Oleh @ayijufridar
Bulan-bulan terakhir ini Amanda merasa sikap Lenri dan Puan mulai berubah. Mereka mulai bersikap kasar dan keras terhadapnya. Mulanya Amanda mengira kedua kakaknya itu sedang menghadapi problemanya masing-masing sehingga mereka berubah sikap. Lenri misalnya. Setelah putus dengan Mas Reji dia mulai suka marah-marah dan memerintah seenaknya. Kemarahannya itu pun sering disebabkan oleh masalah-masalah kecil dan sepele. Seperti kemarin, dia marah-marah hanya karna kaos kakinya raib entah kemana.
“Manda, kamu lihat kaos kaki Mbak Lenri?” tanyanya dengan suara yang jauh dari lembut.
Amanda menggeleng takut.
“Cariin dong!”
“Di mana, Mbak?”
“Terserah kamu. Yang penting kaos kaki itu harus ada sekarang juga. Aku mau pergi, nih!”
“Terpaksa Amanda mencari barang itu di setiap sudut rumah itu. Benda itu kemudian ditemukan di belakang rumah tetangga dekat kandang Jacky. Pasti anjing sialan itu yang telah membawanya.
“Dapat?” tanya Lenri saat Amanda kembali ke depan.
Amanda menggangguk. Diserahkannya kaos kaki itu kepada Lenri.
“Aduh Manda! Kamu gimana, sih? Masak kaos kaki yang begini kotor harus kupakai. Cuciin gih!” Lenri menyerahkan kaos kaki itu kembali pada Amanda.
“Tapi Mbak….”
“Kenapa? Kamu nggak mau?”
“Mau,” Amanda menyahut cepat.
“Tapi ‘kan nggak bisa kering sekarang, Mbak.”
Lenri melongos kesal.
“Kalau begitu ambil kaos kaki yang lain di kamar Mbak Lenri.”
Bergegas Amanda berjalan menuju kamar Lenri, dan kembali dua menit kemudian.
“Yang ini, Mbak?” Amanda mengancungkan sepasang kaos kaki warna biru.”
“Jangan kaos kaki itu khusus untuk sekolah. Cepatan ambil yang lain. Aku sudah terlambat, nih!”
“Yang mana, Mbak?”
“Terserah kamu!”
Amanda kembali lagi ke kamar Lenri yang lumayan jauh dari ruang depan.
Sebenarnya dia merasa lelah karena pagi tadi dia bekerja membersihkan rumah bersama mama. Lanjut apalagi untuk mencapai kamar Lenri Amanda harus berjalan tertatih-tatih.
Tiga pasang kaos kaki sekaligus dicomot Amanda dari tempatnya. Lanjut dia menyerahkan ketiganya pada Lenri.
“Yang ini saja,” Lenri mengambil sepasang kaos kaki warna orange. Dipasangkan kaos kaki buru-buru. Setelah itu dia langsung meluncur ke depan.
“Simpan kaos kaki itu pada tempatnya,” perintahnya sebelum menghilang di balik pintu.
Sepeninggal Lenri, Amanda malah merenung sendiri. Dia teringat akan sikap Lenri yang menyakitkan hatinya. Peristiwa itu baru sebagian kecil dari perubahan sikap Lenri kepadanya karena dalam kesempatan lain, kakaknya yang sudah kelas tiga SMA itu memperlakukanya tak ubah seperti pembantu.
Lain lagi yang dilakukan oleh Puan.
Sikapnya malah lebih keras dan menyakitkan. Tadi pagi ketika semua penghuni rumah hendak berangkat ke tempat tugasnya masing-masing. Amanda sudah siap dengan seragam putih birunya ketika tiba-tiba Puan memanggilnya dengan suara menjerit.
“Ada apa, Mbak?” tanya Amanda sesampainya di kamar Puan.
“Kamu lihat dompet aku di sini, enggak?”
Amanda menggeleng.
“Benar?”
“Benar, Mbak. Amanda enggak berani masuk ke dalam kamar ini tanpa seizin Mbak Puan.”
“Jadi siapa yang menggambil dompetku. Di rumah ini cuma ada berempat. Mama jelas enggak mungkin. Lenri juga tidak mungkin.”
