Agen Intelejen (James Bond) Indonesia

in #indonesia7 years ago

‘James Bond’ Indonesia Dilatih CIA dan Mossad


“Ia tak pernah tersenyum, tak pernah tertawa, dan tak pernah mau wanita.”

Sebulan setelah Jepang mengibarkan bendera putih dalam Perang Dunia II,  Frederick E Crockett tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 15  September 1945. Crockett datang dengan menumpang kapal perang Inggris,  HMS Cumberland. Di bawah payung Operasi Everest, tugas Crockett di  Jakarta hanya dua, yakni membantu pemulangan tentara Amerika Serikat  yang ditawan Jepang dan membuka kantor intelijen.
 

Crockett merupakan perwira dalam Office of Strategic Service (OSS).  Selama Perang Dunia II, OSS bertugas mengumpulkan informasi intelijen  untuk menopang operasi militer Amerika dan negara-negara Sekutu. OSS  inilah yang beberapa tahun kemudian bersalin nama menjadi Central  Intelligence Agency (CIA).
 

Setelah Perang Dunia II usai, OSS berniat membuka stasiun intelijen di  tiga kota di Asia Tenggara: Jakarta, Saigon (kini Ho Chi Minh City), dan  Singapura. Operasi tiga stasiun ini ada di bawah kendali Kolonel John G  Coughlin, yang berbasis di Kandy, Sri Lanka. Coughlin punya rencana  besar di Asia Tenggara. Dia berniat menempatkan 85 intel di Singapura.
 

“Untuk apa kalian menempatkan orang sebanyak itu?” pejabat dinas  intelijen Inggris bertanya kepada Coughlin, dikutip William J Rust dalam  artikelnya Transitioning into CIA: The Strategic Services Unit in  Indonesia. Lantaran protes Inggris, dia memangkas angka itu jadi tinggal  20 orang untuk seluruh Asia Tenggara. Masing-masing stasiun paling  tidak terdiri atas empat orang dengan spesialisasi espionase,  kontra-intelijen dan riset analisis. Menurut Coughlin, “Dengan tim yang  kecil, kita tak akan menarik perhatian orang.”
 

Untuk stasiun intelijen Jakarta, selain Crockett, jebolan Universitas  Harvard dan mantan perwira Angkatan Laut, ada lagi Jane Foster, seniman  yang sudah punya pengalaman lumayan lama di bagian propaganda OSS. Jane  juga lumayan paham bahasa dan budaya Indonesia. Dua orang lagi pembantu  Crockett adalah Richard F Staples dan John E Beltz, keduanya prajurit  Angkatan Laut Amerika. Sebagai kantor sementara, mereka menempati dua  kamar Hotel des Indes, di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat.
 

Pada akhir September 1945, ditemani seorang perwira intelijen Angkatan  Laut Amerika, Jane menemui Presiden Sukarno di kediaman Menteri Luar  Negeri Achmad Soebardjo. Intel-intel Amerika itu menekankan bahwa mereka  hanya berniat mengumpulkan informasi. Dari bulan ke bulan, jumlah intel  Amerika di Jakarta makin banyak. Salah satu tokoh kunci pada masa-masa  awal operasi Dinas Intelijen Amerika di Indonesia adalah Robert Koke.  Dia punya hotel di Bali dan lumayan pandai bercakap Melayu.
 

Saat intel-intel Amerika ini mulai beroperasi di Jakarta, badan  intelijen Indonesia baru didirikan. Adalah Zulkifli Lubis, lulusan  pertama sekolah intelijen yang dibikin oleh penjajah Jepang di  Tangerang, yang jadi pelopornya. Zulkifli sempat ditempatkan Jepang di  Singapura selama sekitar setahun.
 

Setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945, Zulkifli kembali ke Jakarta.  Ide besarnya menciptakan kemampuan intelijen bagi negara baru mendapat  dukungan dari dua perwira militer Jepang, Yanagawa dan Yamazaki. "Saya  menganggap untuk setiap gerakan apa pun, intelijen penting dan harus  ada," ujar Zulkifli seperti yang dikutip dari buku Senarai Kiprah  Sejarah. Dia membentuk Badan Istimewa, yang anggotanya dibatasi 40  mantan perwira Pembela Tanah Air (Peta) dari seluruh Jawa dan bekas  informan Jepang di Jakarta. Mereka dididik dasar-dasar intelijen di  asrama pelayaran di kawasan Pasar Ikan.

Kepada murid-muridnya ini, Zulkifli menekankan bahwa mengabdi sebagai  intelijen itu harus tanpa pamrih. Total pengabdian jadi hal mutlak. "TNI  masih bisa dapat bintang, naik pangkat, dan kalau mati dimakamkan di  makam pahlawan. Kalau intelijen tidak boleh begitu. Dia harus  betul-betul mengabdi, semata-mata untuk negara dan orang banyak," kata  Zulkifli.

********************************
Sejak awal dinas intelijen Indonesia beroperasi, sudah ada ‘jejak’ CIA.  Pada 1952, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia saat itu, Merle  Cochran, memberi penawaran pelatihan rahasia bagi para kader intelijen  Departemen Pertahanan. Syaratnya, pemerintah Indonesia harus menolak  kehadiran komunis di Indonesia.
 

Kenneth J Conboy dalam bukunya,  Intel: Inside Indonesia's Intelligence Service, menulis, kepada Bung  Hatta dan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, Cochran  menjanjikan para kader ini akan bisa menjadi kekuatan gerilya apabila  terjadi serangan komunis asal China di Asia Tenggara. Bujukan Cochran  berhasil meluluhkan Hatta dan Sultan. Terlebih lagi Cochran menyanggupi  bantuan akan diberikan diam-diam.
 

Menurut  Kenneth, peserta angkatan pertama kursus intelijen dari CIA itu  sebanyak 17 orang. Mereka diseleksi dari 50 orang pemuda usia 20-an  tahun oleh Soemitro Kolopaking, bekas Bupati Banjarnegara, yang dikenal  dekat dengan Bung Hatta. Tri Sedjati Kolopaking, anak Soemitro,  mengatakan ayahnya tak pernah bercerita soal perannya dalam kursus intel  CIA itu. Begitu pula anak Wakil Presiden Hatta, Gemala Hatta. "Ayah  hanya cerita pernah menyiapkan pendidikan untuk diplomat muda, soal  pelatihan intel nggak pernah. Mungkin karena rahasia, ya," ujar Gemala  kepada detikX beberapa hari lalu.
 

Menjelang akhir 1952, di tengah pekatnya gelap malam, para calon intel  itu naik kapal dagang Maria Elisa, yang buang sauh di lepas pantai  Semarang, Jawa Tengah. Setelah menerjang ganasnya lautan selama tiga  hari, kapal dengan awak berkebangsaan Jepang itu tiba di Selat Makassar.  Tak berapa lama sebuah pesawat amfibi PBY Catalina mendarat dan  mendekati kapal dagang itu.
 

Sebuah kamera robot yang disediakan oleh CIA.
Foto: KennethJ Conboy, dalam buku Intel: InsideIndonesia's Intelligence Service
 

Rata-rata calon intel Indonesia ini belum pernah naik pesawat. “Perut  kami serasa dikocok-kocok,” ujar salah satu calon intel itu. Pesawat  yang dioperasikan Civil Air Transport (CAT) di bawah kendali Dinas  Intelijen Amerika Serikat (CIA) itu membawa mereka ke Pangkalan Udara  Clark, Filipina. Pada malam itu pula, mereka kembali diterbangkan ke  Pulau Saipan, sebuah pulau di bagian barat Samudra Pasifik.
 

Di pulau yang dikuasai Amerika Serikat sejak 1950 itu, CIA mendirikan  pusat pelatihan Saipan Training Station dengan nama samaran Naval  Technical Training Unit untuk melatih para anggota dinas intelijen dan  pasukan khusus dari berbagai negara yang sepaham. Gilbert Layton,  veteran Perang Dunia II, menjadi instruktur para calon agen intelijen  Indonesia.
 

