PERKARAN DAN ALASAN ACEHNOLOGI (1:3)

in #indonesia7 years ago (edited)

image pada bab ini menjelaskan tentang Acehnologi bukanlah sebuah ilmu seperti yang ada di ranah ilmu pengetahuan, dalam bidang ilmu ilmu sosial dan humaniora. Bahkan tidak banyak yang menyebutkan bahwa Acehnologi tidak memiliki akar sejarah dalam lintasan Aceh. Bahkan banyak yang menyebutkan bahwa Acehnologi sebagai romantisme belaka. Setelah itu ada yang menyebutkan bahwa Acehnologi di tulis sebagai Aceh-no-logi. Dalam artian Aceh tidak berilmu. Semua respon terhadap konsep tersebut tidak dipandang sebagai respon negatif, tetapi mendapat sambutan terhadap konsep ini terdapat perhatian dari berbagai kalangan.

Aceh memiliki akar ilmu pengetahuan tersendiri yang menjadi modal untuk ditulis secara khusus mengenai buku Acehnologi. Sehingga, orang yang membaca buku ini seperti bangun dari tidur yang panjang bahwa Aceh mempunyai salah satu bidang kajian ilmu sosial dan humaniora yang telah lama diteliti oleh para sarjana. Tentu saja masih belum terlambat. Karena studi ke-Aceh-an sudah memiliki akar keilmuan tersendiri, sehingga dicari pada bab-bab berikutnya, yang muncul didalam tradisi dan alam berpikir orang Aceh.

Mereka juga menyebutkan bahwa Acehnologi adalah sebuah ilmu pengetahuan yang bersifat lokal. Bahkan telah diprediksi oleh Nurcholish Madjid. Intinya, di Indonesia akan bangkit ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari daerah, dimana nantinya akan menonpang pemikiran kebangsaan indonesia. Mereka menyebutkan buku ini hasil respon terhadap kondisi kekinian masyarakat aceh yaitu selalu berada di tengah konflik, sehingga abai dengan aset ilmu pengetahuan yang muncul dari khazanah ke-Aceh-an.

Filsafah dan sejarah, dengan demikian, mempunyai satu cermin bagi Acehnologi. Pemikiran Hegel agak serupa dengan Syeikh Hamzah Fansuri, beliua seorang ulama yang hidup pada abad ke-16 M. Keserupaan Hegel dan Syaikh Hamzah Fansuri dalam pemikiran tradisi intelektual pada masa pencerahan di Eropa yang masih sedikit untuk megkajinya. Seolah-olah, kedua pemikir tersebut dapat berdiri sendiri, selain karna jarak, juga latar belakang dua pemikir tidak sama. Hegel lebih dikenal sebagai seorang filsafat dan ilmu sosial. Sedangkan, Syeikh Hamzah Fansuri lebih dikenal dalan kajian tasawuf dan sastra.

Pemikiran Syeikh Hamzah Fansuri terhenti ketika aliran yang dibawa tidak dapat dijadikan dukungan dari penguasa. Sehingga, pemikiran Syeikh Hamzah Fansuri tidak dapat dijadikan pedoman sebagai pemikir ke Islaman di Aceh. Sedangkan tasawuf dijadikan sebagai perjalanan ruhani, yang berhenti di depan tarekat dan salik buta. Dengan demikian, pemikiran Syeikh Hamzah Fansuri telah berada dalam koridor dan bukan dari bagian cukup penting dalam era pencerahan di Aceh. Dengan kata lain, Azra mengatakan bahwa Syeikh Nurdin Ar-Raniry yang merupakan seorang mujaddid atau pembaru dari Aceh pada abad ke-17.

Apa yang di perbuat oleh Syeikh Hamzah Fansuri telah jauh sebelum Immanuel Kant dan Hegel melakukannya di barat. Dapat diketahui pemikiran Syeikh Hamzah Fansuri hampir sama dengan Rene Descartes (1596-1650). Kesamaan waktu antara Descartes dan Syeikh Hamzah Fansuri, paling tidak, dapat diketahui dari para pandangan sarjana yang menyebutkan ulama ini hidup pada masa Sultan 'Ala al-Din Ri'ayat Syah al-Mukammil (1589-1604).

Pemikiran Descrates, Kant, dan Hegel, hingga pemikiran modern di Barat, terjadi karena saling sahut menyahut. Di sisi lain pemikiran Syeikh Hamzah Fansuri di Aceh hanya Di sahuti oleh muridnya Syeikh Syamsuddin al-Sumatrani.

Karya Syeikh Hamzah Fansuri tidak sempat dibakar, menjadi satu kajian tersendiri, terutama dikalangan kelompok yang ingin menekini tasawuf. Kajian Syeikah Hamzah Fansuri menjadi sebuah kajian yang memberikan pondasi pikir peradaban Melayu yaitu, kajian sastra dan filsafat. Pemikiran Syeikh Hamzqh Fansuri dapat di terima dalam beberapa dekade terakhir. Keterlambatan tersebut menyebabkan Aceh memiliki pemikiran pada aspek metafisika. Inilah salah satu alasan kenapa aspek metafisika pemikiran ke-Aceh-an tidak memiliki hibungan sejarah.

Pada awal abad ke-18, Aceh mangalami persoalan internal. Terutama ketika para keturunan Arab ikut campur urusan internak kerajaan. Dengandemikian Aceh tidak lagi memiliki wibawa di depan penjajah. Kehadiran inggris di semenanjung Tanah Melayu dan mendirikan pulai pinang sebagai pelabuhan yang menggantikan Malaka, juga menjadi pemicu tidak jelasnya tatanan kerajaan Aceh.

Inilah yang dikemukakan oleh Syeikh Hamzah Fansuri dan Nurdin Ar-Raniry mengenai sistem pikir ulama pada abad ke-17 M. Maka Hamzah menjelaskan mengenai dua hal lagi yaitu keberadaan (being) dan kenal (knowing. Penemuan keberadaan adalah terkait dengan konsep perwujudan manusia di atas muka bumi ini. Manusia harus mengetahui konsep keberadaannya dan apa saja alat-alat di dalam diri manusia tersebut untuk mencapai kewujudannya. Proses tersebut, pada gilirannya akan merperlihatkan manusia tersebut didalam sadar maupun tidak dalam memahami knowing.