AGAK SUSAH juga menjaga konsistensi diri. Meski sudah berjanji berkali-kali—kepada diri sendiri, tentu saja—semuanya hanya akan berujung pada pengingkaran yang nyata. Pengingkaran yang kalau dikira-kira berlaku dalam keadaan penuh kesadaran, minim penyesalan.
Aku telah berjanji untuk konsisten menulis di platform ini. Tapi apa? Sebulan lebih aku alpa. Tanpa segurat kalimat pun yang tertera, tanpa sepatah kata pun yang bisa terbaca. Mendapati kenyataan seperti ini, penyesalan yang barangkali agak jauh dari kata sungguh-sungguh, datang juga. Setidak-tidaknya itulah yang kurasa siang ini. Perihal kenapa, tanpa tahu malu, aku menekadkan hati untuk berjanji kembali, konsisten menulis lagi.
Mengulang janji yang itu-itu saja sebenarnya cukup membosankan juga. Namun di pihak lain, ia juga membutuhkan suatu keberanian yang tak terkira. Membutuhkan segala sikap dan sifat yang dipunyai para penjilat pantat pejabat. Mulai dari sifat tebal muka, sikap tak tahu diri, bisa berpura-pura tanpa dosa, dan ujung-ujungnya adalah punya ketebalan daun kuping di atas rata-rata; alat penangkal paling tangguh menghadapi cemoohan banyak orang. Semisal bagaimana karenanya, kita masih bisa bersantai ria meski orang-orang bergunjing bahwa keberadaan kita akhir-akhir ini tak ubahnya pelacur di selingkar tampuk kekuasaan.
Itu, tentu saja amsal yang sangat menyedihkan. Jika ia diberi perumpamaan sebagai suatu penyiksaan, dipastikan akan berujung pada hasil yang amat sangat sadis. Sadis sesadis-sadisnya. Tapi kukira kesadisan yang tertuju untuk diri sendiri bukanlah suatu hal yang bisa mengganggu orang lain. Kecuali dengannya aku bisa kembali melecut motivasi, atau kenapa tidak bisa pula menjadi semacam alasan paling menyehatkan pikiran untuk bersegera meninggalkan perangai buruk ingkar janji.
Tapi benarkah dengan kesadisan seperti itu aku akan bisa menunaikan janji di kemudian hari? Benarkah aku bisa terus konsisten menulis sebagaimana yang tengah kuniatkan dalam hati seperti sekarang ini?
Sudah barang tentu perlu pengamsalan yang lebih sadis lagi untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Tapi persoalannya kemudian adalah; "Bajikkah aku berlaku terlalu keras untuk diri sendiri?" Sementara di sisi lain, aku perlu menunaikan banyak kewajiban di luar urusan tulis menulis ini. Dan, katakanlah setelah berlaku keras pada diri sendiri aku berhasil menulis berketerusan, lalu apa? Apakah tulisanku nanti bermanfaat bagi banyak orang? Atau alih-alih bermanfaat, adakah yang membacanya? Atau alih-alih ada yang baca, apakah tulisan itu layak dibaca?
Cilaka betul. Banyak benar pertanyaan yang timbul.