Dari Teungku ke Ustaz (Book Review Acehnologi Vol 3)

in #indonesia6 years ago

Permasalahan ini cukup menyita perhatian dalam jejeran pembahasan lain dalam buku Acehnologi Vol 3 ini sendiri. Dari judulnya membuat pembaca khususnya orang Aceh sedikit mempunyai pemahaman tersendiri, mungkin juga karena kenyataan dalam lingkungan sehari hari. Review buku Acehnologi bab terakhir ini mengenai topik Dari Teungku ke Ustaz.

Bab ini mendalami permasalahan saat ini mengenai perpindahan otoritas pendidikan Islam dalam masyarakat Aceh. Sebelumnya otoritas ini di perankah oleh tokoh agama lokal dengan sebutannya Teungku. Bukan hanya dalam lingkup dayah namun juga sangat berperan penting dalam tatanan masyarakat Aceh. Bisa dimaknai istilah Teungku dinobatkan kepada para ulama lokal atau guru atau di kampung maupun dayah.

Sedangkan istilah Ustaz sendiri bermakna guru. Mengambil peran bukan hanya di pondok pesantren namun juga sebagai juru dakwah dalam masyarakat. Dan menurut penulis dalam dua dekade terakhir istilah atau gelar ini sudah menjadi lambang dalam bidang keagamaan di Aceh. Pada pendahuluan bab ini juga penulis menyinggung mengenai penggunaan gelar Teungku oleh oknum GAM pada saat terjadi konflik di Aceh. Gelar ini kerap di sandingkan kepada mereka mulai dari tingkat wilayah (Panglima Wilayah) atau juga kecamatan (Panglima Sagoe).


Source

Para ulama di Aceh lebih dikenal dengan sebutan teungku, abu, abi, waled, abati, dan abon. Dapat ditelaah melalui fase sejarah bahwa peran mereka sangat aktif, baik ketika datangnya Islam hingga saat memutuskan bergabung dengan NKRI. Kemudian penulis menyajikan ulasan hirarki dari gelar Teungku dalam masyarakat Aceh. Tinjauannya pun berdasarkan kapasitas ilmu dan peran yang ada dalam masyarakat.

Posisi paling tinggi adalah Teungku Chik yang memiliki dan menjalankan sistem pembelajaran di dayah. Berikutnya adalah * Teungku Bale* yang bekerja dibawah kendali * Teungku Chik. Adapun * Teungku Rangkang adalah santri senior yang bertindak sebagai asisten terhadap * Teungku Bale. Namun demikian, terdapat juga * Teungku Meunasah di kampung yang bekerja sama dengan Geuchik. (h.938).

Penulis sendiri mengenai gelar Ustaz memberikan gambaran dengan istilah embedded religous title pada pendidikan Islam di Aceh. Sebenarnya dalam ulasan mengenai ustaz ini penulis menyediakan fakta mengenai ustaz yang datang dari pulau jawa. Mengulas juga keadaan atau peran mereka dalam masyarakat yang sangat kental dengan tidak boleh adanya penyimpangan atau hanya mengikuti sunnah(Jaringan Sunnah), lebih tepatnya komunitas ini mengklaim pengikut sunna bukan mazhab.

Sehingga dalam salah satu uraiannya terdapat persoalan ketika orang dayah mulai atau hendak menguasai kembali masjid yang di kampung tersebut di dominasi oleh mereka. Hal ini berujung kepada perbedaan pendapat dan semakin memuncak (Konflik). Sebenarnya kelompok dayah hanya ingin membuka perdebatan mengenai teologi dengan komunitas tersebut. Namun mereka berdalih bahwa masjid memang untuk umum namun tidak dibenarkan jika tradisi dayah di bawa ke dalam komunitas ini. Keadaan dimana wilayah telah disusupi oleh rombongan ustaz ini menjadikan masyarakat senang atau menyerahkan anaknya untuk mendalami islam khususnya menghafal Al-Quran. Sehingga juga mengiinginkan anaknya belajar khusus di Timur Tengah atau Asia Selatan. Inilah salah satu tinjauan alasan yang diberikan penulis mengenai kenapa masyarakat senang dengan keberadaan komunitas ini dalam masyarakat tersebut.

Kendati demikian, dalam fenomena ini ternyata adanya pengajaran mengenai konsep dan makna jihad. Hal ini berujung kepada kejadian pada bulan Februari 2010, adanya penyerangan jaringan teroris di Aceh. Dan salah satu yang ditangkap adalah anggota dari Jaringan Sunnah yang terdapat di kampung tersebut.


Source

Dan penutupnya penulis menyinggung lagi permasalahan yang cukup serius dalam masyarakat Aceh, khususnya mengenai kesinambungan sistem pendidikan tradisional. Hal ini di akibatkan oleh keadaan orang tua yang lebih memilih untuk mengirim anaknya ke pondok pesantren modern ketimbang dayah. Salah satu yang mungkin menjadi pertimbangan ialah mereka bisa menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bukan hanya di Aceh namun juga ke Timur Tengah.

Dan dalam hal ini peran dayah semakin menurun dalam pengembangan pendidikan, alasanya bukan hanya keterlibatan ulama dalam politik Aceh namun juga karena tidak adanya jaminan ‘masa depan’ bagi lulusannya. Serta penegasan akhir bahwa kajian ini bukan melihat gambaran pengaruh institusi pendidikan bagi masyarakat Aceh, melainkan hanya memberikan gambaran terhadap pengaruh guru. Postingan ini merupakan akhir dari rendetan post Bookreview Acehnologi. Sebagai bab penutup dari buku Acehnologi Vol 3 yang sebelumnya juga Vol 2 juga telah usai saya review. Terimakasih.