foto di bawah ini tidak ada hubungannya dengan teks
mie lamlo
Judul di atas terinspirasi dari esai Mohamad Sobary “Saleh dan Malu”. Mengingat isi esai itulah aku teringat kisah yang kutulis ini. Betapa terkadang saleh itu belum tentu milik mereka-mereka yang mengenakan kopiah di kepala. Tentu saja ini pendapatku.
Ketahuilah, di daerah kami, sebuah untuk orang yang ahli agama disebut teungku. Sapaan ini naik-turun nilainya. Di satu tempat, sapaan teungku merujuk ke semua orang laki-laki, baik taat beragama atau tidak. Di tempat yang lain, sapaan teungku dikhususkan kepada orang-orang yang pernah mendalami ilmu agama di dayah atau di pesantren. Oleh karena itu, nilai dari sapaan tersebut tidak tentu. Tergantung daerahnya.
Di tempat saya di Meureudu, di bulan puasa begini banyak laki-laki yang mengenakan kopiah meskipun bukan menuju tempat ibadah. Ke pasar pakai kopiah, ke sekolah pakai kopiah, ke tambak pakai kopiah, dan seterusnya. Memang tak semuanya. Tetapi tren pakai kopiah seperti sudah lazim setiap tahun.
foto di bawah ini tidak ada hubungannya dengan teks
Kota Bakti
Beda dengan di Lamlo, kampung istri saya. Di sana yang pakai kopiah hari-hari biasa dan hari-hari di bulan puasa sudah pasti para teungku ditambah orang-orang tua yang memang ahli ibadah sehari-harinya. Pernah saya, di awal berkeluarga, saya pakai kopiah di bulan ramadhan di kampung istri saya, saya langsung ditegur istri saya.
Saya cerita kebiasaan saya di Meureudu. Istri malah mengutip hadist melayu, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”
Saya sepakat. Benar demikian.
Baru-baru ini saya kenal seorang teungku. Guru pengajian di Mudi Mesra Samalanga. Beliau kepala asrama baru di sekolah di mana dulu saya mengajar. Kami memang jarang duduk mengobrol. Pas sekali mengobrol, pikiran kami ternyata sama.
Saya katakan pada beliau, banyak orang sekarang beranggapan ketika seseorang mampu membaca kitab kuning seolah-olah seseorang tersebut dan masyarakat menganggapnya telah alim. Tetapi kalau melihat sikap dan perbuatannya sehari-hari, masya Allah.
“Itulah Pak Edi. Saya pun heran,” timpal teungku kenalan baru saya. Terus beliau cerita begitu banyak sekarang teungku-teungku yang tahu hukum halal haram melakukan sesuatu, tetapi tetap melaksanakan juga perbuatan yang dilarang agama.
“Mengapa? Karena ia tidak malu. Malu itu sebagian daripada iman. Hari ini banyak orang yang berilmu, tetapi belum tentu beriman. Kalau ia beriman ia pasti malu kepada Allah. Oleh karena itu, sebagai teungku, mewakili teungku-teungku yang lain, sudilah dipahami bahwa teungku itu juga manusia. Jangan membawa institusi dayahnya, tetapi nilailah mereka sebagai pribadi.”
Malam itu, saya ceritakan kepada istri saya. Selama ini, di mata kami, nilai teungku sama saja dengan masyarakat biasa. Apalagi melihat tingkah polah beberapa teungku yang kami kenal. Apa yang di mulutnya sama sekali beda dengan apa yang dikerjakannya.
Mantap bro..mie Caluek ini memang sangat aduhai..
Mangat mie caluek Meureudu sang bak long.
Benar