“Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang, lemah jarimu terkepal”
(Sore Tugu Pancoran – Iwan Fals)
Dia mungkin secara persis bukanlah anak kecil seperti dalam lagu di atas, tetapi siapa peduli, sebab dia sudah sangat sering tampak berkeliaran di sepanjang trotoar, emper pertokoan, atau lorong-lorong pasar yang apak dan sumpek. Dia memang bukan penjual koran—yang koran sorenya terjual malam—tetapi hanya pemulung kumuh yang sepanjang trotoar, emper pertokoan, atau lorong-lorong pasar, memunguti gelas-gelas plastik air mineral yang dibuang orang-orang berbaju rapi, wangi dan bagus di sembarangan tempat. Mungkin dia memang bukan pahlawan, dia tidak ikut andil dalam membersihkan kota sehingga walikota dapat dengan bangga digadang-gadang mendapatkan piala adipura kencana. Dia hanya si Kalah yang mesti mengorek-gorek onggokan sampah untuk menyambung hidup.
Dia mungkin masih anak-anak, membuat si penatap yang kebetulan masih punya hati nurani jadi teringat pada anak-adik-kemenakan-cucu atau siapalah yang sesusia bocah itu yang masih ada ikatan darah dengannya. Si penatap dengan beriba hati akan meneguk sisa air di gelas plastiknya lalu pura-pura tanpa sengaja menjatuhkan gelas plastik itu ke jalan dan si anak yang namanya mungkin bukan Budi itu sigap menyambarnya seperti menyelamatkan barang yang teramat berharga. Si penatap hanya dapat menghela napas sesak. “Mudah-mudahan anak--adik-kemenakan atau cucuku tak harus menjadi pemulung seperti itu”.
Kota dan modernitasnya kadang begitu beringas, meskipun itu di kota sekecil kota ini. Selain orang sakit jiwa, pengemis, dan gelandangan yang semakin banyak, pemulung pun kian marak. Pemulung itu ikut berseliweran dalam alir dinamika warga kota yang bergegas. Mereka terdiri dari orang-orang tua ringkih, bapak-bapak lusuh, ibu-ibu kumuh—kadang lengkap dengan anak ingusan dalam gendongan, atau dengan perut buncit mengandung—pemuda-pemudi tanggung, dan bocah-bocah usia sekolah.
Aku teringat pada seorang teman yang dengan amat sinis menulis fakir miskin dan anak terlantar dipelihara di jalanan negara. Dulu aku hanya tertawa sumbang dan memaki satirnya yang terlalu tajam, tetapi kemarin, hari ini, dan mungkin besok, aku hanya bisa menghela napas ketika mereka—warga jalanan itu—melintas menenteng penderitaan hidupnya di depan hidungku. Itu bukan olok-olok yang keterlaluan ternyata. Kadang aku jadi tiba-tiba ingin menghubungi sebuah nomor telepon, dan bertanya adakah dia di sana masih asyik membaca laporan penuh angka-angka di ruangannya yang sejuk atau mobilnya yang nyaman?
Di Diponegoro, di Sudirman, di Pemuda, di Ahmad Dahlan, di rumah sakit, di mana-mana... orang-orang itu terus saja menyandang karung, lalu memunguti gelas-gelas plastik, botol-botol plastik, rongsokan besi, kertas, dan lain-lainnya yang masih menyisakan sedikit harapan untuk esok.
Di antara mereka banyak yang masih anak-anak, yang seharusnya bisa duduk di kelas menyimak Bapak dan Ibu guru menerangkan pelajaran dengan pakaian rapi dan perut berisi, serta sorenya mereka dapat ke TPA mengaji sehingga kelak menjadi orang-orang yang berbudi pekerti dan berakhlak islami. Tetapi yang terjadi mereka mesti menjelajahi meter demi meter trotoar, emper, atau lorong pasar memilah-milih sampah untuk dijual dengan harga tak seberapa.
Seperti anak-anak yang lain, mereka tentu juga berharap bisa memiliki cita-cita menjadi dokter, pilot, pelaut, bintang film, astronot, ulama, atau menjadi walikota. Mereka pun tentu berhasrat bisa menonton piala dunia dan membeli stiker dan asesorisnya, membaca Harry Potter, main-main di Fun Land, atau sesekali duduk makan jagung bakar di tepi pantai sambil menggoyang-goyang kaki sambil melihat lalu-lalang kendaraan. Mereka pun punya mimpi, terutama tentang seragam sekolah yang bersih, baik (tak dijahit-jahit atau ditambal-tambal), dan licin disetrika. Tetapi oleh keadaan mereka dipaksa berkeliaran pada saat jam belajar, berjalan di sepanjang trotoar, emper pertokoan dan lorong pasar memungut sampah yang bisa didaur ulang.
