ndang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang tata cara pelaksanaan perkawinan, yang diatur hanyalah sahnya perkawinan mereka yang dilaksanakan mereka berdasarkan agama dan kepercayannya, yakni sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, lebih lanjut perkawinan tersebut harus dicatatkan ke Kantor Pencatat Perkawinan (Pasal 2 ayat (2) Jo. Pasal 2 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975).
Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaaannya itu, maka dapat disimpulkan proses atau tata cara perkawinan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing ketentuan agama calon mempelai. Sebagaimana dikemukakan di atas, UU Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tidak secara tegas mengatur tentang prosedur atau tata cara perkawinan, namun demikian apabila menyimak Pasal 20 UU Perkawinan dapat mengisyaratkan bahwa bagi mereka yang hendak melakukan perkawinan seyogyanya dilakukan dalam satu tempat (satu majelis) yang sama, sehingga akan dapat diawasi, dihadiri dan diketahui secara langsung oleh petugas pencatat perkawinan. Hal ini berkaitan dengan akan diikutinya penandatangan Akta Nikah oleh ke dua belah pihak (mempelai) sebagai kelengkapan administrasi.
Dalam perkembangannya terkadang pelaksanaan perkawinan tidak sebagaimana ditempuh dengan prosedur seperti di atas, yakni dalam mengucapkan ijab kabulnya tidak dilakukan dalam satu tempat (satu majelis). Setelah dilakukan penelitian, ternyata ketentuan agama pun tidak mengatur secara tegas tentang tata cara atau prosedur perkawinan harus dilakukan dalam satu majelis. Hal yang demikian itu dapat dibuktikan dengan adanya istilah perkawinan taukil yang dapat diartikan adalah suatu perkawinan yang pelaksanaannya tidak dihadiri oleh salah satu calon mempelai, akan tetapi ketidakhadiran calon mempelai tersebut diwakilkan dengan sebuah surat kuasa yang diberikan kepada seseorang wakil yang dapat dipercaya untuk membacakan surat kuasa tersebut.
Dalam hal ini yang terpenting adalah bagi mereka yang hendak melaksanakan perkawinan haruslah memenuhi syarat dan rukun perkawinan sebagaimana dikemukakan dalam Kompilasi Hukum Islam yakni adanya wali nikah bagi mempelai wanita dan adanya saksi, serta dilakukan atau mengucapkan ijab qabul (akad nikah), meskipun ijab qabulnya dibacakan oleh wakil yang diberi kuasa untuk itu. Perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan tersebut, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah.
Setelah dilakukan penelitian bahwa prosedur atau tata cara yang selama ini dilakukan oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan sebenarnya hanya berdasarkan kebiasaan yang berkembang di Indonesia. Kebiasaan atau lazimnya perkawinan dilakukan dalam satu majelis, artinya mempelai wanita, wali, saksi, pegawai pencatat perkawinan dan mempelai pria berada dalam satu tempat untuk melangsungkan dan atau mengucapkan ijab qabul (akad nikah) sebagai penentu sahnya perkawinan yang dilakukan secara berkesinambungan, dan biasanya setelah akad nikah tersebut selesai pengantin pria diminta untuk mengucapkan janji atau yang disebut dengan istilah sighat taklik talak dengan disaksikan oleh semua yang hadir dalam acara akad nikah tersebut.
Prosedur atau tata cara yang demikian tersebut dimaksudkan tidak lain untuk mempermudah dan atau melancarkan administrasi, sehingga tidak ada hambatan kepastian terhadap keabsahan perkawinan mereka, baik berdasarkan agama maupun berdasarkan hukum positif. Apabila hal tersebut dikaitkan dengan Pasal 10 ayat (3) PP No.9 tahun 1975 yang menyebutkan bahwa perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat nikah dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka dapat disimpulkan meskipun menurut kelaziman sebagaimana dikemukakan di atas, namun dalam perkembangannya hal tersebut dapat dilakukan sebaliknya. Artinya tata cara perkawinan dapat dilakukan tidak dalam satu majelis dan hal demikian itu dapat dibenarkan, yang terpenting rukun dan syarat perkawinan tersebut dipenuhi serta perkawinan tersebut tidak terhalang sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Seiring dengan perkembangan teknologi dewasa ini, juga mempengaruhi perkembangan dan perubahan sistem hukum, yang semula kaku menjadi lebih luwes. Mengingat bahwa hukum bertujuan untuk melindungi kepentingan manusia, oleh karena itu perlu pula memperhatikan perkembangan masyarakat dan perkembangan teknologi, agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Mahkamah Agung berpendapat dalam hal perkawinan, bahwa tidaklah dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum maka kenyataan dan kebutuhan sosial tersebut di atas dibiarkan tidak terpecahkan secara hukum, karena membiarkan masalah tersebut berlarut-larut pasti akan menimbulkan dampak- dampak negatif di segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama maka Mahkamah Agung berpendapat haruslah dapat ditemukan dan ditentukan hukumn dan prosedur perkawinan melalui teleconference. Maka dari itu perkawinan yang dilakukan dengan prosedur atau tata cara tidak satu majelis dikatakan tetap sah.