Ada yang menusuk hati Amanda mendengar kalimat itu. Tapi dia tidak berani memperlihatkannya di depan Puan. Gadis kecil itu hanya menunduk diam.
“Kamu enggak mengambilnya?”
“Ada apa ini pagi-pagi sudah ribut-ribut?” sosok mama tiba-tiba berdiri di belakang Amanda.
“Ini, Ma. Dompet Puan hilang entah ke mana. Padahal baru tadi Puan simpan di atas tempat tidur.
Mama tersenyum.”Kamu yakin telah menyimpannya di atas tempat tidur?”
“Yakin, Ma.”
“Jadi ini apa?” tanya mama memperlihatkan sebuah dompet kulit warna coklat. “Mama dapat di mana?” Puan mengambil dompet itu dari tangan mama.
“Di atas meja makan. Kamu sendiri yang membawanya ke sana tadi,” pandangan mama kemudian beralih pada Amanda yang masih berdiri menunduk. ”Kamu marahi Manda?”
“Enggak, Ma. Puan bertanya baik-baik.”
“Manda yang sendiri gitu, dasar manja!”
“Puan!” Mama menatap Puan tajam. Kemudian matanya kembali pada Manda.
“Ayo Manda, kamu barengan dengan Mama saja?” mama meraih tangan Amanda lembut dan membimbingnya dari keluar dari kamar Puan.
Di sekolah Amanda dapat belajar dengan baik. Pikirannya penuh-penuh tertuju pada sikap Lenri dan Puan yang sangat menyakitkan hatinya. Kedua kakaknya itu seperti tidak memiliki rasa belas kasihan terhadapnya. Mereka semakin sering memarahi dan membentaknya hanya karena hal-hal kecil. Mereka tidak peduli pada keadaan tubuh Amanda yang tidak sempurna. Mereka tidak pernah peduli semua itu.
Amanda sendiri tidak mengerti kenapa Lenri dan Puan bisa merubah kasar. Kalau memang benar mereka sedang menghadapi masalahnya seperti rekaan Amanda semula, tentu sekarang ini mereka kembali menjadi baik karena menurut Amanda keduanya kakaknya itu tidak sedang menghadapi masalah yang serius.
Padahal dulu ketika pertama kali Amanda menginjakkan kaki di rumah, Lenri dan Puan mengikuti menyayanginya. Amanda masih ingat betul awal kehadirannya di tengah-tengah mama Lenri dan Puan.
Peristiwa itu masih segar dalam ingatan Amanda meskipun sudah tiga tahun berselang. Waktu itu Amanda sedang mencari kardus bekas di depan sebuah toko elektronik. Dia bersama Omi teman seprofesinya. Ketika sedang sibuk mengumpulkan kardus bekas untuk dijual, Omi meninggalkannya. Dia pergi tanpa memberitahukan pada Amanda lebih dulu.
Amanda kemudian mencarinya dengan membawa kardus yang berhasil dikumpulkannya. Amanda lupa bahwa pada saat itu sedang berada di tengah jalan raya. Gadis kecil itu baru menyadarinya ketika sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan sedang menubruk hingga tubuhnya terpelanting.
Amanda berusaha untuk bangkit kembali. Namun dia tak mampu. Dia terjatuh dan dan tak sadarkan diri.
Lalu si pengemudi mobil yang tak lain adalah Lenri, membawa Amanda ke rumah sakit. Selama sebulan penuh Amanda dirawat di sana dengan seluruh biaya ditanggung mama. Setelah sembuh mama menawari Amanda tinggal bersamanya.
Amanda setuju. Apalagi pada dasarnya dia sudah tidak memiliki keluar lagi. Selama ini hanya hidup menggelandang bersama teman-temannya.
Dia kemudian di sekolahkan. Untuk itu Amanda mengucapkan terima kasih meskipun keadaannya tubuhnya sudah tidak sempurna lagi. Setelah peristiwa kecelakaan itu dia memang harus berjalan tertatih-tatih karena cacat yang melekat di tubuhnya.
Selama tiga tahun Amanda tinggal bersama mama, Lenri dan Puan dengan penuh kebahagiaan. Mereka menyayangi dan mengasihinya seperti anggota keluarga sendiri. Tetapi bulan-bulan terakhir ini tiba-tiba semuanya berubah. Mama memang masih tetap menyayanginya seperti dulu meskipun beliau tidak punya banyak waktu karena pekerjaan di kantor.
