Wali dalam suatu perkawinan merupakan unsur yang sangat penting, keberadaannya menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Dalam mazhab Syafii, dinyatakan bahwa wali nikah merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan. Hanya wali nikah yang memiliki hak untuk menikahkan wanitayang berada dalam perwaliannya. Hak ini diberikan Islam kepada wali nikah, karena wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Dalam kitab Al Umm disebutkan bahwa wanita manapun yang kawin tanpa walinya, maka tiada perkawinan bagi wanita tersebut.
Imam Syafii beserta pengikutnya berpendapat tentang wajibnya wali nikah ini bertolak dari hadist Rasullulah SAW diantaranya yang diriwayatkan oleh At- Tirmidzi berasal dari Siti Aisyah yaitu :
أخبرنا ابن جريج, عن سليمان ابن موسى, عن ابن شهاب عن عروة, عن عائشة رضى الله عنها: أن النبى صلى الله عليه وسلم قال: ايما امراة نكحت بغير إذن مواليها فنكاحها باطل,فنكاحها باطل, فنكاحها باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن استجروا فالسلطان ولي لمن لا ولي لها) رواه الترمذي(
Artinya : Menceritakan pada kami Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa, dari Ibnu Syihab dari Urwah, dari Aisyah r.a. bahwa Nabi Saw. bersabda siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, batal, batal. Jika suami telah menggaulinya, maka wanita tersebut berhak atas maskawin sebagai penghalal kemaluannya. Jika para wali tersebut berselisih, maka sultan menjadi wali bagi wanita yang tidak memiliki wali. (H.R. Tirmizi).
Dalam hadist tersebut terlihat bahwa seorang perempuan yang hendak menikah disyaratkan harus memakai wali, berarti tanpa wali nikah itu batal menurut hukum Islam atau nikahnya tidak sah. Dengan demikian tidak ada perkawinan dalam Islam apabila tidak dianggap sah menurut hukum Islam. Dalam hukum Islam wali merupakan rukun nikah, dimana keberadaannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pernikahan itu sendiri, sehingga ketiadaan wali, baik wali nasab atau wali hakim, menyebabkan pernikahan atau perkawinan tidak dianggap sah.
Dalam kitab Qalyubi yang digunakan sebagai rujukan dalam fiqh syafiiyah disebutkan urutan wali nikah adalah sebagai berikut:
Ayah kandung
Kakek atau ayah dari ayah
Ayah kakek, meskipun ke atas
Saudara laki-laki se-ayah dan se-ibu
Saudara laki-laki yang se-ayah
Anak laki-laki dari saudara laki-laki se-ayah dan se-ibu, meskipun ke bawah
Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang se-ayah, meskipun ke bawah
Paman
Anak laki-laki dari paman
Orang yang memerdekakannya, bila perempuan tersebut pernah menjadi hamba sahaya
Ashabah orang yang memerdekakannya
Sultan atau penggantinya (qadhi).
Dalam Kitab Kifayatul Akhyar yang juga merupakan kitab standar fiqh Syafiiyah disebutkan urutan wali nikah, yaitu:
- Ayah
- Nenek (ayah dari ayah)
- Saudara laki-laki sekandung
- Saudara laki-laki seayah
- Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
- Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah
- Anak laki-laki paman.
Dinyatakan lebih lanjut bahwa wali yang paling utama adalah ayah, sebab dialah yang menjadi sebab adanya. Kemudian nenek, yang kedudukannya sama dengan ayah. Ayah dan nenek mempunyai kekuasaan yang besar terhadap anak perempuan. Apabila ayah dan nenek tidak ada, baru saudara-saudara seperti dalam urutan-urutan tersebut, sebagaimana urutan dalam ashabah. Apabila dari semua itu tidak ada maka wali hakim berhak menikahkannya. Demikian urutan-urutan wali dalam sahnya nikah.
Secara lebih lengkap dan sistematis, dalam ensiklopedi hukum Islam disebutkan tertib dan urutan wali nikah menurut fiqh Syafiiyah sebagai berikut: - Wali mujbir (wali yang berhak memaksa) atau wali aqrab (dekat) yaitu:
- ayah
- kakek (ayah dari ayah), sampai ke atas
- pemilik budak (maula mutiq)
- Bila tidak ada wali mujbir atau wali aqrab, maka wali berpindah kepada wali mukhtar (wali yang tidak berhak memaksa) atau wali abad (jauh)
Dengan demikian menurut Syafiiyyah, urutan wali baik yang mujbir (wali aqrab) atau wali mukhtar (wali abad) adalah sebagai berikut:
-ayah,
-kakek (ayah dari ayah),
-ayah kakek sampai ke atas,
-saudara laki-laki kandung (seayah seibu),
-saudara laki-laki seayah,
-anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung,
-anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah sampai ke bawah,
-paman sekandung dengan ayah,
-paman seayah dengan ayah,
-anak laki-laki paman sekandung dengan ayah,
-anak laki-laki paman seayah dengan ayah,
-paman kakek sekandung dengan ayah,
-paman kakek seayah dengan ayah,
-anak paman kakek sekandung dengan ayah dan
-kemudian anak paman kakek seayah dengan ayah.
Selanjutnya adalah orang yang memerdekakan budak dan ashabahnya, sesuai dengan urutan hak waris. Apabila seluruh wali tersebut tidak ada, maka yang menjadi wali nikah adalah hakim.
Sebuah informasi yang sangat bermanfaat !!👍