Prosedur perkawinan melalui teleconfrence, harus tetap memenuhi syarat dan rukunnya perkawinan, hanya saja tidak dilakukan dalam satu tempat. Apabila hal itu terjadi, maka pertama-tama yang dilakukan adalah di satu pihak (pihak wanitanya misalnya), maka yang harus dipersiapkan adalah wali, saksi dan pegawai pencatat perkawinan yang bertugas mencatat perkawinan melalui teleconfrence tersebut. Kemudian dipihak pria yang harus dipersiapkan adalah saksi, guna menyaksikan bahwa benar yang akan mengucapkan akad nikah itu adalah calon suami (bukan orang lain). Kemudian dari mempelai wanita harus meyakini dan mempercayai benar yang akan mengucapkan akad nikah tersebut adalah mempelai pria.
Dalam pelaksanaan akad nikah yang dilakukan melalui teleconfrence, meskipun tempatnya terpisah, namun dalam mengucapkan akad nikah tetap dilaksanakan berkesinambungan (muwalat) ucapan antara wali (mempelai wanita) dengan mempelai pria. Lebih rinci dapat dikemukakan bahwa, untuk memastikan kebenaran gambar dan suara dari calon mempelai yang berada di tempat lain (perkawinan melalui teleconference), sehingga tidak terjadi keraguan keabsahan perkawinan yang tidak dilaksanakan dalam satu majelis, maka dalam hal ini diperlukan beberapa hal sebagai berikut :
- Kedua belah pihak sudah saling mengenal sebelumnya dengan baik, guna memastikan kebenaran suara dan gambar.
- Diadakan pengujian, pengujian ini dimaksudkan untuk menguji apakah suara atau gambar yang ada di layar monitor teleconference merupakan sebuah rekaman atau langsung. pengujian ini bisa dilakukan dengan cara melakukan percakapan berupa dialog dari kedua pihak yang berjauhan. Apabila terjadi dialog yang tidak saling bersambung maka patut untuk dicurigai kebenaran/keaslian bahwa suara ataupun gambarnya tidak langsung, atau ada orang yang mengaku sebagai pasangan dari mempelai.
- Peranan saksi, dalam suatu perkawinan selain sebagai seorang yang menyiarkan telah terjadinya suatu perkawinan, seorang saksi juga sangat berperan dalam membuktikan atau sebagai alat bukti jika terjadi pengingkaran terhadap perkawinan yang dilangsungkan. Oleh karena saksi menjadi penting dalam suatu perkawinan,nterutama bagi perkawinan yang dilangsungkan secara jarak jauh melalui fasilitas teleconference. Maka untuk itu pulalah persyaratan menjadi seorang saksi menjadi bertambah. Selain saksi harus seiman, laki-laki, adil, dewasa, tidak terganggu ingatan dan tuna rungu (tuli) ataupun buta, tetapi saksi juga harus seorang yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya. Sehingga saksi benar-benar mampu untuk mempertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahan perkawinan yang dilakukan melalui media teleconference (jarak jauh).
Perkawinan melalui teleconference adalah sah secara hukum, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dengan pertimbangan bahwa:
Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Pasal 6-12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terpenuhi, diantaranya:
Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai;
Adanya izin dari kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun;
Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai usia 16 tahun;
Antara calon mempelai dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin;
Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain;
Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.
Rukun dan syarat perkawinan dalam Pasal 14 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam terpenuhi, diantaranya:
Adanya calon suami;
Adanya calon isteri;
Adanya wali nikah;
Adanya dua orang saksi;
Ijab dan Kabul.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah diatur mengenai tata cara perkawinan, yaitu di dalam Pasal 10 yang berbunyi :
(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.
(2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Selain dalam pasal 10, juga diatur dalam Pasal 11 yang berbunyi :
(1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan- ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Oleh karena perkawinan melalui teleconfrence telah dicatat oleh pegawai pencatat nikah (PPN) pada waktu pelaksanaan ijab qabul atau akad nikah, namun hanya dalam hal penandatanganan Akta Nikah yang belum dilaksanakan secara sempurna. Hal iini akan dapat dilakukan penandatanganan oleh mempelai pria setelah pelaksanaan akad nikah tersebut dengan mendatangi Kantor Urusan Agama yang mencatat pelaksanaan pernikahannya, agar dapat dijadikan bukti yang sah menurut hukum positif, meskipun Akta Nikah tersebut hanya sebagai bukti administratif.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut tinjauan Undang-undang perkawinan, akad nikah via teleconference adalah sah karena telah memenuhi ketentuan syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam undang-undang, namun belum memiliki kekuatan hukum karena akta nikah belum ditanda tangani oleh kedua mempelai dan secara administrasi pasangan suami istri tersebut juga tidak bisa langsung mendapatkan kutipan akta nikah (buku nikah).
Thanks for using Esteem!
Your post has been voted as a part of Esteem encouragement program. Keep up the good work!
Dear readers, follow and support this author, Install Android: https://android.esteem.app, iOS: https://ios.esteem.app mobile app or desktop app for Windows, Mac, Linux: https://desktop.esteem.app
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.me/esteem
Congratulations, your post has been upvoted by @dsc-r2cornell, which is the curating account for @R2cornell's Discord Community.