GENERAL election 2019 becomes a new history in the journey of the nation and state of Indonesia in democracy, both in terms of organizing, participants, and voters who are the subject of the democracy of the helicopter. For the first time in the history of modern elections, Indonesia will hold legislative and presidential elections simultaneously. Voting and vote counting for the legislature and president are held simultaneously. Voters get five ballots to elect the president, members of DPR-RI, DPD, Provincial DPRD and DPRD in Kabupaten or Kota (the regency or the city).
In every electoral election, both the legislature, the president, and the regional head, the issue of voters has always been a source of conflict and lawsuits. The defeat of election participants is often associated with the inaccuracy of voter data owned by the General Election Commission. The complexity of voter data is constantly changing, even in the 2014 General Election of the KPU until it sets the Permanent Voter List (DPT in Bahasa) three times, indicating the voter list matter is so dynamic.
Many of the factors that cause voter list problems are so dynamic, both internal factors among the organizing agencies, from government agencies such as the Population and Civil Registry, the problems in political parties, are included in the voters themselves. All are interlinked and contribute respectively to the provision of complete and accurate voter data.
Of all these problems, voting factors become an interesting focus with a political marketing approach. In accordance with the laws and regulations, Indonesian citizen voters who are already 17 (seventeen) years or older are married or have been married (although not yet 17 years of age).
The definition of voters in legislation does place neutral voters, as a subject that is part of the election. That voters have different characteristics in many respects, becomes a variable that is ignored by legislation because it is not the realm of the organizers.
Is that a millennial voters?
The organizers have more attention to the novice voters, ie, the first voters to vote or voters who are 17 years old on the day of voting. In addition to the 17-year requirement, married or married voters also have the right to vote, even though on their H-day they are not yet 17 years old.
Most beginner voters are millennial generations close to informatics technology. Not only those who become novice voters, voters between the ages of 17 and 35 can be said to be millennial voters (need data on the number of internet users and age limits and the amount of age-based voter data). Demographic bonuses should be part of the strategic electoral participants in winning the sympathy of voters. Like selling a product, they should be able to hook as many consumers as possible.[]
Pemilih Minenial dalam Pemilu 2019 di Indonesia
PEMILIHAN Umum 2019 menjadi sejarah baru dalam perjalanan bangsa dan negara Indonesia dalam berdemokrasi, baik dari sisi penyelenggaraan, peserta, maupun pemilih yang merupakan subjek dari dari helatan demokrasi tersebut. Untuk pertama kali dalam sejarah pemilu modern, Indonesia akan menggelar pemilu legislatif dan presiden secara serentak. Pemungutan dan penghitungan suara untuk legislatif dan presiden dilakukan serentak. Pemilih mendapatkan lima surat suara untuk memilih presiden, anggota DPR-RI, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Dalam setiap penyelenggaran pemilu baik legislatif, presiden, maupun kepala daerah, masalah pemilih selalu menjadi sumber konflik dan gugatan. Kekalahan peserta pemilu sering dikaitkan dengan tidak akuratnya data pemilih yang dimiliki Komisi Pemilihan Umum. Rumitnya pendataan pemilih yang selalu berubah, bahkan dalam Pemilu 2014 KPU sampai menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak tiga kali, menunjukan persoalan daftar pemilih begitu dinamis.
Banyak faktor yang menyebabkan masalah daftar pemilih begitu dinamis, baik faktor internal di kalangan lembaga penyelenggara, dari lembaga pemerintahan seperti Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, permasalahan di partai politik, termasuk dalam pemilih sendiri. Semuanya saling terkait dan memberikan kontribusi masing-masing untuk penyediaan data pemilih yang lengkap dan akurat.
Dari sekian persoalan tersebut, faktor pemilih menjadi fokus menarik dengan pendekatan marketing politik. Sesuai peraturan perundang-undangan, pemilih warga negara Indonesia yang sudah genap berusia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin (meski belum berusia 17 tahun).
Definisi pemilih dalam peraturan perundang-undangan memang menempatkan pemilih secara netral, sebagai sebuah subjek yang menjadi bagian dari pelaksanaan pemilu. Bahwa pemilih memiliki karakteristik berbeda dalam berbagai hal, menjadi variabel yang diabaikan secara peraturan perundang-undangan sebab itu bukan ranahnya penyelenggara.
Apakah itu pemilih milenial?
Penyelenggara memiliki perhatian lebih terhadap pemilih pemula, yakni pemilih yang baru pertama kali menggunakan hak pilih atau pemilih yang sudah berusia 17 tahun pada hari pemungutan suara. Selain syarat 17 tahun, pemilih yang sudah menikah atau pernah menikah juga sudah memiliki hak untuk memilih, meski pada hari-H mereka belum sampai 17 tahun.
