The Story of GAM's Political Criminals in the Haunted Room of the Malaysian Prison.Kisah Penjahat Politik GAM di Bilik Berhantu Penjara Malaysia...😈

in #indonesia7 years ago

images (6).jpeg
“Saya tidak tahu, mengapa saya masih hidup lagi hari itu?” tulis Yusra Habib Abdul Gani di halaman facebooknya mengenang perisriwa 19 tahun silam, 1998.
"I do not know why I was alive again that.
day?" Yusra Habib Abdul Gani wrote on.
his facebook page in memory of the 19.
years ago, 1998.
Yusra Habib Abdul Gani adalah seorang anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang pada masa konflik diburu dan akhirnya ditangkap karena aktivitas perlawanan politiknya kepada Indonesia.
Yusra Habib Abdul Gani was a member.
of the Free Aceh Movement (Gerakan.
Aceh Merdeka, GAM) during the conflict.
period and was arrested for hispolitical.
resistance activities to Indonesia.
Pada masa konflik, GAM dikatagori sebagai gerakan sparatis dan pengacau keamanan, dan anggotanya ada yang disebut sebagai penjahat politik.
During the conflict period GAM was.
categorized as a separatist movement.
and a security vandal, and its members.
were called political criminals.
Berikut kisahnya, salah satu ketika ia berada di bilik penjara No. 19, sebuah bilik penjara seram dengan kisah bunuh diri para penghuni terdahulu.Bagaimana ia bisa melewatinya? Yuk ikuti!
Here's his story, one when he was in.
the. noon booth. 19, a spooky prison.
with a suicide story of the previous.
inhabitants. How did he get through it?
Follow me!Screenshot_20180309_225839.png
Pada 27 April 1998 (jam 00.00), saya ditransfer oleh Intel negeri Johor kepada Intel Bukti Aman (Pemerintah pusat) di Kantor Polisi Sentul, Malaysia yang diterima oleh dua orang Intel. Setelah beberapa menit berbincang dalam keadaan tangan saya diborgol, salah seorang Intel yang saya kenal baik bertanya: ’kenapa begini jadinya, Yusra’. ’Ya, beginilah jadinya’. Jawab saya singkat.
On April 27, 1998 (at 00:00), I was.
transferred by Intel's Johor state to Intel.
Safe Proof (Central Government) at Sentul
Police Station, Malaysia received by two
Intel people. After a few minutes of
conversation in my handcuffed hands,
one of the Intel I know well asked me: '
why this is so, Yusra'. 'Yes, this is it'. My.
answer is brief.
Lantas, saya dipersilakan memasang kacamata hitam dan dijebloskan kedalam bilik berukuran ½ m. Dalam kenderaan khusus yang gelap. Tidak lama kemudian tiba di sebuah gedung, diperintah memakai pakaian seragam tahanan dan dalam keadaan mata diikat dengan kain hutam, saya dipapah naik ke lantai 4.
Then, I am welcome to install sunglasses and thrown into the cubicle sized ½ m. In a dark special vehicle. Shortly thereafter arrived in a building, ordered to wear a prison uniform and in a state of eyes tied with a hutam cloth, I was carried up to the 4th floor.

       Malam itu, saya menjadi tamu agung yang sudahpun ditunggu oleh 5 orang penyidik. Selama 4 hari 4 malam diperiksa tanpa tidur, kecuali makan dan shalat. Pada kelima, saya jatuh pingsan mulai dari (jam 8.00 pagi dan baru sadar pada jam 17.00 petang). Saya tidak tahu, mengapa saya masih hidup lagi hari itu?
            That night, I became a great guest who was awaited by 5 investigators. During 4 days 4 nights checked without sleep, except meals and prayers. On the fifth, I fell unconscious from (at 8:00 am and realized at 17:00 pm). I do not know why I was alive again that day?
        Mulai hari ke-enam, saya dijeblos kedalam bilik No. 19 pada (jam 00.00 -8.00 pagi) untuk tidur berbantal piring plastik. Bilik ini seram, sebab penghuni terdahulu semua mati bunuh diri di sini mengikut pengakuan penyidik.
      Starting the sixth day, I was thrown into the booth no. 19 at (from 00:00 to 8:00 am) to sleep cushioned plastic plates. This chamber is horrible, because the previous inhabitants all committed suicide here following the investigator's admission.

