Manusia modern, terutama yang hidup di kota-kota besar, sangat bergantung pada listrik. Nyaris di semua lini kehidupan di perkotaan menggunakan listrik dan alat-alat eletronik. Tetapi apa jadinya jika listrik mati di seluruh negeri selama berhari-hari, bahkan hingga dua setengah tahun lamanya?
Itulah yang terjadi di kota Tokyo dan beberapa kota lainnya hingga semua pelosok negeri matahari terbit tersebut. Terbangun di pagi hari dan mendapati listrik mati dan semua alat elektronik lainnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, membuat seisi keluarga Suzuki panik dan mengalami sedikit kekacauan ala masyarakat perkotaan di pagi itu. Bayangkan, tidak hanya listrik saja yang padam, alat komunikasi pun terputus tiba-tiba, air mati, telepon rumah dan telepon genggam tidak bisa berfungsi meskipun anak-anak keluarga Suzuki telah mengisi daya semalaman penuh, kompor gas tidak berfungsi, bahkan senter yang sumber energinya dari baterai pun tidak bisa digunakan. Yang mengherankan, toilet apartemen, yang bukan alat elektronik sama sekali dan tidak menggunakan sumber energi apapun, juga tidak tidak berfungsi. Elevator apartemen mereka juga tidak bisa berfungsi. Mau tidak mau mereka harus turun dan naik menggunakan tangga dari dan ke lantai 20.
Permasalahan demi permasalahan berikutnya menghampiri keluarga Suzuki dan seluruh warga kota Tokyo. Seluruh alat transportasi baik pribadi maupun umum mati, lampu lalu lintas tak berfungsi, ATM mati, kantor-kantor lumpuh, sekolah dihentikan, semua kegiatan berhenti. Kota Tokyo lumpuh. Beberapa orang mulai terlihat meninggalkan kota, tetapi keluarga Suzuki memutuskan untuk tetap bertahan dengan harapan kota akan kembali seperti sedia kala.
Hari ketiga, mereka mulai kekurangan air. Pusat tangki air kota tidak lagi berfungsi. Sumber air di apartemen macet. Jika listrik dan alat elektronik penunjang kehidupan modern tak ada, orang-orang mungkin masih bisa bertahan. Tetapi bagaimana orang-orang bisa bertahan jika tak ada air?
Hari ketujuh, sampah mulai bertebaran di sepenjuru kota. Sungai di taman kota kotor. WC-WC umum kotor dan bau. Satu persatu orang-orang yang tinggal satu apartemen dengan keluarga Suzuki mulai meninggalkan apartemen, menuju ke suatu tempat yang mungkin masih ada harapan kehidupan.
Pada akhirnya keluarga Suzuki melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang, meninggalkan kota untuk menuju sebuah desa yang berada di Kagoshima (sekitar 960 km dari Tokyo), kampung halaman Mitsue Suzuki sang istri. Untuk ke Kagoshima, mereka berencana naik pesawat dari bandara Haneda, karena bagaimanapun Kagoshima adalah tempat yang sangat jauh dari Tokyo. Namun mereka kaget ketika menemui nyaris semua warga memenuhi jalan untuk pergi ke suatu tempat: bandara di Haneda. Yang mereka dan orang-orang tidak tahu, bandara ternyata juga ikut lumpuh.
Kehidupan makin sulit, terutama menyangkut persediaan air minum dan sumber makanan. Beberapa pedagang dadakan pencari keuntungan di dalam kesempitan menjual air mineral seharga 1000 Yen perbotol, lalu menjadi 2000 Yen, dan kemudian semakin mahal lagi. Tetapi mereka harus tetap melanjutkan perjalanan ke Kagoshima dengan sepeda, jika tidak ingin mati konyol di Tokyo. Masalahnya, mereka hanya punya tiga sepeda, sehingga Mitsue harus duduk menumpang di bawaan sepeda suaminya, Yoshiyuki Suzuki, yang telah dimodifisikasi sedemikian rupa. Semua sepeda di kota Tokyo telah dibeli warga beberapa hari sebelumnya, namun tetap saja terlihat lebih banyak warga yang berjalan kaki. Belum lagi mereka tidak tahu harus melewati jalur mana untuk pergi ke tempat yang ingin mereka tuju.
