Dalam #seriacehnologi ini, saya menarasikan perjalanan saya ke salah satu kawasan yang belum saya datangi sebelumnya. Dalam satu kesempatan, saya melakukan perjalanan ke Aceh Tengah bersama Prof. M. Hasbi Amiruddin, salah seorang guru besar di UIN Ar-Raniry. Awalnya, kami hanya ingin berkeliling di sekitar kota Takengon, untuk kepentingan suatu topik penelitian. Akan tetapi, saya memiliki azam untuk mengunjungi makam raja yang sering disebutkan dalam sejarah Aceh, yaitu Raja Lingge. Saya dengar kalau makam Raja ini berada jauh dari kota Takengon.
Sejarah Raja Lingge memang memiliki keterkaitan dengan sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Di kalangan masyarakat Gayo, mereka meyakini bahwa Kerajaan Aceh Darussalam tidak akan pernah lepas akar sejarahnya dengan sejarah masyarakat di Dataran Tinggi Gayo. Setelah selesai berkeliling kota Takengon saya memberitahukan harapan saya yang sudah lama saya pendam, yaitu berkunjung ke makam Raja Lingge. Beberapa warga yang saya jumpai di Takengon, memang mengetahui makam tersebut, tetapi mereka belum pernah ziarah ke situ.
Prof. Hasbi pun setuju. Kami akhirnya ditemani oleh mahasiswa pasca sarjananya di Takengon, yang bekerja di Kementerian Agama, Aceh Tengah. Saya mengatakan dengan penuh semangat kali ini biarlah saya yang menyetir sampai ke lokasi kuburan.
Akhirnya, permohonan saya disetujui. Saya tidak pernah membayangkan medan perjalanan yang akan saya tempuh untuk sampai ke makam tersebut. Perjalanan selama 5-6 jam akan saya lalui dengan medan belum pernah saya lakukan sebelumnya. Bapak Said, pegawai Kemenag yang menemani kami pun tidak melarang untuk saya setir ke tempat tujuan.
Awalnya, saya menduga bahwa jalan yang akan saya tempuh adalah jalan yang biasa. Namun begitu keluar dari kota Takengon, saya baru menyadari medan yang akan saya lalui. Perbukitan dan hutan. Jalan yang menikung. Terkadang longsor hendak menyapa kami. Sepi senyap selama perjalanan. Tidak begitu banyak perkampungan. Di samping jalan, jurang yang menganga sampai entah kemana dasarnya. Satu lagi pengalaman saya adalah selama perjalanan, sinyal HP terkadang muncul, terkadang tenggelam. Tidak pernah saya duga sebelumnya, bahwa untuk menuju makam Raja Lingge, saya harus melewati medan seperti ini.
Inilah perjalanan darat yang amat menegangkan bagi saya. Niat saya hanya sampai ke makam Raja Lingge. Itu saja. Dalam perjalanan, kami sampai di Kampung Owaq. Di situ kami pun dipertemukan dengan salah seorang pegawai Kemenag, yaitu Jamaluddin. Sampai sekarang, beliau sudah menjadi seperti saudara saya di Negeri Antara. Kami membeli bekal secukupnya. Selama beberapa jam perjalanan, saya memang tidak pernah jemu untuk menikmati pemandangan yang amat aduhai. Sayang, karena saya menyetir, beberapa keindahan negeri di atas angin ini, tidak sempat terpetik gambarnya.
Begitu sampai di sebuah areal perkampungan yang sudah dekat dengan makam, kami mencari sungai untuk menikmati santap siang. Lantas begitu mendekati perkampungan, kami pun diantar ke rumah Reje (Kepala Desa). Dia menceritakan bagaimana konflik Aceh di kawasannya, saat perang antara TNI dan TNA. Untuk ibu kota Gayo Lues, dia sebut dengan istilah Blang. Setelah kami diterima, baru diantar dengan jalan setapak ke lokasi makam.
Sesampai di areal makam, saya berpikir bahwa itu adalah makam yang dituju. Ternyata bukan. Di kawasan tersebut hanya ada rumah adat Gayo dan sumur yang dijaga oleh seorang penduduk, sebagai juru kunci. Kami dibolehkan untuk masuk ke sumur tersebut. Sebagai antropolog, apapun yang ada di hadapan harus dirasakan, bukan dirasionalkan. Dia lantas menceritakan kelebihan air sumur ini. Dia menawarkan kepada kami agar menggunakan kesempatan emas untuk minum air sumur tersebut. Kendati ada yang tidak mau minum, saya mengatakan iya. Saya pun diberikan kesempatan minum air sumur tersebut. Dengan mengucapkan bismillah, air sumur tersebut saya minum. Penjaga mengatakan berbagai kelebihan air sumur tersebut. Saya rasa tidak elok, kalau saya ceritakan di sini.
