Teknologi komunikasi telah menjadi sebuah tumpuan sejarah bagi manusia, terutama dalam dunia komunikasi massa. Dalam hal ini teknologi komunikasi juga memberikan kontribusinya dalam segala ruang aktivitas individu maupun sosial. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa komunikasi merupakan bentuk dari eksistensi manusia, yang berfungsi sebagai penyampaian pesan kepada masyarakat untuk membentuk konstruksi realitas sosial. Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial telah mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, maupun terhindar dari tekanan dan ketegangan dari masalah dalam ruang lingkup sosial.
Perkembangan media sosial pada era globalisasi dinilai sangat cepat dan beragam. Menurut APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), jumlah pengguna media sosial di Indonesia tahun 2016 adalah 132,7 juta user atau sekitar 51,5 % dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta. Pengguna media sosial terbanyak ada di pulau Jawa dengan total pengguna 86.339.350 user atau sekitar 65% dari total pengguna. Kondisi seperti ini tentunya hampir membuat seluruh ruang publik yang menjadi pengguna akan berpusat di media sosial. Namun, pada dasarnya manusia yang sebelumnnya belum mengenal media sosial, lama kelamaan mereka akan mengalami perubahan dan juga kecenderungan memiliki sifat egoisme, narsisme, bahkan perilaku ganda yang dimiliki seseorang hingga bisa menjadi tekanan psikis batin manusia itu sendiri ketika berhubungan dengan jejaring sosial.
Peran remaja juga tidak bisa dilepaskan dari media sosial. Tidak seperti orang dewasa yang pada umumnya sudah mampu memberikan nilai dan mem-filter hal yang baik maupun buruk terhadap gejala pada ruang aktivitas manusia. Remaja sebagai salah satu pengguna media sosial justru sebaliknya, selain belum mampu memilah aktivitas internet dengan berbagai resiko, mereka juga cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan sosial tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu dampak positif atau negatif yang akan diterima saat melakukan aktivitas di media sosial.
(Sumber gambar: https://demilhadey.com/2017/01/31/do-you-have-any-idea-you-are-getting-de-sensitized-not-sanitized-de-sensitized/)
Cyberbullying
Salah satu jenis kejahatan yang sering terjadi di media sosial yang berkenaan pada psikologis seseorang yakni cyberbullyng. Cyberbullying merupakan intimindasi yang dilakukan seseorang pada orang lain yang dilakukan melalui chatroom, media sosial, email,dan website dalam bentuk seperti fitnah, penghinaan, pengecaman atau dibocorkannnya aib mengenai seseorang. Dunia maya saat ini dianggap lebih kejam daripada dunia nyata, bahkan dampak yang ditimbulkan melalui cyberbulling pada anak remaja lebih berat daripada bullying yang terjadi di lingkungan tempat tinggal. Hal tersebut disebabkan karena media sosial dapat diakses dengan mudah oleh seluruh pengguna internet di dunia tanpa mengenal ruang dan waktu. Juvenon (2008) mengungkapkan bahwa berkembangnya penggunaan teknologi komunikasi khususnya pada remaja, dunia maya menjadi wadah baru yang beresiko bagi aksi kekerasan.
Tindakan cyberbullying pada internet khususnya pada media sosial tidak hanya mengarah kepada kaum perempuan saja tetapi juga laki-laki, dengan kata lain cyberbullying tidak mengenal jenis kelamin (gender). Sebuah contoh, Hannah Smith (14 tahun) dari Inggris yang lebih memilih bunuh diri akibat tidak tahan di-bully oleh teman-temannya. Jauh sebelum media sosial berkembang, bullying sebenarnya juga sudah marak terjadi. Namun kemunculan media sosial yang berkembang menjadikan bullying tampaknya semakin agresif. Tahun lalu dunia media sosial tanah air digemparkan dengan kasus siswi SMA yang terekam perilakunya. Pada saat itu mobil yang ia dan kawan-kawanya tumpangi dihentikan oleh seorang Polwan. Namun siswi tersebut mengaku sebagai salah satu anak petinggi di kepolisian. Tidak lama video rekaman tersebut tersebar luas hingga menjadi perhatian tersendiri dari masyarakat dan media konvensional. Namun, akhirnya siswi tersebut mengalami gangguan sosial dan mengalami rasa takut yang berlebih akibat tekanan maupun bully dari media sosial yang ia terima.
(Sumber gambar:
https://eddiethompson.org/2013/02/01/something-to-talk-about-six-conversations-that-you-need-to-have-with-major-donors/)
Cerminan Berkomunikasi
Media sosial bukanlah 'melulu' negatif untuk anak maupun remaja. Media sosial juga bisa menjadi jembatan menemukan jati diri ataupun hobi yang akan diminatinya nanti. Berkat media sosial, kita dapat mengenali seseorang saat ini tidak serumit dahulu. Melihat situasi seperti ini , sebagai generasi muda kita perlu bersikap bijaksana dan hati-hati dalam menggunakan media sosial. Baiknya kita mem-filter terlebih dahulu segala sesuatu yang akan kita unggah ke media sosial. Sebelum mengunggah foto atau video, coba kita pikirkan dua kali kira-kira apa respon yang akan diberikan oleh publik. Namun yang perlu kita pahami bahwa apa yang kita unggah adalah cerminan dari diri kita sendiri. Dan citra diri kita dapat terbentuk melalui apa yang kita unggah tersebut. Mungkin sekarang belum waktunya apa yang kita unggah menjadi boomerang bagi kita. Tapi nanti saat melamar pekerjaan ataupun mengikuti kompetisi, sadarkah bila aktivitas kita di sosial media juga akan menjadi bahan pertimbangan.
Sebagai tempat sarana berkomunikasi media sosial semestinya dikonstruksi sebagai pemersatu komunikasi bangsa. Sebab ketika memanfaatkan media sosial dikonstruk sebagai sarana untuk mencari atau bertukar informasi sesuai bidang profesi yang akan ditekuni,maka kita akan banyak memperoleh wawasan dan pengetahuan baru yang bernilai. Tetapi menjadi sebaliknya, jika konstruk dalam pikiran penggunaan media sosial didominasi untuk hiburan, maka ‘just a pleasure’ yang diperoleh. Maka kehadiran media sosial seperti buku, bisa berdampak positif jika membacanya dan bisa berdampak negatif ketika kita melupakannya. Kita pilih mana??..