             Selama 15 hari dalam bilik berhantu ini, selalu bermimpi buruk, terkadang leher saya dicekik, mungkin arwah orang bunuh diri itu masih gentayangan. Setelah saya mengadu pengalaman saya dalm bilik ini, kemudian dipindahkan ke bilik No. 17.
           Starting the sixth day, I was thrown into the booth no. 19 at (from 00:00 to 8:00 am) to sleep cushioned plastic plates. This chamber is horrible, because the previous inhabitants all committed suicide here following the investigator's admission.

              Setelah 2 minggu meringkuk disini, datang seorang psykholog dan mengesahkan bahwa saya dalam keadaan tidak normal. Namun saya pasrah kepada Allah, sebab perjuangan ini pilihan saya. Selama 50 hari dalam proses penyidikan, berkas kasus saya setebal 1.896 lembar, mengalahkan kasus Ustaz Ansyari (pemimpin Darul Arqam) hanya setebal 1.500-an mengikut keterangan penyidik.
            After 2 weeks huddled here, came a psychologist and confirmed that I was in an abnormal state. But I surrender to Allah, for this struggle is my choice. During the 50 days of the investigation, my case file was 1,896 pages thick, defeating the case of Ustaz Ansyari (leader of Darul Arqam) only as thick as 1,500s following investigators' statements.

              Seluruh gerak saya dikawal, mulai dari shalat, mandi, buang hajat, termasuk dalam cell sekalipun. Setelah selesai penyidikan, saya diberi kemudahan untuk membaca al-Qur’an dalam cell diwaktu malam, sehingga khatam Qur’an 2x dan kali ketiga hanya sampai surah Al-Hadid, sebab masa saya sadah tamat.
          All my movements are escorted, ranging from praying, bathing, defecation, including in the cell though. After completion of the investigation, I was given the ease to read the Qur'an in the cell at night, so that the Qur'an 2x and the third time only until the Surah Al-Hadid, because my time was finished.

            Menjelang 50 hari mau berakhir, para penyidik coba membalut luka hati saya dan menghibur dengan mengajak main catur dan membawa makanan, seperti pisang dan mangga.
              By the end of 50 days, investigators try to bandage my heart and cheer me up by playing chess and bringing food, like bananas and mangoes.

               Dari penjara Bukit Aman saya dipindah ke penjara di Jln. Ipoh yang menampung para pengguna sabu-sabu. Rata-rata mereka menunggu dihukum gantung, saya disatukan dengan kelompok ini. Dinding cell saya penuh percikan darah orang bunuh diri dan pesan mesan mereka sebelum mati.
              From Bukit Aman I was moved to prison on Jln. Ipoh that accommodates the shabu-shabu users. On average they wait for hanging, I am united with this group. My cell walls are full of blood splashes of suicides and their meshes before they die.

                 Di sini saya meringkuk selam 5 hari. Ada dua tetangga dekat saya –seorang keturunan China dan seorang lagi India– yang menunggu hukuman mati dan sambil menunggu ajalnya, keturunan India ini sering menghadiahkan lagu India kepada saya dari celah-celah jendela berukuran 10cm/segi. Kami berkomunikasi lewat jendela itu yang agaknya cell kami terlalu sempit untuk menghembus nafas terakhir. Disini aku mau belajar kematian yang terhormat dan menunggu kematian itu!

Here I am curled up for 5 days. There were two of my near neighbors-a Chinese and another Indian-awaiting the death penalty and awaiting death, this Indian descendant often gave me Indian songs from the 10cm / square window crevices. We communicate through that window that our cell seems too narrow to breathe the last breath. Here I want to learn the honorable death and wait for the death!