Pemerintah, lewat dinas sosial, mungkin pernah melakukan tindakan untuk mengatasinya, seperti memberikan penyuluhan, membuat rumah singgah dan lokalisasi rehabilitasi untuk merekonstruksi kemampuan hidup mereka. Syukurlah. Walau tetap saja ada yang mesti menjadi warga jalanan karena kehilangan pekerjaan, putus sekolah, atau kehilangan sumber penghidupan.
Kota ini pernah didatangi bencana dahsyat. Ribuan orang kehilangan nyawa, dan ribuan anak kehilangan orang tua dan keluarga. Oleh keadaan mereka terpaksa menjadi sebatang kara. Apabila tak tertampung oleh keluarga, orang kampung, pengungsian, atau lembaga yang berkemampuan menyantuni, mereka pun terbuang ke jalanan, langsung ‘terdaftar’ sebagai warga jalanan. Itu terjadi karena masih lemahnya pengaturan pascabencana. Anak-anak korban bencana yang kehilangan orang tua dan keluarga, sering terlantar begitu saja, paling-paling hanya dibantu oleh orang-orang yang kebetulan berbelas kasihan, sementara pemerintah tak menyediakan wadah penampung yang lebih layak, panti bencana misalnya.
Di samping bencana yang disebabkan oleh alam yang datangnya tak terduga, banyak juga anak-anak itu yang terperosok ke jalanan akibat hantaman bencana rumah tangga, seperti kekerasan, kemelut dan perceraian ayah-ibu, atau kemiskinan dalam keluarga yang membuat mereka mesti meninggalkan rumah, terjun ke jalan menjadi pengamen, pengemis, atau pemulung. Belum ada perlindungan anak yang maksimal untuk mereka.
Sementara itu anggaran pendidikan tetap saja rendah—seumil, seperti memberi makan kucing—akibatnya pihak sekolah tak mampu mensubsidi anak-anak dari keluarga berkemampuan ekonomi rendah. Harga-harga tetap naik, lapangan pekerjaan terus saja sempit. Setiap hari akan terus bertambah orang-orang yang menjadi sakit jiwa (hilir mudik dari satu halte ke halte lain atau mengumbar badan di keramaian), akan bertambah orang-orang yang menadahkan tangan di perempatan lampu merah, akan bertambah anak-anak dan pemuda tanggung yang berkeliaran mengamen dengan tingkah bohemian, dan akan bertambah banyak pula orang-orang yang melintas dengan karung tersandang di punggung, mengorek-gorek onggokan sampah untuk memungut barang-barang bekas yang bisa dijual untuk secuil harapan; di antara mereka ada anak-anak yang seharusnya dapat dengan nyaman menimba ilmu pengetahuan.
Sekarang mungkin memang bukan Hari Anak Nasional yang biasanya diisi dengan kegiatan yang sangat seremonial—makan bersama ibu-ibu PKK dengan anak panti asuhan, sunatan massal, seminar, atau lomba mewarnai. Dan anak ‘terbuang’ itu (mungkin namanya bukan Budi sebab budi telah kian langka di kota ini) akan terus malang melintang di jalanan dan memilah sampah. Barangkali saja ada masa depan yang dapat dipungut di sana.
aslamualaikum kak eky, lama tak bersua.
narasinya masuk ke hati, bikin baper hehe
Sedih hatiku baca narasimu dek...gimana kabarnya, banda aceh msh aman kan? Kangen ma lampriet dek..hahahha...semangat ya..sukses utkmu.
Ya Allah Kak, narasinya nusuk banget
Semoga kita bisa selalu bersyukur akan kehidupan dan lebih peduli kepada lingkungan sekitar.
Terima kasih untuk renungan paginya Kak. 😰
Pemandangan ini, seringkali lalu lalang di mataku, yang hidup di kota besar ini, Ky. Sering bikin hati miris, bening bola mata mendanau, hati teriris. Dan membaca narasimu ini, terbayang jelas di pelupuk mataku, betapa pemandangan seperti ini pun, lekat dan kental di kota kita.
Duh, aku jadi sedih, miris, baper, namun tak mampu berbuat apa. Hanya mampu berdoa, semoga anak-anak ini, orang-orang tua lemah tak berdaya ini, mendapat perlindungan dari-Nya. Nyang laen, hana ta teupeue peugah, sedeh lon, Eky. Hiks...