Dunia pembukuan di Aceh memang tidak begitu marak, jika di bandingkan dengan pulau jawa. Namun gairah intelektual dan tulis menulis orang Aceh tidak dapat di kesampingkan, satu hal yang menarik adalah menulis sesuatu untuk Aceh dan negara indonesia. Terhadap Aceh, mereka cenderung menulis tentang “kegemilangan” dan “kejayaan” bangsa Aceh di dalam lintas sejarah karena itu hampir semua buku-buku tentang ke-aceh-an memang tidak pernah menjadi kurikulum di dalam sistem pendidika Indonesia.
Faktor karya dan intelektual di Aceh ama sekali telah hidup di dalam tradisi keilmuan, Aceh merupakan lumbung intelektual di nusantara. Paling tidak, jika dilihat dari prespekif perbukuan, Aceh telah memberikan satu konstribusi yang amat penting walaupun buku-buku tersebut lebih banyak di tulis dalam bahasa melayu. Karya-karya di Aceh selalu menjadi rujukan atau acuan utama bagi kompas keagamaan ummat Islam di nusantara.
Di Aceh karya-karya tetang respon terhadap suatu peristiwa amat lazim di lakukan oleh sarjana lokal. Misalnya, respon masyarakat Aceh setelah bergabung dengan Republik Indonesia, yang memunculkan ada penulis yang mencoba menghubungkan keterkaitan sejarah antara Indonesia dengan Aceh. Ada juga penuis yang ingin mengatakan bahwa Aceh ukanlah bagian dari Indonesia, di samping itu terdapat uga penulis yang ingin membesarkan sejarah Aceh di bandingkan dengan sejarah Indonesia.
Ketika Aceh konflik dengan pemerintah Indonesia karya-karya yang membangkitkan semangat rakyat Aceh dan duka nestapa selama pemberlakuan operasi militer di Aceh tidak begiu di sukai oleh pemerintah Indonesia. Sehingga, jka ada buku-buku yang menyinggunghal tersebut, oleh tentara akan di ambil paksa. Demikian pula, penulis di anjurkan untuk tidak menulis yang akan membangkitkan sentimen anti-pemerintahan. Akibatnya, karya model ini banyak di banyak oleh kalangan aktivis, guna membangkitkan kesadaran akan duka nestap dan kemegahan sejarah Aceh sebelum bergabung dengan republik indonesia.
Hal yang paling lazim di dalam tradisi perbukuan Aceh adalah persoalan peperangan. Hal ini di sebabkan karena pasca kedatangan Belanda dan bergabung dengan Indonesisa, persoalan Aceh selalau menceritakan beberapa penggal peperangan bagi para pembaca. Tujuannya adalah ingin memberikan penyadaran bahwa Aceh selalu berkecimpung dengan perang dan ingin membuktikan bahwa Aceh bukan bagian dari sejarah bagsa Indonesia. Inilah kemudian yang memunculkan persoalanmengapa peulis Aceh cenderung tidak memasukkan sejarah perang koonial sebagaisejarah perjuangan bangsa Indonesia, melainkan sejarah pertahanan rakyat dari kencaman penjajah.
Demikian pula sejarah perang pasca bergabung dengan Indonesia cenderung sebagai sejarah perlawanan untuk membuktikan bahwa Aceh bukan bagian dari negara Indonesia. Dapat di pastikan bahwa isu peperangan di dalam kepenulisan Aceh sangat dominan. Sehingga membaca Aceh sama dengan membaca sejarah perang yang tidak pernah henti.
Salah satu yang mulai dikesampingkan dalam tradisi kepenulisan mengenai Aceh adalah bukti-bukti kekuatan diplomasi orang Aceh. Juka dikaitkan dengan kerajaan dan peperangan , kemampuan orang Aceh di dalam melakukan hubungan dplomatik bai di kawasan semenanjung Tanah melayu maupun dengan beberpa negara besar lainnya. Karena itu, perassaan pernah berhubungan dengan negara-negara besar menyebabkan muncul pandangan Aceh dulu memang sebagai negara yang cukup di segani di dalam lintasan sejarah, dari hubungan perdagangan orang Aceh di pandang telah berhasil menguasai jalur selat melaka dan juga beberapa aktivitas perdagangan di pulau pinang.