       Saya mendengar sayup-sayup suara azan dan saya shalat dalam keadaan telanjang, kecuali celana dalam. Tiba-tiba, pada pagi itu, pintu cell saya digedor oleh dua polisi muda berseragam dan perintahkan saya supaya bergegas memakai pakaian seragam yang sudah disediakan dan pakai kacamata hitam.
             I heard the faint sound of Azan and I prayed naked except the underpants. Suddenly, that morning, my cell door was pounded by two uniformed young policemen and told me to hurry up in my uniform and wear sunglasses.

            Saya digiring keluar dan menaiki sebuah Mobil L-300 meluncur ke Kantor polisi Sentul di kawasan Chow Kit. Disini saya, sudah ditunggu oleh dua intel Bukit Aman yang saya kenal baik. ’Dikemanakan saya, Tuan’ Tanya saya. ”Inilah, kita mahu bantu Yusra. Perdana Menteri Malaysia bersama UNHCR sudah sepakat bahwa, saudara mesti tinggalkan Malaysia menuju negara ketiga pada 29 Juni 1998.” Pada jam 9.00 pagi, mereka transfer saya ke Kantor Imigrasi Damansara. Ketua Imigrasi terkejut, karena tidak diberitahu sebelumnya.
                I was escorted out and boarded an L-300 Car to the Sentul Police Station in Chow Kit area. Here I am, already awaited by two intel Bukit Aman that I know well. 'It's my mess, sir' I asked. "Here, we want to help Yusra. The Prime Minister of Malaysia together with UNHCR has agreed that you should leave Malaysia to the third country on 29 June 1998. "At 9:00 am they transferred me to the Damansara Immigration Office. The Immigration Chief was surprised, not being told.

              Saya dijebloskan lagi kedalam cell tahanan yang menampung ratusan pendatang haram dari pelbagai negara menunggu dideportasi. Disini saya menemukan dan merasakan betapa hangatnya ikatan persaudaraan di antara yang sedang menderita. Kami mengisap sebatang rokok Malborg di ruang toilet secara bergantian seramai 10 orang dari pelbagai negara, kami tertawa dan nyanyi bersama.
                 I was thrown into a prison cell that held hundreds of illegals from various countries waiting to be deported. Here I find and feel how warm the bonds of brotherhood are among those who are suffering. We smoked a Malborg cigarette in the toilet room alternately as many as 10 people from different countries, we laughed and sang together.

                Atas pertimbangan keselamatan, saya dipindah ke Kantor Polisi Damansara (26-29 Juni 1998) sambil menunggu tarikh penerbangan Kuala Lumpur > Copenhagen. Disini, lain pula kisahnya. Cell jeruji besi yang saya tempati hanya muat untuk satu orang, namun setelah 3 hari saya tempati, dijejal dengan pendatang haram asal Flores (Indonesia) seramai 6 orang.
                   On safety considerations, I was transferred to Damansara Police Station (26-29 June 1998) while waiting for Kuala Lumpur flight schedules> Copenhagen. Here, another story. Cell iron bars that I occupy only fit for one person, but after 3 days I occupy, crammed with illegal immigrants from Flores (Indonesia) seramai 6 people.

                  Dapat dibayangkan bagaimana hidup dalam cell jeruji besi untuk seorang menjadi 7 orang? Kami semua dalam keadaan telanjang (hanya pakai celana panjang), shalat juga dalam keadaan telanjang. Menariknya ialah, ada seorang tahanan yang cell nya berhadapan dengan cell saya. Dia selalu memandang saya dengan wajah penuh tanya, seakan-akan tak percaya mengapa saya berada bersama mereka? Dari kejauhan dia tanya: ”Apa hal Encik masuk kat sini”? Saya tidak menjawab.
                    Can you imagine how to live in a cell of iron bars for a person to be 7 people? We are all naked (wearing only pants), salat is also naked. Interestingly, there is a prisoner whose cell is dealing with my cell. He always looked at me with a questioning face, as if he could not believe why I was with them? From a distance he asked: "What is the matter of Encik enter here"? I did not answer.