Sambil menunggu mereka bisa berangkat bersama, mereka juga berharap bisa mendapatkan sepeda baru. Mereka kemudian menemukannya di sebuah rumah seorang ibu-ibu di Haneda. Sayangnya, uang tidak berlaku lagi saat itu. Sistem pembayaran kembali seperti zaman dahulu kala, barang harus ditukar dengan barang. Ibu pemilik rumah tersebut menjual berasnya dengan menukarnya dengan air mineral atau ikan dari penjual ikan. Sumber makanan ditukar dengan sumber makanan. Saat itu, bahkan jam tangan Rolex yang mahal sekalipun tidak berlaku dalam penukaran tersebut. Keluarga Suzuki akhirnya mendapatkan sepeda bekas dari ibu pemilik rumah tersebut. Mereka menukarnya dengan sebotol air mineral dan dua botol minuman alkohol milik sang suami, Yoshiyuki Suzuki. Sementara di tempat lain, kedua anak mereka, Kenji Suzuki dan Yui Suzuki, sedang berada di sebuah supermarket yang sudah ditinggalkan pemiliknya. Mencari makanan? Tentu saja bukan, makanan di supermarket tersebut tentu sudah ludes sejak hari pertama atau kedua mati lampu. Yang tersisa hanyalah barang-barang yang tiada lagi berguna di saat-saat seperti itu. Mereka hanya bertujuan mencari map untuk perjalanan mereka.
Maka dimulailah petualangan ekstrem mereka dengan sepeda, meninggalkan Tokyo yang mati menuju kehidupan yang mungkin lebih baik di tempat lain. Sebuah pengalaman petualangan yang tidak akan mereka lupakan seumur hidup mereka.
Dalam perjalanan tersebut, mereka akan tidur di mana saja mereka bisa tidur. Kadang bertemu dan berkumpul di satu titik dengan orang-orang yang juga melakukan perjalanan yang sama. Terkadang, kesulitan akan makanan dan minuman membuat mereka harus tega berbohong bahwa mereka hampir kehabisan persediaan makanan dan minuman kepada orang-orang yang betul-betul kehabisan minuman atau makanan tetapi mereka tidak ingin membaginya. Dimaklumi, mengingat mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang, jadi mereka perlu menyimpan makanan dan minuman untuk mereka sendiri di hari-hari berikutnya. Suatu malam, seorang pria mencuri sebotol persediaan air minum mereka ketika mereka sedang tertidur di sebuah taman. Tidak rela kehilangan sebotol air mineral pun, Kenji Suzuki mengejar si pria dan mendapati si pria sedang mengisi sebotol susu dengan air mineral yang tadi dicurinya lalu diberikannya kepada istrinya yang sedang menggendong bayi.
Yang menarik adalah saat mereka melanjutkan perjalanan keesokan harinya, yaitu saat mereka harus melewati tunnel (terowongan) sepanjang dua kilometer yang, tentu saja, semakin ke tengah semakin gelap. Mereka mengabaikan para ibu-ibu penjual jasa ‘Membantu Orang Menyeberangi Terowongan’ yang duduk di mulut terowongan. Apalagi kalau bukan untuk berhemat air minum (karena ibu-ibu penjual jasa ini meminta bayaran dalam bentuk minuman atau makanan) dan berharap bahwa mereka bisa melewati terowongan dengan baik. Kenyataannya―seperti yang dikatakan seorang ibu penjual jasa tersebut bahwa mereka pasti kembali―mereka harus kembali ke mulut terowongan. Mereka belum lagi jauh berjalan dari mulut terowongan ketika kegelapan melingkupi mereka di terowongan sehingga tidak bisa melihat satu sama lain. Dan Yui Suzuki menginjak mayat!
Bisnis ‘Membantu Orang Menyeberangi Terowongan’ ini tampaknya menjadi bisnis yang cukup menjanjikan dan berhasil. Kreatif dan unik ketika yang melakukannya adalah ibu-ibu setengah baya, bahkan sebagian dari mereka buta. Mereka cukup menyediakan beberapa potongan tali yang tampaknya terbuat dari bahan yang kuat―mungkin kulit―dan mengikatnya di antara satu sepeda dengan sepeda lainnya. Berjalan di depan seorang ibu sebagai pemandu yang tubuhnya juga telah diikat dengan tali tadi dan disambung dengan sepeda yang berada paling depan. Hanya dengan mengandalkan tongkat, si ibu penjual jasa sangat hapal akan kondisi di dalam terowongan. Dengan adanya tali penghubung tersebut, mereka tidak akan saling kehilangan meski tidak bisa saling melihat di dalam terowongan.