Tapi Lenri dan Puan?
Ah , Amanda benar-benar tidak habis mengerti kenapa sikap mereka sampai berubah.
SESUDAH makan malam Amanda tidak langsung masuk kamar seperti biasa. Dia harus membantu mama membersihkan piring dan semua peralatan dapur. Puan dan Lenri hanya membawa piring-piring kotor itu ke belakang. Setelah itu mereka meninggalkannya begitu saja.
Sejak Mbok Millah diberhentikan tugas karena mama tidak mampu lagi menggajinya, Amanda jadi mempunyai tugas ganda yang begitu berat. Karena terkadang Amanda juga harus mencuci baju Lenri dan Puan. Dan itu membuatnya sangat capek.
Ketika semua piring hampir selesai dibersihkan. Mama pamit dan meninggalkan Amanda sendiri.
“Mbak Lenri dan Mbak Puan ingin bicara dengan Mama,” katanya memberi alasan. Amanda hanya mengiyakan dengan anggukan. Semenjak sering di marahi kedua kakaknya dia memang lebih banyak berdiam diri.
Seusai mengerjakan tugas itu. Amanda menuju kamarnya. Saat melewati kamar Mama, dia mendengar suara Lenri dan Puan menyebut-nyebut namanya. Karena penasaran, diam-diam Amanda merapatkan telinganya ke daun pintu.
“Mama bayangkan, sejak kehadirannya di rumah ini, usaha Mama langsung mengalami kebangkrutan. Setelah itu musibah demi musibah beruntun menimpa keluarga kita,” terdengar suara Lenri berkata lirih.
“Benar, Ma. Sejak kehadiran Manda keluarga kita kayaknya selalu menimpa kemalangan,” Puan ikut bicara.
“Jadi kalian menganggap Manda sebagai semua penyebab malapetaka yang menimpa keluarga kita?”
“Kami tidak bilang begitu, Ma. Tapi Mama bisa menghubung-hubungkan peristiwa itu dengan kehadiran Manda di tengah keluarga kita.”
“Kalian keliru. Kemalangan yang terjadi pada keluarga kita tak ada hubungan dengan kehadiran Manda di sini. Semua peristiwa itu adalah cobaan Tuhan kepada kita.”
“Tapi, Ma….”
“Tidak Lenri, Mama tidak setuju kalau kamu menyalahkan Manda dalam hal ini. Dia sama sekali enggak berdosa.”
Hening sesaat.
“Kami hanya ingin Mama memikirkan baik-baik tentang keberadaan Manda mamikirkan baik-baik tentang keberadaan Manda di rumah ini. Kita tidak tahu dari mana asal-usulnya. Kita tidak tahu apakah dia anak orang baik-baik atau bukan. Manda hadir di tengah keluarga kita karena kebetulan. Ma. Kita enggak tahu apa yang telah dilakukannya sebelum tinggal di sini. Sebelum keadaan...”
“Cukup Lenri. Mama tidak suka kamu ngomong begitu. Sudah Mama katakana, Manda sama sekali tidak berdosa. Apa yang terjadi pada keluarga kita sudah menjadi kehendak Tuhan, bukan karena kesalahan Manda.”
Lenri dan Puan terdiam mendengar kalimat Mama yang tegas. Tapi keduanya sama sekali tidak puas.
PAGINYA Lenri dan Puan terlambat bangun. Mama yang punya kegiatan di kantor juga tidak dapat bangun lebih cepat seperti biasanya ketika terjaga, mama buru-buru menuju dapur dan menemukan keanehan di sana. Tak ada kegiatan sedkit pun di situ meskipun sudah pukul setengah tujuh.
Tergesa mama melangkah ke kamar Amanda. Dan seketika beliau terkejut melihat keadaan kamar itu yang tampak bersih dan rapi. Tempat tidurnya seperti tidak dipakai semalam. Buku-buku tersusun dengan rapi di atas meja belajar. Tapi sosok Amanda tidak ada!
Sesaat perasaan dirayapi kecemasan. Detik berikutnya dia mencari Amanda di kamar mandi tapi tak ada selain Lenri yang baru saja hendak masuk ke sana. Di halaman belakang juga tidak ada.
