hidup sangat penting. Barangkali, suatu strategi pula pada awal penerbitannya media-media tersebut membiarkan banyak iklan agar keuntungan bisa diraup. Pendapatan yang diperoleh pada kemudian hari bisa digunakan untuk merekrut dan membiayai upah para penulis.
Di kemudian hari saat jumlah orang yang mendapatkan pendidikan yang berkualitas semakin bertambah, semakin banyak pula orang yang dengan kemampuan menulis yang baik.
Baca juga
Andi Suwirta, “Zaman Pergerakan, Pers, dan Nasionalisme di Indonesia”, Mimbar Pendidikan, No.4, 1999.
Idealisme sepertinya hilang. Disebabkan pengaruh ekonomi dan politik. Itu hanya "sepertinya"