Hari ke-16, mereka tiba di tepi sebuah sungai. Di sini, sang istri punya kesempatan untuk mencuci baju-baju mereka dan menungguinya hingga kering. Agak mengherankan kenapa tidak ada orang yang singgah di tempat yang dekat dengan sumber air tersebut. Hal tersebut terjawab ketika sang suami meminum air langsung dari sungai dengan diiringi tatapan jijik dari istri dan kedua anaknya. Padahal air sungai tersebut sangat bersih dan jernih, sungainya juga mengalir dengan baik. Tampaknya, orang Jepang tidak punya kebiasaan―atau mungkin tidak tahu―bahwa meminum air langsung dari sungai tidak akan membuat manusia meninggal. Setidaknya orang-orang Indonesia sudah membuktikannya, haha.
Lucunya lagi, mereka bahkan tidak tahu bahwa air di pegunungan memang bisa langsung diminum tanpa disterilkan, sampai ketika mereka bertemu beberapa―yang tampaknya adalah―pencinta lingkungan dan memberitahu keluarga Suzuki tentang bagaimana cara untuk bertahan hidup, salah satunya adalah dengan menyimpan air yang diambil dari pegunungan ke dalam botol minuman. Sekelompok anak muda itu juga memberitahu bahwa dalam keadaan seperti itu, untuk bertahan hidup, mereka bisa memakan dedaunan mentah, jangkrik, belalang, dan ulat, yang ditanggapi dengan tatapan heran bercampur jijik oleh keluarga Suzuki. Sungguh hidup di kota metropolitan seperti Tokyo membuat mereka tidak tahu hal-hal seperti itu.
Dalam perjalanan berikutnya, hujan datang disertai badai yang lebat. Tidak sempat menyelamatkan sepeda dan barang-barang bawaan di atas sepeda, mereka berlari berteduh di pinggir jalan di bawah jalan layang, sementara mereka menonton sepeda mereka dihantam badai, dan barang-barang mereka berhamburan. Usai badai kencang, mereka mengumpulkan kembali barang-barang yang mungkin masih bisa dipungut. Tidak banyak yang bisa mereka pungut, sepeda anak-anak pun tampak rusak. Terlihat sang suami sedang memunguti beras yang tumpah di jalanan dan bercampur dengan pasir. Kesedihan sangat kentara ketika suami terlihat putus asa melihat kondisi beras mereka dan terjatuh lemas di jalan tersebut.
Di sebuah supermarket yang ditinggalkan, anak-anak Suzuki mencari sesuatu untuk memperbaiki sepeda mereka. Tak disangka, Yui mengambil makanan kucing sabagai satu-satunya makanan yang tersisa di supermarket tersebut, sementara abangnya Kenji mengambil air baterai untuk diminum.
Salah satu adegan yang cukup menggetarkan dalam film ini adalah ketika mereka menemukan segerombolan orang sedang mengambil ikan di depan semacam museum perikanan dan mengolahnya menjadi makanan dan orang-orang memakannya bersama-sama. Sayang, keluarga Suzuki datang terlambat. Ketika antre dan tiba di depan panci sup, semua makanan sudah habis, sementara mereka sudah sangat kelaparan. Sang suami terduduk lemas sambil menangis memohon sedikit makanan saja, untuk anak-anaknya. Melihat ayah mereka, Kenji dan Yui mulai bersikap lunak kepada ayahnya. Padahal selama ini mereka terlihat seperti anak-anak yang suka melawan dan tidak hormat kepada orang tua mereka.