                Namun, dia penjahat yang dipercaya oleh Polisi untuk membeli dan membagi nasi bungkus dalam cell merasa iba kepada saya. Selama 3 hari dia membeli 2 bungkus nasi untuk saya dengan menu yang istimewa, yang lain satu bungkus. Saya tanya, ”kenapa 2 bungkus?”. ”Usah tanya…, makanlah”. Katanya.
                  However, he is a criminal trusted by the Police to buy and divide rice wrapped in a cell feeling sorry for me. For 3 days he bought 2 packs of rice for me with a special menu, another one pack. I asked, "why 2 packs?". "Need to ask ..., eat". He said.

                 Ya Allah, si penjahat ini baik betul hatinya kepada saya. Lindungi dia ya Allah! Bahkan ketika saya dijemput oleh Intel Bukit Aman pada 29 Juni 1998, dia merasa sedih dan berlinang air mata. Dari Damansara, saya dikawal oleh 4 mobil, 2 di depan dan 2 di belakang. Setibanya di Airport Internasional Subang, dua pegawai UNHCR Kuala Lumpur serahkan pasport Denmark dan Intel Malaysia mengantar sampai ke tangga pesawat: ”Selamat jalan, Encik Yusra” Kata mereka.
                  Oh God, this villain is really good to me. Protect him O God! Even when I was picked up by Intel Bukit Aman on June 29, 1998, he felt sad and teary. From Damansara, I was escorted by 4 cars, 2 in front and 2 in back. Arriving at Subang International Airport, two Kuala Lumpur UNHCR employees handed over Danish passports and Intel Malaysia ushered us to the stairs: "Goodbye, Encik Yusra" They said.

                 Sebelum masuk pesawat, pegawai UNHCR Kuala Lumpur memberi arahan supaya saat turun pesawat di Bangkok – Thailand, perlihatkan sebuah tas plastik yang diberikan kepada saya bersimbol ”Amnesty International”. Benar, begitu turun dari pesawat, sudah ada seorang pegawai UNHCR di Bangkok menyapa: ”Are you Mr. Yusra Habib?”. ”Yes” jawab saya. Dia langsung merangkul saya.
                   Before boarding the plane, Kuala Lumpur UNHCR staff gave directions so as to get off the plane in Bangkok - Thailand, show me a plastic bag given to me symbolizing "Amnesty International". True, as soon as it got off the plane, there was an UNHCR employee in Bangkok saying "Are you Mr. Yusra Habib? ". "Yes" I replied. He immediately embraced me.

                  Hal yang sama, pegawai UNHCR tadi, arahkan supaya saya memperlihatkan tas plastik bersimbol ”Amnesty International” sewaktu turun dari pesawat di Copenhagen Airport, Denmark. Saya disambut oleh 3 pegawai pemerintah Denmark yang mengurus pelarian politik. Salah seorang menyapa: ”Are you Mr. Yusra Habib?”. ”Yes”, jawab saya.
             The same thing, the UNHCR employee, directed me to show me a plastic bag symbolized "Amnesty International" when I got off the plane at Copenhagen Airport, Denmark. I was greeted by 3 Danish government employees who took care of the political escape. One greeted: "Are you Mr. Yusra Habib? ". "Yes", I replied.

               Saya bersama keluarga dihantar ke suatu Villa yang lokasinya terisolasi, maksudnya supaya tidak membuat hubungan sementara waktu dengan orang lain –isterahat– Sejak itulah, buat pertama sekali menginjak kaki di bumi Denmark sampai sekarang. Maha besar dan kuasa Allah untuk menentukan nasib masa depan hamba-Nya!
                 My family was driven to a villa in an isolated location, meaning not to make a temporary relation with others-sincerely- Since then, make my first step on Danish soil today. The great and the power of God to determine the destiny of His servant's future!

 Sekian dan terima kasih karena telang meluangkan waktu untuk membaca .....
  umpteen and thanks for taking the time to read ......😊😊
Sort:  

Terharu bacanya... semoga selalu sehat! Amin.

Thank kakak

Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://www.lintasnasional.com/2017/04/12/momen-mengerikan-penjahat-politik-gam-penjara-malaysia/

Kajak lhuk