1.
Umpama ini mantra. Atau bukan. Atau tidak sama dengan. Kau berkutat dengan segala angan. Lantas bergentayangan, dari satu kenangan ke lain ingatan. Dan kau menemukan diri terjerembab dalam kubang nelangsa. Ada mantra yang kau lupa. Mestinya sekali baca akan membuatmu menjauh dari pikiran yang tidak-tidak. Kau coba hafal, kau coba rapal. Gagal. Lalu mulutmu adalah gigil seorang sida-sida yang tengah naik birahi hingga demam tinggi--sesuatu yang mestinya bisa berkedut telah dilucuti. Derita apakah ini?
Kau curiga ada yang menguntit dan kau takut menoleh kecuali gigil sida-sida yang tengah kau idap itu membuatmu tampak seperti seorang renta yang terus mengoceh, sementara kubang nelangsa kian menganga. Seperti terperangkap dalam pasir hisap, yang bersisa dalam dirimu kini, tentu saja setelah bertungkus lumus mencoba keluar dari sergapannya, adalah harapan hidup kendati udara yang hendak kau hirup terasa makin menjauh dari batang hidungmu. Maka megap-megaplah kau di sana.
Celaka. Kubang nelangsa bahkan telah betulan berubah jadi pasir hisap. Maka megap-megap tak boleh sama dengan kembang kempis. Sebab jika demikian berlaku, alamat buruk yang tengah kau derita akan berkali-kali lipat lebih buruk. Dan sepertinya itu akan kau alami sebentar lagi, tak sampai tuntas seruput kopi kali pertama. Lalu benarlah adanya. Kembang kempis dadamu adalah gerak kecil yang membuat kau tersuruk lebih dalam. Kau mengutuk. Pada siapakah?
Dalam keadaan begini, kau tersadar; masa kanak-kanak dulu kau pernah diajari banyak do'a. Kau girang karenanya. Do'a tidak sama dengan mantra. Mantra itu laknat. Dekat dengan sihir. Temannya setan. Do'a kebalikannya. Tapi itu kegirangan serba singkat. Terutama ketika kau lanjut menyadari bahwa do'a pertama yang benar-benar bisa kau ingat dengan lengkap pada waktu sesekarat ini hanyalah do'a mandi besar.
Nawaitul ghusla li raf-'il hadatsil akbari minal jinabati...
"Itu tandanya kau sering coli," celetuk Qarin, jin yang bertengger di bahu kirimu, setengah takjub, memotong apa yang tengah terbaca dalam benakmu.
"Babi!” umpatmu dalam hati.
"Bukankah babi itu binatang haram?" Qarin lanjut ikut campur.
"Keparat!"
"Bukan. Yang benar adalah sekarat. Kau tengah sekarat."
"Aaarggghhh...!"
Demi mendengar teriakanmu, Qarin ciut. Nyalinya kecut. Dia memilih diam membisu. Sekelilingmu menghimpun segala unsur pilu.
Angin berkesiur seperti biasanya. Langit tetap tertengadah dari tanah. Burung-burung berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain dengan cara yang masih lazim pula. Belum ada tanda-tanda kalau mereka akan memilih jalan kaki ketimbang terbang kesana kemari. Begitu pula kambing. Masih tetap menyukai rumput dan sama sekali tak pernah terpikir oleh siapapun di antara mereka untuk mencoba berak melalui mulut. Terhadap semua itu, matamu nanar-nanar nyalang. Degup jantungmu ada dan menghilang. Ada lalu hilang. Kembali ada, hilang, untuk kemudian berdegup lagi, ulang berulang.
Telah tibakah waktuku? Kau bertanya dalam hati. Tak terjawab. Kau menunggu jawaban dari sesuatu yang entah, bahkan dijawab setan pun tak mengapa, dengan menggumam pertanyaan yang sama. Terus menggumam dalam waktu yang agak lebih lama. Masih seperti semula. Dan Qarin yang tadi turut ikut campur nyengir-nyengir geli mendengarnya. Lalu memutuskan untuk bersikukuh, terus meledekmu dengan kebisuannya yang tanpa ampun. Sampai-sampai ia memantrai apa saja untuk melengkapinya. Hingga yang tertangkap di gendang telingamu setelahnya, adalah hening yang berdentang. Berdengung-denging: lengking.
Sementara itu pasir hisap dalam benakmu terus bekerja. Kau lumpuh sempurna. Pikiranmu hendak memilih pasrah begitu saja. Tapi daya hidup yang menguar dari sesuatu di tubuhmu, mungkin dari bulu ketiak, atau boleh jadi berasal dari denyut jembut, membuatmu berusaha kembali mengingat-ingat mantra setelah mendapati do'a mandi besar tidak memberikanmu jalan keluar kecuali ledekan jin di bahu kiri yang menyebutmu keseringan coli--satu fakta yang tak bisa kau tolak dengan dalih apa pun.
Tapi mantra apa? Dalam situasi inilah Qarin mengambil alih. Ia unjuk diri dalam pikiranmu dengan wujud seorang bijak bestari dan mulai menuntunmu untuk berucap, "Demi fufufafa dan lain sebagainya. Fufufafa dan segala kata sifat yang menyertainya. Fufufafa yang cengengesan dan menjemukan. Yang para-para. Yang dikarbit lantas jadi penguasa. Yang bloon dan telah jadi junjungan orang-orang culas dan itu patut dirayakan oleh segenap jin dan setan yang bertugas di dunia. Enyahlah kata moral. Enyah pula pikiran gampang merasa berdosa. Demi itu semua. Atas nama dosa-dosa, kecolian yang menjadi kesukaan kau dan mungkin juga fufufa. Redamlah rasa bersalah ini. Aku akan hidup dengan nama baru, Abra 'Oe."
Demikianlah. Tak ada kuasa lain yang kau punya kecuali lamat-lamat merapal apa yang dibisikkan Qarin. Barangkali itulah mantra yang mengobatimu dari sergapan pasir hisap ingatan buruk masa lalu. Kecolian hidup yang selama ini kau geluti, telah dimanfaatkan sedemikian rupa oleh Qarin yang jahat di bahu kiri.
Maka mulai saat itu, kau yang menyandang nama baru Abra 'Oe memutuskan untuk menggali segala hal ihwal terkait fufufafa. Kau merasa berhutang budi dengan kata itu dan berniat menuliskannya meski dengan cara sepenggal-sepenggal saja. Qarin menyungging senyum untuk niatmu itu. Ini hari, sementara kambing-kambing masih tetap menyukai rumput dan sama sekali tak pernah terpikir oleh siapapun di antara mereka untuk mencoba berak melalui mulut, ia menang banyak. "Selamat bekerja, Abra 'Oe!"
Delegasi 500 HP
Delegasi 300 HP
Delegasi 100 HP
Delegasi 50 HP