Foto: Hamdani Mulya (kanan) dan Bapak Mustafa (kiri) mantan Kepala Perpustakaan dan Kearsipan Kota Lhokseumawe, usai menjadi narasumber di RRI Lhokseumawe tahun 2017.
Nama penaku Hamdani Mulya, sedangkan nama lahir serta akademisku Hamdani, S.Pd. Nama yang pertama sering kugunakan saat menulis karya sastra. Sedangkan nama akademis itu selalu melekat di surat tugasku di tempat kerja ketika menjadi guru. Hamdani Mulya merupakan nama yang menunjukkan daerah asalku Kec. Meurah Mulia. Dari situlah asal kata Mulya yang kutempelkan di depan nama penaku, walau ada sedikit beda ejaan cara tulis. Mulia dan mulya dari segi artinya sama.
Aku dilahirkan pada 10 Mai 1979 di sebuah desa kecil Paya Bili, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara. Paya Bili merupakan sebuah desa yang dikelilingi oleh persawahan. Aku hampir setiap hari melewati areal persawahan yang menjadi inspirasiku menulis puisi bertema alam yang indah. Ketika aku remaja tradisi membaca hikayat dan meurukon masih terdengar dengan lantunan indah di kampungku. Meurukon merupakan salah satu ragam sastra tutur yang berisikan pesan dakwah. Meurukon boleh dikatakan sebagai diskusi tentang rukun Islam serta hukum-hukum Islam dalam bentuk syair menggunakan ragam bahasa sastra yang indah.
Foto: Hamdani Mulya (kiri) dan Bapak Mustafa (kanan) saat menjadi narasumber di RRI Lhokseumawe.
Sejak kecil aku sudah sering mendengarkan hikayat yang disenandungkan oleh ayahku. Ayahku bernama Tgk. Ibrahim Pmtoh penutur hikayat Aceh dan Melayu. Aku sejak usia SD juga sudah banyak mendengar cerita rakyak dari ayahku. Ayah dan ibuku itulah sebagai guru pertamaku. Maka saat duduk di bangku sekolah aku sangat menyukai pelajaran sastra. Hingga duduk di bangku kuliah akupun memilih Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, di FKIP, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh tahun 1998-2003.
Berbekal ilmu sastra dari ayahku dan dari kampus Unsyiah itu kini menjadi ilmu yang berguna bagiku ketika menjadi guru bahasa Indonesia di MAN Kota Lhokseumawe. Ilmu sastra tersebut menjadi modal bagiku untuk terjun ke dunia sastra menjadi penulis buku kearifan lokal Aceh.
Tgk. Ibrahim Pmtoh, ayahku kadang kala menjadi nara sumber hikayat serta kearifan lokal lainnya saat diwawancarai para penulis untuk bahan makalah atau karya ilmiah peneliti dari kampus.
Sekarang giliranku menggantikan posisi ayahku sebagai narasumber sastra Aceh dan kearifan lokal Aceh yang masih menggema.
Pada 13 Februari 2018 aku kedatangan tamu istimewa dari Radio Republik Indonesia (RRI) Lhokseumawe. Roporter RRI Lhokseumawe memawancarai aku seputar isi buku yang aku tulis Bahasa Indatu Ureueng Aceh. Sebuah buku berisikan kearifan lokal Aceh. Buku ini berisi tentang tata bahasa Aceh, perayaan maulid dalam nasyarakat Aceh, sejarah ulama dan pahlawan Aceh, nilai-nilai pendidikan karakter, pendidikan kesehatan, matematika, sampai alat-alat teknik dan elektronik dalam bahasa Aceh.
Foto: Hamdani Mulya (kiri) narasumber dan Bapak Ridwan (kanan) Reporter RRI Lhokseumawe, Usai Wawancara, 13 Februari 2018.
Aceh merupakan areal yang sarat dengan sastra dan kearifan lokal yang luhur. Seperti qasidah, syair, dan hikayat yang harus dilestarikan sebagai upaya penyelamatan khazanah sastra Aceh. Upaya yang harus dilakukan misalnya dengan menyalin ulang hikayat-hikayat yang hampir menghilang atau proses digitalisasi dengan menerbitkan hikayat dalam bentuk digital atau elektronik book (ebook). Sehingga hikayat tidak punah tergerus zaman yang berputar. Wawancara sekitar 1 jam itu berjalan lancar. Selanjutnya Reporter RRI Lhokseumawe, Bapak Ridwan dan Jafar pamit undur diri berakhir dengan foto bersama.
Foto: Mantan Kepala RRI Lhokseumawe (baju biru, paling kiri), Hamdani Mulya (dua kiri), bersama pihak Dinas Pendikan Pemuda dan Olah Raga serta para Guru di Lhokseumawe.
Semangat pak guru. Kami bangga.
Dokumentasi dalam bentuk digital sangat diperlukan, sebab nanti bisa dijadikan database, apalagi di era milenial saat ini.....
Salam.kenal 😜
Pak Hamdan mau kemana, salam kenal dengan pak Hamdan....
Salam kenal kembali sobat, tinggal di mana ya?