Mama menjerit-jerit memanggil Puan. Gadis itu muncul dengan kepala yang masih dililit handuk.
“Ada apa, Ma?”
“Manda….” mama merasa terongkongannya tersekat.
“Kenapa dengan Manda?”
“Dia kabur!”
Meski kehadiran Manda tidak disenanginya, tak urung Puan terkejut juga.
Mama tampak gelisah. Dia bergerak ke sana kemari sambil menghela napas panjang.
“Sudahlah, Ma. Barangkali sebentar lagi Manda juga akan pulang sendiri.”
“Mungkin. Tapi mungkin juga takkan pulang lagi untuk selamanya. Sekarang siapkan motormu Puan. Kamu temani Mama mencari Manda.”
Puan mengeluh dalam hati.
“Mencari ke mana, Ma?”
“Ke mana saja. Ke tempat-tempat yang mungkin ada Manda.”
“Tapi sekarang Puan harus sekolah, Ma ,” kata puan keberatan.
“Hari ini kamu enggak usah masuk. Biar Lenri yang mengantar surat izinnya ke sekolah.”
“Tapi, Ma…”
“Kamu keberatan?”
“Nggak, Ma. Tapi sepulang sekolah nanti masih bisa.”
“Tidak apa-apa kalau kamu keberatan. Mama bisa mencarinya sendiri,” cetus mama sambil melangkah pergi. Puan hanya menatap bingung.
Bagi mama, pekerjaan mencari Amanda memang bukan hal yang gampang. Sebelum ini dia hampir tidak pernah mengunjungi daerah tempat para gelandangan berkumpul. Mama nyaris menghabiskan seluruh waktunya untuk pekerjaannya di kantor. Apalagi belakangan ini usahanya tengah mengalami kemunduran. Otomatis mama harus menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran yang lebih untuk pekerjaannya.
Makanya mama sekarang tampak kebingungan berada di daerah yang asing baginya itu. Tempat itu sama sekali jauh dari bersih. Mama harus terpaksa harus menahan napas karena bau sampah busuk di sana sini.
Mama menghampiri sekelompok anak-anak yang sedang bermain yang sedang bermain dan menanyakan perihal Amanda. Namun tak seorang pun mengenalinya. Barangkali di sini bukan tempat Manda, pikir mama sambil menuju tempat lain.
Tiga jam lebih mama mengintari perkampungan kumuh itu. Tapi ia tidak menjumpai Amanda, atau seseorang yang mengenalinya. Dengan membawa keletihan yang luar biasa akhirnya mama memutuskan pulang ke rumah.
Mama menyetop sebuah taksi yang kebetulan lewat. Hari ini mama mempunyai tugas penting di kantor. Jadi biarlah pekerjaan mencari Amanda ditunda lebih dulu. Atau lebih dulu mama akan melaporkannya pada polisi.
Taksi yang ditumpangi mama tiba-tiba bergerak lambat. Ternyata telah terjadi kecelakaan. Orang-orang tampak berkerumun.
Mama memperhatikan kerumunan manusia itu. Dan tiba-tiba dia dikejutkan oleh sebuah kenyataan. Di antara kerumunan itu mama melihat seorang gadis kecil yang digendong seorang lelaki. Tubuh gadis itu penuh dengan noda darah.
Mama memerintahkan taksi itu. Taksi itu berhenti. Dan ketika mama mendekati korban kecelakaan itu, seketika dia merasa kepalanya pusing. Perlahan tubuh mama limbung dan akhirnya rubuh di atas aspal. Setelah itu mama tidak ingat apa-apa lagi.
WAJAH itu tampak begitu pucat matanya setengah terbuka menatap ke sekeliling. Pada Lenri dan Puan yang berdiri di sisi pembaringan, dan…
”Manda ….”
Mata Amanda beralih pada mama di dekat kepalanya. Amanda merasa tengah menggenggam jemarinya. Dia bisa merasakan kasih sayang yang mengalir melalui telapak tangan mama.
“Ma, kenapa Manda ada di sini?” suara Amanda terdengar sangat lemah.
“Kamu kecelakaan, Manda.”
“Oh…..”
