Puisi tak jatuh dari langit sebagaimana rintik hujan. Kata-kata tak harus menunggu kalbu mendung untuk beranak pinak dalam sepuisiku. Mungkin jika puisi secara berkala jatuh dari langit setiap sore, got di belakang rumah yang tersumbat sampah, akan menyerah mengalirkannya hingga ke sungai-sungai di pusat Banda Aceh.
Hujan menjelang pilpres tahun depan, sebaiknya dipuisikan oleh penyair yang benar-benar menulis puisi. Bahkan lebih lebih tepat misalnya ditulis oleh juru bicara pemerintah melalui staf humas. Puisi yang ditulis secara gotong royong biasanya mampu menjinakkan perasaanmu yang sulit dijinakkan.
Aku tak berpuisi di musim hujan ini. Membaca antologi puisi di taman budaya Aceh hari Minggu siang begini, terasa lebih menggetarkan dibandingkan mendeklamasikannya di panggung. Karena, ada banyak penyair yang bobo siang.
Aku tak bisa tidur dalam bising kata-kata. 'Ok ma!
Get that na teuh 😂😂😂 syit tjareng that bak teumuleh sagoe nyan. Nyan broih putus akan meusipak ban sitaloe jalan dan binteh pehbuk.. peu jipikee na kicap numboi 2?
Hahaaaaa....numoi 2 sang kicap jih rasa reliji. Kicap dari syuruga lapan, kaak eee.
Neu yu cicap keudrou bak awak nyan 😂 gata teumuleh mantong, peu ta kira ureung harouk keu peng gob😉
Lakee doa beu ek dicicap kak ee