Seperti biasa, biasanya sore hari setelah pekerjaan selesai atau diselesaikan saja, kitapun menikmati kopi. Sebenarnya suasana malas di warung kopi itu yang membuat lelah seharian kerja jadi mereda. Duduk bercengkrama, atau sekedar main hape, sesekali saja main PUBG.
Namun sore ini teringat akan sebuah hal yang menggelitik mengenai kopi. Ada yang mengatakan bahwa kopi memiliki filosofi dan ini marak dikampanyekan dalam beberapa tahun terakhir. Seorang teman juga sering berbicara tentang filosofi kopi. Awalnya saya hanya mendengar saja dia berkoceh-koceh. Dari filosofi pohon kopi, buah kopi, roasting kopi (kalau tak salah begitu tulisan roasting, saya malas nge-cek di google), hingga saat menyedu, ditambah lagi dengan rasa kopi saat di tenggak.
Seindah apapun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti apabila tak ada spasi?
Kalau tak salah filosofi kopi ini banyak diperbincangkan karena salah satu film ditahun 2015 yang berjudul "filosofi kopi". Film ini diadaptasi dari buku cerita pendek milik Dee Lestari kalau tak salah begitu. Film filosofi kopi sangat populer ditahun tersebut, namun kepopuleran film filosofi kopi tak membuat saya tertarik untuk menontonnya apalagi disuruh baca bukunya, aiihhh saya sangat malas membaca. Saya lebih tertarik dengan film Thanos (Avenger) bagaimana tidak seorang Thanos dapat memusnahkan setengah perdaban manusia hanya dengan jentikan jari.
Kembali ke si kopi, akibat film filosofi kopi itu, banyak anak-anak muda mendadam menjadi filsuf selayak Rocky Gerung. Tapi filosofi kopi hari demi hari kian bergeser, justru malah proses pembuatan biji kopi hingga jadi minuman itu yang di "filosofi sofikan" seperti saya sebutkan diawal tulisan. Sebenarnya film filosofi kopi tersebut tidak berfilosofi pada proses pembuatan kopi, namun menyelipkan kata-kata bijak di dalam filmnya dan hampir-hampir tidak ada hubungannya dengan proses pembuatan kopi.
Dan kopi tidak pernah memilih siapa yang layak untuk menikmatinya, karena di hadapan kopi, kita semua sama.
Seperti itu kira-kira salah satu kata-kata bijak dari film filosofi kopi. Mereka menyebutnya kata-kata bijak berfilosofi, tidak demikian saya anggap. Ini hanya kalimat konyol yang dipaksakan, karena jelas kopi atau biji kopi hanyalah sebuah biji yang tidak mungkin memilih. Dan siapapun akan memilih kopi mana yang mau dinikmati, apakah anda mau menikmati kopi starbuck yang segelas paling murahnya Rp. 50.000 atau hanya kopi di warung kopi dengan harga Rp.6.000 saja. Jelas kita berbeda dan harus pilih-pilih kopi sesuai dengan kemampuan uang jajan kita.
kita semua berbeda dihadapan kopi sesuai isi uang jajan masing-masing, kita hanya sama disaat dalam toilet, semahal apapun kopi yang anda minum tentu berakhir di toilet, dan menjadikan kopi itu menjadi karya seni yang tak ternilai, yaitu air seni.
Kopi juga tidak selalu bisa dinikmati setiap orangorang, banyak juga yang tidak menyukai kopi, dengan alasan tertentu. Dan memang kopi ya hanya sebuah kopi biji yang diolah hingga bisa disedu dan diminum.
Sebenarnya kita sadar betul itu hanyalah sebuah jurus marketing, yang menjadikannya mahal karena biaya produksi kopi dan merknya. Seperti kopi luwak yang prosesnya agak gimana gitu, lama prosesnya karena si luwaknya susah dipelihara dan susah boker. Merk juga berperan penting sebagaimana kopi yahudi (starbuck) yang telah menjadi waralaba internasional.
Kopi tak butuh filosofi, ntah hapa ntahyang,... minum dan nikmati saja, kalau sorr tambah segelas lagi, dan jangan lupa bayar jangan main pigi-pigi saja. Begitulah kopi, jangan meribet-ribetkan hidup karena hidup sudah ribet
Buruj ck
Amico kopi dingin 08/06/2020