Kartono Kadri, calon intel asal Magelang, saat diwawancarai Kenneth  menuturkan perintah pertama dari Gilbert adalah semua benda yang  berhubungan dengan negara asal mereka harus disingkirkan. Mereka pun  mendapat panggilan ala Amerika untuk memudahkan komunikasi dengan  instruktur.
 

Tiga bulan mereka tinggal di Saipan. Latihan paramiliter dan komunikasi  morse menjadi santapan mereka setiap hari. “Saya menembakkan peluru  lebih banyak di sini dibanding lima tahun masa revolusi,” ujar salah  satu calon intel. Siswa yang menonjol diberi keahlian khusus peralatan  dan metode analisis intelijen.
 

Setelah kembali ke Indonesia pada Februari 1953, mereka menghadap  Soemitro dan dikumpulkan dalam organisasi bernama Firma Ksatria. Alumni  Saipan ini dikirim ke pelbagai tempat untuk tugas intelijen. Kartono  alias Shorty dikirim ke Pontianak, Kalimantan Barat, untuk mempelajari  dan berusaha menarik simpati komunitas keturunan Tionghoa.
 

Dianggap sukses, proyek kursus intelijen CIA dilanjutkan lagi pada  pertengahan 1953. Pelatihan gelombang kedua ini diikuti 19 pemuda.  Sayangnya, situasi politik dalam negeri yang tidak stabil membuat dinas  intelijen Indonesia telantar. Keahlian intelijen para pemuda lulusan  kursus intel CIA ini akhirnya tak terpakai. Beberapa dari mereka  kemudian memilih kembali kuliah atau menjadi pegawai di beberapa  departemen. Pada masa-masa itu, hubungan Indonesia dengan Amerika sempat  memburuk.
 

Rezim berganti, haluan politik luar negeri berubah. Sejak awal berkuasa,  Presiden Soeharto sudah merasakan perlunya dinas intelijen yang kuat di  Indonesia. CIA kembali datang menawarkan bantuan uang dan pelatihan.  Perwira Intelijen di Polisi Militer, Kolonel Nicklany Soedardjo,  berperan besar dalam hal ini. Nicklany, yang menjabat Wakil Asisten  Intelijen Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban)  dan pernah menjalani pendidikan di Fort Gordon, Amerika, pada 1961,  mengusulkan perlunya dibentuk unit baru untuk menangani kontra-intelijen  asing kepada sejumlah petinggi Detasemen Pelaksana Intelijen Polisi  Militer (Den Pintel Pom).
 

Komandan Den Pintel Pom Mayor Nuril Rachman menyiapkan 10 perwira aktif  dan 50 sipil. Unit inilah yang menjadi Satuan Khusus Pelaksana Intelijen  atau Satsus Pintel dan kemudian dipendekkan menjadi Satuan Khusus  Intelijen atau Satsus Intel. Menurut Nuril, unit ini akan membutuhkan  anggaran lumayan besar.
 

Very Pelenkahu (kiri) dengan penasihat Israel di Cipayung, 1971.
Foto: KennethJ Conboy, dalam buku Intel: InsideIndonesia's Intelligence Service
 

Nicklany menenangkannya. "Jangan khawatir, kalian akan mendapatkannya,"  ujar Kolonel Nicklany. Pada 1966, kepala stasiun CIA di Jakarta adalah  Clarence ‘Ed’ Barbier, mantan intel Angkatan Laut Amerika. Tak lama  setelah Ed Barbier ‘mampir’ ke Markas Besar Polisi Militer, bantuan pun  datang.
 

Ken Conboy menulis, hingga akhir 1968, Amerika memberikan bantuan  keuangan secara rahasia untuk menggaji 60 personel, kendaraan untuk  pengintaian, biaya sewa rumah aman di Jalan Jatinegara Timur Jakarta  Timur, tape recorder mutakhir merek Sony TC-800, serta peralatan  penyadap telepon QTC-11. Tak hanya dana operasi, CIA juga mengirimkan  instruktur seniornya Richard Fortin pada September 1969 untuk memberikan  pelatihan teknik pengintaian dasar selama dua minggu.
 