Di hari ke-67, mereka tiba di sebuah desa. Mereka melihat seekor babi di tengah sawah dan mereka berusaha menangkap babi tersebut dengan susah payah. Berkat keberhasilan mereka menangkap babi, mereka tidak hanya bisa makan babi asap dengan kenyang, mereka juga bahkan diberi tumpangan dengan tempat tidur yang hangat di rumah sang pemilik babi, Tuan Tanaka, yang ternyata adalah seorang peternak babi. Mereka tinggal di rumah Tuan Tanaka selama beberapa hari. Keluarga Suzuki diminta oleh Tuan Tanaka untuk membantu Tuan Tanaka menangkapi babi-babi, mengasapi, dan menggarami potongan daging babi. Mereka juga mulai belajar melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di pedesaan: membelah kayu, memasak pakai tungku, menjahit baju sendiri, dan sebagainya. Meskipun rumah Tuan Tanaka memberikan mereka kenyamanan, tetapi mereka memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan. Tuan Tanaka berbaik hati memberikan mereka potongan babi asap dalam jumlah yang lumayan banyak karena keluarga Suzuki sudah membantu pekerjaannya sebagai peternak.
Perjalanan bersepeda mereka pun dilanjutkan lagi.
Wait… sampai di sini, kau mungkin akan mengatakan yaelah, cerita perjalanannya pasti mengulang kesulitan-kesulitan di atas lagi. Tenang, saya pun sempat berpikir demikian. Saya tidak membaca tanda yang ditunjukkan oleh suami istri Suzuki ketika di malam pertama mereka tidur di rumah Tuan Tanaka.
Sampai ketika di perjalanan tersebut mereka tiba di tepi sebuah sungai yang terlihat agak dalam dan berarus deras. Tampaknya sungai tersebut memisahkan antara kota yang satu dengan kota yang lain, rute yang harus mereka lewati. Ibarat ingin ke Meulaboh, kau tentu harus melewati Sungai Krueng Sabee. Sayangnya, mereka tidak melihat adanya jembatan yang melintasi sungai tersebut, sementara menurut keterangan di map, seharusnya ada jembatan di situ. Tak ada cara lain, mau tidak mau mereka harus menyeberangi sungai tersebut, karena jika tidak, mereka harus kembali ke rute awal dan itu memakan waktu lebih dari tiga hari. Mereka memutuskan untuk tetap menyeberang dengan membuat rakit. Dari sinilah perjalanan mereka diuji lebih berat. Beberapa adegan membuat saya tersentuh. Butuh pengalaman hidup yang menyesakkan untuk menyadarkan anak-anak Suzuki tentang betapa berartinya keluarga. Orang tua mungkin sering membuat anak-anaknya kesal. Orang tua sering menjadi keluarga paling dekat yang dicintai sekaligus kadang dibenci. Tetapi orang-orang baru menyadari tentang betapa mereka menyayangi keluarganya justru pada saat mereka telah tiada.
Tiga bulan kemudian, mereka akhirnya tiba di tempat yang mereka tuju, di sebuah desa nelayan di Kagoshima. Kehidupan di tempat tersebut tidak lebih baik dari di Tokyo: sama-sama mati listrik, tetapi mereka bisa menjalani kehidupan di desa dengan lebih bahagia. Bertani, berternak, mencari ikan di laut, memasak pakai kayu di tungku, menenun untuk membuat pakaian (karena sejak saat itu tak ada satu pun pabrik garmen yang berfungsi), dan tetap saling bertukar barang sebagai alat tukar. Semua anggota keluarga Suzuki menjalani kehidupan ala masyarakat pedesaan tempo dulu. Tidak ada lagi sekolah, tidak ada lagi yang bekerja di kantor, tidak ada pabrik, tidak ada kendaraan; semua seperti kembali ke zaman batu, selama dua tahun setengah lamanya.
Film ini bagus ditonton oleh orang-orang yang terlalu sibuk dan egois dengan modernitas. Dunia sudah tua, para ilmuwan sudah mewanti-wanti bahwa persediaan sumber energi kian menipis sementara penduduk kian berkembang biak. Saya selalu bilang bahwa film adalah fiksi. Tetapi tak jarang film―terutama fiksi ilmiah―berurusan dengan masa depan, menggambarkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di sepuluh, dua puluh, tiga puluh tahun lagi, atau mungkin lebih cepat dari itu.
Sebelum tiba waktu itu―yang kau tidak tahu kapan, kau harus belajar bagaimana cara bertahan hidup, sebelum kau menjadi manusia modern yang tidak tahu apa-apa.
Ada satu film lagi tentang mati lampu. Bagaimana hubungan personal antara adik-kakak dibangun hanya gara-gara mati lampu
In To The Forest
wuahhh keren :)
Congratulations @fardelynhacky! You received a personal award!
Click here to view your Board