Sejauh ini kajian pemikiran di Aceh memang telah banyak dilakukan, khususnya oleh para sarjana yang menekuni aspek-aspek kehidupan masyarakat Aceh, produk pemikiran yang paling otentik adalah hadih maja yang merupakan nasihat para tetua Aceh. Konsep hadih maja memang di akui sebagai sebuah produk pemikiran orang Aceh, namun dalam kajian ini dilihat bagaimana proses berfikir yang terjadi di kalangan orang Aceh. Istilah ini sendiri merujuk dari bahsa arab yaitu f-k-r. Dalam bahasa melayu dan indonesia istilah yang di gunakan adalah kata pikir atau berfikir.
Kontruksi berfikir masyarakat Aceh mengikuti wilayah dan status sosial. Artinya, orang Aceh menciptakan wilayah dan status sosial untuk saling berkonflik atau mencari aliansi sebanyak mungkin. Caa berfikir ini tentu saja bukan cara yang sangat dominan, karena kalau untuk mempersatukan masyarakat Aceh sering digunakan ritual keagamaan dan sosial kebudayaan.
Ada tiga fondasi dasar yaitu alam,agama, dan jiwa. Maksudnya, setiap pola pikir untuk menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat mulai dari kawom hingga naggroe dimulai dari bersikap kepada alam , agama, jiwa. Falsafah alam ini menjadi semacam titik kendali tingkah laku, untuk menciptakan pemahaman, sesuatu yang melawan alam, sering di gunakan dengan istilah hana roh.
Han aroh adalah pemahaman yang muncul, jika dilakukan akan melawan alam. Jadi seesuatu dilakukan karena mengikut keinginan alam. Istilah roh jika boleh bisa diartikan ruh atau spirit yang merupakan sebuah kekuatan yang tidak tampak secara kasat mata karena konsep puga naggroe adalah bagian dari menyelaraskan spirit antara manusia (mikro kosmos) dengan alam (makro kosmos) maka spirit itu menjadi suatu yang penting. Karena bagi orang Aceh terdapat pola pikir setap tempat itu adalah yang mendudukinya atau yang mendiaminya.
Aspek kedua adalah pola pikir yang di dasarkan pada jiwa. Ini biasanya melahirkan konsep hana get (tidak baik) atau hana jroh. Pola pikir ini mengandaikan bahwa sesuatu perbuatan dilakukanberdasarkan pada ilmu-ilmu para pijaksanawan atau wise men. Mereka yang melahirkan sebuah tatanan pikiran yang kemudian di tububkan dalam bentuk hadih maja.
Dalam halaman 851 dikatakan ada beberapa hal yang harus di garis bawahi dalam masyarakat Aceh relasi sosial sangat di tentukan dengan status sosial seseorang. Relasi ini kemudian menciptakan kerangka berfikir untuk melihat diri dan orang lain dari perspektif perkauman. Dalam hal ini, persoalan keluarga dan agama menjadi hal pentig bagi massyarakt dalam mengukur tingkat status seseorang dalam masyarakat. Kedua falsafah pemikiran masyarakat Aceh di mulai dari kampung-keluarga, artinya kampung di ibaratkan sebagai sebuah kelurga. Ketiga, flasafah berfikir orang Aceh sebenarnya ingin menyelaraskan hubungan manusia dengan alam semesta.
Dari ketiga di atas melahirkan aturan-aturan yang berupa adat atau reusam. Dimana pada zaman kerajaan dijadika sebagai sebuah undang-undang manusia. Lalu di atasnya berisi peraturan yang berasal dari agama, disinilah alasan mengapa agama dan adat di Aceh tidak bertolak belakang.
Konsep yang terakhir dari konsep berfikir orang Aceh adalah timang atau selaras. Konsep ini dapat dikatakan menjadi kompas dalam kehidupan masyarakat Aceh. Jika sudah timang maka dia akan mejadi tegak lurus sering dikatakan dengan istilah sulu, artinya timang itu di lihat dari aspek kosmos yang terpancar dari cara befikir masyarakat mengenai alam, jiwa, dan ketuhanan. Jika semua sudah selaras dapat dikatakan kehidupan masyarakat Aceh sudah lurusatau dikatakan dengan istilah salam atau dar al-salam