Rupanya bukan hanya CIA yang  bermurah hati kepada Satsus Intel. Dinas Intelijen Luar Negeri Inggris  MI6 juga mengirimkan agennya sebagai instruktur. Dinas intelijen Israel  yang kondang, Mossad, ikut ‘menyumbang’ intelnya untuk mendidik para  agen Satsus Intel.
 

Pada November 1970, Anthony Tingle tiba di Jakarta dengan paspor  Inggris. "Tingle sebenarnya seorang brigadir Israel berusia 50 tahun dan  bekerja untuk Mossad," Conboy menulis. Tak mudah mendapatkan izin untuk  seorang instruktur Israel karena Indonesia tak memiliki hubungan  diplomatik. Nicklany mengabaikan persoalan sensitif itu dan mengambil  risiko. "Kita mendatangkan instruktur Israel karena mereka yang terbaik  di dunia," Nicklany menjelaskan kepada seorang perwira Satsus Intel.
 

Tingle mengajarkan bagaimana intel menyamarkan identitas selama empat  pekan di Cipayung. Intel Mossad itu mengajar dengan sangat serius,  dingin, tanpa lelucon sama sekali. “Ia tak pernah tersenyum, tak pernah  tertawa, dan tak pernah mau wanita,” salah seorang muridnya, Very  Pelenkahu, menuturkan kepada Conboy. “Dan saya belajar lebih banyak  darinya dibanding dari instruktur mana pun.”
 

Pada Februari 1973, Mossad mengirim pelatih keduanya untuk memberikan  pelatihan kontraspionase dan bagaimana menggunakan agen dalam melakukan  kegiatan kontra-intelijen. Peserta kelas kedua ini seluruhnya dari  Satsus Intel.
 

Hubungan dengan Mossad ini  lumayan awet juga. Pada 1983, seorang penasihat Israel datang ke Jakarta  untuk mengajarkan teknik intelijen kepada lima intel yang akan  ditempatkan di luar negeri. Salah seorang peserta menuturkan, dia sampai  15 kali diajak ke hotel. Hingga satu kali sang instruktur menunjuk  seseorang yang duduk seorang diri di lobi.
 

“Saya hanya diberi waktu 15 menit untuk mengarang cerita, memperkenalkan  diri, dan meyakinkan orang itu untuk bertemu kembali di lobi jam tujuh  malam…. Jika si target menunggu saya malam itu, berarti saya berhasil,”  seorang mantan pejabat Badan Intelijen Negara menuturkan.
Reporter/Penulis: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban
https://x.detik.com/detail/intermeso...ssad/index.php
=========================
 

Bukan cuma Skuadron A4 SkyHawk saja yang dibeli Indonesia dari Israel,  bahkan Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia ikut menikmati  murah hati Zionis Israel dalam hal intelijen.
 

Jika keberadaan CIA sejak masa tahun 1950an sudah terang benderang,  apalagi masa tahun 1960an, masihkah ada yang mau memungkiri kalau CIA  sebenarnya ikut bermain dalam tiap konflik di Indonesia? Jika kita  melihat nama-nama yang disebut diatas, bisa jadi suplai senjata dari AS  terhadap PRRI juga akibat ikut andilnya CIA yang berhubungan baik dengan  Soemitro. bahkan mungkin juga prahara 1965.
 

Ini cuma bagian dari sejarah.
Mungkin sekarang ini, diantara kita, entah siapa, bisa saja sebenarnya  adalah agen rahasia pihak asing, entah CIA, KGB, atau Mossad.
Dan pastinya pertempuran antar spion dalam dunia yang gelap sebenarnya  semakin sengit di Indonesia. Bisa jadi MMS, agen rahasia Tiongkok dan  MIS/MI6 Inggris sudah ambil bagian dalam perang spionase di Indonesia. 

Sort:  

Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://garudamiliter.blogspot.com/2017/10/james-bond-indonesia-dilatih-cia-dan.html