(Ilustrasi, anak dusun) Sumber: google.
Feri, begitu aku akrap di panggil, nama lengkapku Feri Yanto, begitulah nama yang di tambatkan kedua orang tua ku, namaku seperti nama orang Jawa, padahal mamak dan bapak ku adalah orang Gayo, begitupun kakek dan nenekku semua orang Gayo asli. Ntah apa alasannya, saat ku tanya pada mamak ku katanya supaya aku jadi orang yang lembah lembut tidak keras dan kasar, ntah darimana rujukannya akupun tidak tau, tapi itulah namaku soal karakter mungkin ada benarnya aku memang begitu kalem dan tidak banyak cakap, kecuali bila itu diperlukan mungkin siap berdebat, hehe..
Masa kecilku tidak semenarik dan seindah orang kebanyakan, sebab aku terlahir dari keluarga yang tidak bergelimang harta, aku anak petani. Kedua orang tuaku petani, aku sudah di bawa-bawa kekebun dan ke sawah sejak dalam kandungan, begitu cerita mamak ku. masa kecilkupun seingatku sudah berada dalam kebun, di hutan rimba aku tumbuh inci demi inci.
Aku lahir di Gayo Lues (saat itu masih Aceh Tengah) tepatnya di kampung Gegarang, kecamatan Kuta Panjang, sekarang Kecamatan Belang Jerango, akupun pernah di besarkan di Kota Cane, Aceh Tenggara di kampung Lawe Beringin kecamatan Simpang Semadam, disana hanya sebentar saja, orang tua mengadu nasip disana dengan bersawah dan ladang karena terkema banjir bandang akhirnya pulang lagi ke Gayo Lues. Tidak lama disana pindah lagi ke daerah Takengon, alasanya sulitnya membangun ekonomi akibat imbas dari krisis moneter pada tahun 1998, di Gayo Lues di Tambah lagi maraknya penyakit berkembang disana sehingga pilihannya pindah dan menetap di Takengon (dulu semua wilayah disebut Takengon meskipun tempatnya bukan dipusat kota Takengon) sampai sekarang.
Di Takengon, keluarga 'Muger'di Tanoh Depet, saat itu Tanoh Depet masih hutan belantara, tidak banyak orang, belum menjadi kampung bahkan dusun, orang-orang membuka lahan perkebunan disana, itupun tidak menetap kecuali keluarga saya dan beberapa keluarga lainnya yang terpisah jaraknya mungkin beberapa kilo meter, rumah kami pun masih beratap tenda dan dindingnya kulit kayu hutan yang tebal-tebal dan lebar, disana kami berlindung dari terik dan hujan serta dinginnya udara malam yang menusuk tubuh seakan menembus tulang, tapi itulah kami, aku dan keluarga ku.
(mungkin beginilah kami pada masa itu, hanya saja mungkin sedikit lebih baik)
Tidak lama aku menikmati hidup sepeti itu, usiaku beranjak, akupun sudah harus sekolah, sebagai mana anak-anak lainya yang sekolah demi bisa menulis dan membaca, berharap suatu saat dunia bisa terlihat dengan cahaya, bukan hanya fatamorgana. Karena disana dalam rimba tidak ada sekolah, akupun disekolahkan di kampung Wihni Bakong sekarang sudah mekar menjadi kampung Wih Pesam. Sejak itu aku terpisah dengan orang tua ku, aku tinggal dengan nenekku yang menjaga dan merawat aku, kami tinggal di rumah sewa di Wih Pesam.
Akulah anak rimba yang biasa bercengkrama dengan sahutan penguni rimba seperti 'Imo', 'Wuk Wuken', Kera, Monyet, dan sejenisnya. Serta 'Klik' elang disiang hari dan aneka kicau burung di pagi hari saling sahut bersahutan, senjaku di tutup suara melengkingnya 'seset', jangkrik dan lainya, sungguh kehiduoan yang damai, harmoni di alam bebas dan kini telah pindah ke kampung untuk sekolah, tentu saja aku canggung brrgaul dan berbaur dengan anak-anak lainnya, aku minder dan tidak terlalu mudah akrab, butuh waktu bagiku untuk beradaptasi.
Dalam pergaulan dengan teman-teman kecil ku awal mulanya aku sering ditertawakan, sebab aku yang kaku beda dengan yang lainnya, anak yang berpenampilan lusuh, kurus dan tak terawat dengan baik, sementara yang lain ada ibu yang menyiapkan pergi sekolah, pulang sekolah dan saat pergi maupun pulang bermain.
Aku sudah terbiasa dengan hal ini, aku sudah mulai mandiri, aku bukan anak manja yang mengkek, aku lahir dari alam liar yang bebas, merdeka dan mandiri, akupun mulai terbiasa dan perlahan mampu beradaptasi, aku mulai banyak kawan, teman bermain, aku tidak lagi kaku, bahkan di sekolah aku selalu mendapatkan juara, waktu itu aku selalu berkompetisi dengan teman sebangku ku namanya Andrius, kami seperti gantian juara satu, kadang dia satu aku dua begitu sebaliknya dan seterusnya, kami juga pernah juara umum lomba cerdas cermat dan Kit MIPA tingkat GUGUS waktu itu dalam regu ada adik kelas kami namnya Mega Wati, perempuan Pinter Juga, bagi kami dulu seperti ini sangat bergengsi. Prestasi-prestasiku selama sekolah tentu saja ini berkat peran nenek ku yang menerapkan disiplin padaku, ia selalu memaksaku untuk belajar setiap pulang sekolah, membaca dan menulis, mengerjakan Pr-Pr, tidak melulu main, tapi semua ada jadwalnya, apabila aku melanggar jadwal aku sudah siap menerima hukuman dari nenek.