“Sudahlah, sekarang sebaiknya Manda istirahat dulu. Tak usah ingat apa-apa,” kata mama sambil membersitkan hidungnya.
“Betul, Manda. Kamu harus banyak istirahat agar lekas sembuh dan kembali ke sekolah,” Puan menambahi.
“Manda enggak ingin sekolah lagi. Manda ingin berkumpul dengan teman-teman yang dulu. Selama ini Manda telah melupakan mereka.”
“Tidak Manda. Manda tidak boleh pergi. Manda tidak sayang pada Manda?”
Mata Amanda menerawang ke langit-langit kamar di rumah sakit. Sesaat kemudian terdengar helaan napas panjang dari hidung gadis itu.
“Manda telah menyusahkan Mama. Mbak Lenri dan Mbak puan. Kehadiran Manda telah menyebabkan kehidupan Mama di timpa kemalangan. Manda nggak pantas tinggal bersama Mama. Manda harus pergi…..”
“Manda,” Lenri berjongkok di sisi pembaringan.” Mbak Lenri dan Mbak Puan mengaku berslah pada Manda selama ini. Maafkan kami ya Manda?”
Mata Amanda kembali menerawang ke langit-langit.
“Manda jangan pergi , ya? Manda jangan meninggalkan Mbak Lenri Mbak Puan dan Mama. Kami semua saying pada Manda,” kata Mama terisak.
Amanda memandang Mama , Lenri dan Puan bergantian. Bibir gadis itu menyunggingkan senyum tipis. Lalu matanya menatap ke langit-langit.
“Manda juga menyayangi Mama Mbak Lenri dan Mbak Puan. Manda sayang sekali, Ma. Tapi Manda harus pergi. Orang yang menjemput Manda sudah datang...”
Tak terasa air mata mengalir membaca cerpen kisah hidup Amanda. Cengeng bener baca gitu aja kok bisa mewek...huaaa..
Kisahnya seperti penggalan syair lagu... Kalau sudah tidak ada baru terasa... Amanda ohh Amanda .
Tahun 1994, cerpen ini saya ikutkan ke Lomba Cipta Cerpen Remaja (LCCR) Anita Cemerlang. Tapi tidak menang, hanya memenuhi syarat untuk dimuat. Alhamdulillah...
Salam untuk Amanda, semoga yang menjemputnya membawa Amanda menuju gerbang kebahagian sejati...
Salam kembali dari Amanda, @beladro. Btw, penyair Zhu sudah punya akun di Steemit. Nama akunnya @ibedzubaidah. Ayo provokasi dia agar segera membuat postingan.
Ngeri kita provokasi dia, bisa 10 postingan sehari 😀
Senyuman manda tetap bertahan untuk beberapa menit. Waktu tidak mampu membuat wajahnya dengan penuh cinta tulus itu menghilang. Matanya mulai sayu. Bagaikan wajah yang dengan secuil senyum tanpa beban. Amanda pergi dengan penuh bahagia. Meskipun disekitarnya menangis dengan penyesalan.
Kisah masa lalu @andrianhabibi. Terima kasih.
Kembali kasih bang @ayijufridar
Saya masih duduk di Bangku SD bang, ha ha ha.. Namun tulisan ini semakin memberi gambaran sosok Ayi jufridar yang saya kenal bukan penulis karbitan :D
Keren bang, semakin mengenal sosok dirimu :)
Kita kan beda generasi @dilimunanzar, hehehehehe.... Tahun 1994 Bang Ayi sedang kuliah tahun kedua di Politeknik Lhokseumawe, dulu namanya Politeknik Negeri Unsyiah. Dan sudah menganggur dua tahun sebelum masuk Politeknik pada 1993.
Menetes air mata membaca cerpennya bg.. 😭😭😭😭😭😭
Cerpen sedih, ya @irasiregar. Pokoknya Amanda itu masih boleh dirawat oleh @irasiregar, kok...
Udah ya bang, bahasannya.. 😭😭😭
Anita Cemerlang nomor 478 edisi 20 – 29 Juni 1994. Ah, itu masa-masa muda kita dahulu....Selamat dan Terimakasih telah mengetuk kembali kenangan masa lalu...
Sekarang pun kita masih muda Bang @sisaifulbahri, hehehehehe....