Bagian Keenam : Tradisi Intelektual Acehnologi Bab : 30 Tentang Kontribusi Keilmuan Alumni Luar Negeri Di Aceh

in #indonesia6 years ago

Assalamu’alaikum kawan-kawan,,,

Hari ini saya berkesempatan untuk melanjutkan review buku Acehnologi Volume 3 Karya Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, PH.D bab : 30 Tentang Kontribusi Keilmuan Alumni Luar Negeri Di Aceh. Inti dari bab ini adalah untuk melihat bagaimana peran alumni luar negeri dalam masyarakat Aceh. Namun demikian, kajian ini, tidak hanya menyoroti fenomena hari ini saja, tetapi juga apa yang telah berlaku di dalam sejarah pendidikan Aceh. Sehingga kita akan mampu melihat apakah persoalan peran alumni luar negeri, murni masalah hari ini atau memiliki kesinambungan sejarah, baik dari Aceh maupun ketika bergabung dengan Indonesia.

Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan ulama dari Aceh yang tidak pernah mengenyam pendidikan luar negeri, namun perannya setara dengan pemburu-pemburu Islam di luar Negeri. Demikian pula, Aceh memiliki Ali Hasjmy, sebagai ilmuwan serba bisa, namun sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan diluar negeri. Harus diakui, bahwa pada tahun 1970-an para sarjana yang sangat produktif di Aceh, sama sekali bukan alumni Timur Tengah ataupun Universitas ternama di Eropa atau Amerika Serikat. Jadi, dapat dikatakan bahwa mengenai peran dalam masyarakat Aceh, persoalan lulusan dalam maupun luar negeri pada era 1970-an bukan persoalan penting.

Tahun 1970-an dan 1980-an, Aceh masih mampu memberikan kontribusi terbaiknya dalam dunia pendidikan akademik di Indonesia. Setelah tahun 1990-an hingga 2000-an, episode suram akademik Aceh dipicu oleh gejolak antara provinsi ini dengan pusat di Jakarta. Namun upaya untuk belajar ke luar negeri masih begitu kuat di kalangan anak-anak Aceh. Hal ini tercermin dari minat anak-anak muda Aceh belajar ke Timur Tengah dan dalam beberapa hal tertentu, ke negeri tetangga ( Malaysia ).

Pengalaman mengenyam pendidikan di luar Negeri , diarahkan pada penguatan personal development. Sehingga mereka terkadang malah ingin keluar dari jalur pemerintahan yang bersifat birokratif, masuk ke dalam dunia pendidikan di kampus. Namun, lagi-lagi situasi dan alam akademik di Aceh ternyata tidakmendukung semangat yang mereka miliki. Sehingga ada kalanya mereka pindah ke Pulau Jawa untuk mendapatkan lapangan yang lebih besar dalam melanjutkan kiprah mereka terhadap masyarakat. Selain itu, adapula tradisi masyarakat kampus yang alumni luar negeri mulai menceburkan diri mereka dalam birokrasi dan social politik.

Setelah terjadi tragedy Tsunami tahun 2004, terjadi booming reproduksi para intelektual di Aceh. Baik donor luar maupun pemerintah daerah sudah mulai mengirimkan orang Aceh keluar negeri untuk menempuh studi S-2 dan S-3. Disini mereka ada yang diseleksi secara ketat yaitu melalui studi minat, kecakapan dalam bahasa inggris, dan kemampuan dalam membina karir setelah mereka selesai studi di luar negeri.

Lahan atau kondisi masyarakat Aceh untuk dilakukan perubahan dalam bidang social dan budaya di Aceh memang sangat mendesak. Inilah yang harus dilihat sebagai peluang oleh alumni luar negeri. Pola untuk menuju masyarakat yang lebih baik haruslah menjadi spirit para alumni. Namun, persoalan klasik Indonesia, tidak terkecuali, di Aceh adalah pengakuan terhadap para akademik begitu baik. Sehingga terkadang mereka mengeluh karena standar kehidupan Aceh sangat tinggi, namun pendapatan dan penghasilan sebagai masyarakat akademis tidak mendukung.

Persoalan di atas tidak hanya berlaku di Aceh, tetapi juga ditempat lain, dimana peran dan fungsi masyarakat intelaktual belum begitu diakui secara materi. Namun, persoalan ini bukanlah hal yang utama. Sebab, jika para alumni luar negeri terus berkarya tentu saja ada persoalannya. Misalnya beberapa alumni luar negeri yang pernah mendapatkan beasiswa yang mampu manghasilkan buku atau terlibat dalam konferensi nasional maupun internasional.