Masa-masa kecil di kampung sangatlah indah, pada prinsipnya setiap anak yang dibesarkan di kampung sangatlah beruntung, sebab hidup dengan alam yang masih alami, permainapun masih permaian tradisional, itu semua membuat karakter anak-anak terbangun, terbiasa dengan saling menjaga dan saling peduli, tidak ada Playstation, dan game lainnya yang menciptakan anak-anak menjadi individualis yang tidak peduli dengan orang lain, dia sudah hidup dengan dirinya sendiri.
Saat saya masih kelas 2 SD, nenek ku minta pulang ke Gayo Lues, akupun akhirnya tinggal bersama keluarga Pak Masni (Keluarga Angkat yang sudah seperti keluarga ku), warga Wih Pesam, dia lah yang kemudian menjaga dan merawat saya selama hampir 2 tahun sebelum nenek ku kembali lagi. Mereka menjagaku dan merawatku sama seperti anaknya sendiri, sehingga mereka tidak tidak mungkin bisa di lupakan hingga kapan pun, mereka adalah orang tua ku juga.
Begitulah masa kecilku, aku yang tumbuh dan besar tidak dengan orang tua ku, aku sudah menjadi perantau sejak belia. Syukurnya saya selalu mendapat kasih sayang dari banyak orang, selama masa-masa itu ada banyak orang yang tak terlupakan diantaranya guru orang tua angkat ku, guru Agama ku saat SD, Ibu Husein ia telah almarhum bersamaan dengan Tsunami Aceh yang saat itu beliau berada di Banda Aceh, Alfatihah untuknya semoga mendapatkan tempat yang terbaik di surga-Nya. Aamiin YRA.
Selama aku SD jarang sekali bertemu dengan orang tua, hanya musim libur saja baru bisa pulang ke rumah di Tanoh Depet sebuah dusun terpencil, kini sudah menjadi kampung yang besar bahkan sudah mekar menjadi tiga kampung, begitu banyaknya masyarakat datang untuk mencari penghidupan disana, kebanyakan baru datang pasca damai konflik Aceh.
Dimasa konflik, aku yang masih kecil, masih SD sudah terbiasa dengan pemandangan dan berita mengerikan, bagaimana tidak, saat saya pulang ke rumah menumpangi satu-satunya kendaraan kesana pada saat itu yaitu mobil Datsun Pick Up milik kek Er, seringkali pagi-pagi di daerah Skep (Perbatasan kampung Genting Gerbang dan Kampung Belang Kekumur), mayat orang yang sudah di tutup pakai daun pisang dengan darah segar mengalir, mayat ini biasanya akibat pembunuhan oleh OTK masa konflik. Begitupun pulangnya pernah melihat kerumunan Brimob dan anggota TNI sedang mengevakuasi jenazah korban yang dibunuh oleh OTK, kebayang kan betapa aku tumbuh dalam jaman yang begitu mengerikan, dimana nyawa manusia seperti tiada arti sama sekali.
Pernah sekali, saat libur akan naik kelas waktu itu aku beranjak naik kelas 6 SD, aku pulang kampung karena libur, sore-sore saat aku main bersama teman di kampung orangtua ku, datang segerombolan orang menenteng senjata AK-47, mereka berpakaian loreng, kemudian mendatangi aku dan bercakap-cakap tentang banyak hal, aku yang masih anak-anak sangat polos dan tidak bisa membedakan mana GAM mana TNI, lagipun memang aku tidak berkepentingan dengan itu. Tapi jelas saja orang tua saya sangat ketakutan melihat saya dalam rangkulan segerombolan pemuda berbdan tegap menenteng senjata laras panjang buatan Rusia itu. Keesokan harinya datanglah TNI menyerbu GAM yang masuk kampung orang tua saya, terjadilah kontak senjata yang cukup lama hampir seharian, mulai pukul 9 pagi hingga selesai Ashar, sepertinya tidak berhenti letupan suara senajata api memecah langit kampung Tanoh Depet.
Kala itu semua warga bersembunyi dan tiarap didalam rumah, keesokan harinya seluruh warga di evakuasi dan mengungsi di Kampung Paya Kolak, akupun sempat ikut mersakan hidup di pengungsian selama dua minggu, kemudian saya kembali ke Wih Pesam karena sudah waktunya masuk sekolah.
Begitulah kehidupan masa kecilku, sepertimya sangat kompleks, selama saya hidup di muka bumi hingga hari ini, bumi yang paling lama saya diami adalah kampung Wih Pesam Kecamatan Silih Nara, disanalah aku tumbuh dan besar, titik awal merajut mimpi merangkai harapan-harapan, disanalah kampungku, disana tempat bermain bersama sahabat masa kecilku yang tak terlupakan. #Iniceritaku mana ceritamu?
Congratulations @ferinote! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Award for the number of upvotes received
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
To support your work, I also upvoted your post!
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Thankyou
Kini anak yang hidup penuh dilema dan dinamika rumitnya kehidupan saat itu, menjelma begitu hebat, menjadi tokoh yang di segani di negeri Gayo, siapa sangka anak yang berpenampilan lusuh dan kurus "saat itu", menjadi macan dalam dunianya sekarang
Allah maha melihat bang tum.
Yakin dan percayalah, dia sangat menyayangi, oleh karenanya dia uji
Perjalanan hidup kita yang menempa kita #yakusa