Setelah itu, kami diajak ke belakang untuk menuju makam. Ternyata kami harus turun bukit dan melewati areal persawahan. Lantas menaiki lagi bukit untuk memuaskan rasa penasaran saya dengan makam Raja Lingge. Akhirnya, sampailah kami di makam yang dimaksud. Arealnya sama sekali tidak menunjukkan makam seorang raja yang disegani di dalam Sejarah Aceh. Semak belukar. Kumpulan makam hanya seperti makam biasa. Tidak ada tanda yang mencolok, kecuali cerita dari penjaga makam.
Di sinilah saya kemudian memuaskan hasrat saya pada asa saya yang saya pendam sejak dari Banda Aceh. Saya merasakan bahwa ada kisah perjalanan manusia di sekitar areal makam ini. Bukit, gunung, dan sungai merupakan bagian dari kosmologi masyarakat tempoe doeloe. Lanskap ini menunjukkan bahwa akar sejarah tidak akan dapat dilepaskan dari gunung, bukti, sawah, sungai, yang kemudian mengalir ke arah pesisir Aceh.
Dari beberapa makam yang pernah saya kunjungi, beberapanya memang berada di atas bukit. Saya pernah mengunjungi makam di Barus, di mana ada kisah tentang Papan Tinggi. Pernah juga mengunjungi makam di Aceh Tenggara, yang disebut sebagai Bukit Cinta. Makam Tgk. Dianjung di Simeulue. Dan makam-makam lainnya yang tersebar di pesisir Aceh. Kalau makam dikembumikan di atas bukit, dapat diduga bahwa yang mangkat atau wafat tersebut adalah orang penting. Mereka akan dimakamkan sekaligus ditanami sebatang pohon, sebagai penanda di kemudian hari.
Dalam Acehnologi saya berpendapat bahwa jikalau ditemukan pepohonan yang menjulang sangat tinggi ke udara. Dipastikan di situ terdapat kuburan ulama atau orang-orang yang meninggal dengan “caranya” sendiri. Jadi, ketika melihat lanskap makam Raja Lingge, nalar dan rasa saya ingin mengatakan bahwa kawasan Dataran Tinggi Gayo menyimpan selaksa dan mozaik peradaban yang belum semuanya diketahui dan dikupas oleh para sarjana. Belum lagi ditemukan kerangka manusia yang diperkirakan ribuan tahun di kawasan Aceh Tengah.
Puas hati adalah gambaran perasaan dari perjalanan yang amat menegangkan ini. Setelah berdoa, kami berpamitan dengan masyarakat setempat. Mereka bahagia, ada yang mengunjungi mereka. Terkadang, kata mereka, areal ini jarang disinggahi. Mereka mengeluh seperti biasanya pengalaman orang yang menjaga artefak peradaban. Saya berharap keluhan mereka sudah didengarkan oleh pemerintah setempat.
Menemukan suatu aset peradaban adalah kebahagian bagi peneliti seperti kami. Banyak kisah yang bisa digali. Banyak nurani yang dapat dikaji. Banyak bukti historis yang dapat didalami. Banyak sahabat yang dapat disilaturrahmi. Akhirnya, saya berharap makam-makam yang memiliki nilai-nilai sejarah di Aceh, khususnya di kawasan-kawasan yang tidak ada sinyal HP, dapat dijaga. Bagaimanapun, apa yang saya ziarahi adalah satu bukti Kerak Peradaban Aceh. Persoalan Kerak Peradaban Aceh, dapat dibaca dalam Acehnologi Volume 3.
K. Bustamam-Ahmad
Please upvote my new post
Keren, lon resteem
Makacih Abang.
Sebuah catatan perjalanan yang sangat luar biasa
Hana sebanding dgn cerita Abang di tengah hutan belantara, jumpa .....
Hahaa..manteong tingat neuh pak@kba13 calitra nyan.hehe
Khe khe khe ...Kiban Hana lon ingat...
Pertualangan yang sangat mantap
dan cerita nya sangat menarik
Makasih atas sapaannya....
Iya sama"
moga kita saling sapa-sapa
Mantap kali petualangannya pak, demi hasrat hati ingin berkunjung ke makam Raja Linge walaupun jarak tempuhnya jauh dan melelahkan, tak akan terasa dengan suguhan suana alam yang masih asri dan alami.
Begitu lah kalau namanya hasrat Bang.
Luar biasa pak
Makasih.