Sebagian besar pemilih pemula adalah generasi milenial yang dekat dengan teknologi informatika. Tidak hanya mereka yang menjadi pemilih pemula, pemilih yang berusia antara 17 – 35 tahun dapat dikatakan pemilih milenial (perlu data jumlah pengguna internet dan batasan usia dan jumlah data pemilih berbasis usia). Bonus demografi kependudukan harus menjadi bagian dari strategis peserta pemilu dalam merebut simpati pemilih. Seperti menjual sebuah produk, mereka harus mampu menggaet konsumen sebanyak mungkin.[]
Keren, bagian dari kampanye Pemilu lewat steemit. Patut ditiru postingan spt ini.
Dunia sudah memasuki era milenial tapi pemilu masih menggunakan kertas. Tidak zamannya lagi.
Uangnya juga masih unang kertas Pak @dsatria, kecuali kita yang sudah menggunakan uang kripto, hehehehe. Btw, akan tiba suatu masa nanti memberikan suara secara elektronik seperti di US. Tapi di sana pun, sampai sekarang masih ada menggunakan kertas kok.
Semoga pemilu tahun 2019 sesuai dengan amanah Pancasila@ayijufridar
Itu harapan semua orang @vikron. Tapi memang tidak mudah melaksanakan pemilu yang jujur, adil, dan akuntabel. Kata Pak Jusuf Kalla, pemilu di Indonesia merupakan pemilu yang paling sdulit di dunia.
Tapih Kapan Kita Bisa menikmati freedom itu@ayijufridar. saya Rindu dengan Kejujuran, Keadilan dan akuntabel
Pemilih pemula juga lebih dominan di pemilukada yang tidak bisa kita abaikan begitu saja. Yang terkadang mencapai 20% tiap tahunnya.
Salam kupi pancong..
Pemilih pemula memiliki karakter yang sangat unik @mulawarman. Mereka tidak gampag terpengaruh dengan iming-iming jangka pendek seperti sebagian besar pemilih. Dan sebagian besar pemilih pemula juga belum menetapkan pilihannya, terkadang mereka malah tidak tertarik dengan dunia politik. Makanya mereka masuk dalm swing voters. Kalau mereka digarap secara serius oleh peserta pemilu, bukan tidak mungkin mereka menjadi faktor signifikan pada pemilu 2019 mendatang. Saleum.
I do Agree. akan tetapi @ayijufridar pemilih pemula pada zaman Now banyak yang berkhayal dengan dunia maya, akan tetapi akan cepat terpengaruh dengan berbagai macam hot topic yang ada di sosial media.
ditambah lagi dengan adanya sosialisasi mengenai pemilukada kepada pemilih pemula, dan itu kalau disertai dengan pemateri yang netral tanpa ada unsur-unsur politik untuk berpihak kemana.
lain halnya juga dengan pelimih pemula yang tinggal atau menetap di Pasantren dan Dayah dengan kedisplinan tinggat tinggi, sehingga susah untuk dapat mengakses dunia maya (politik).
Tetap seumangat... Kupi pancong suah tanikmati malam hari..
Pemilih di dayah biasanya sami'na waata'na @mulawarman. Pengalaman selama ini membuktikan. Masa depan politik memang ada pada pemilih pemula.
Uncomplicated article. I learned a lot of interesting and cognitive. I'm screwed up with you, I'll be glad to reciprocal subscription))
The articles about politics are less interesting on Steemit. I just want to mention about beginner voters in Indonesia whose numbers are very large. Indonesia will face legislative and presidential elections in 2019 and this will be the first election to be held simultaneously. Thanks for your comment.
Itu sedang proses pengenalan kepada siswa siswi SMA ya bang @ayijufridar ..supaya nanti pas pelaksanaan gak ragu dalam menentukan pilihan.b😊😊
Karena ini zaman milenial, mungkin kah pemilihan yang akan datang menggunakan sistem teknologi?
Pelaksanaan pemilu di Indonesia telah menyesuaikan degan perkembangan zaman. Berbagai sistem informasi dalam tahapan yang ada sekarang, merupakan bagian dari membangun sistem pemilu yang akurat, efektif, efisien dari segi anggaran, proses, dan waktu.
Harapannya pemilu 2019 ini akan terpilih yang baik dari yang terbaik untuk perubahan bangsa jadi lebih baik.
Semoga saja demikian @raudhatul.jannah. Pemilu merupakan proses demokrasi yang menjadi perwujudan kekuasaan berada di tangan rakyat. Makanya, rakyat harus menggunakan hak pilih agar ikut membangun demokrasi berbangsa dan bernegara.
Potensi mereka untuk tidak ikutan memilih atau Golpot juga banyak kan, bang? Karena biasanya, generasi milenial ini lebih cenderung suka sibuk dengan dunia mereka sendiri daripada harus terlibat dalam politik praktis.
Informasi yang sangat bermanfaat. Tapi sangat disayangkan untuk pesta demokrasi yang sangat besar ini kita masih menggunakan kertas, padahal sekarang teknologi sudah sangat jauh berkembang.
Postingan yang sangat terinspirasi untuk dunia pendidikan, terima kasih telah berbagi bg @ayiejufridar
Ini dia postingan yang berasal dari pakar pemilu.
terus beekampanye agar partisipasi naik tinggi