Saya bukan orang yang hidup dengan peta. Atau arah. Saya sulit membedakan kiri kanan dan selalu kehilangan arah. Sejak kecil, saya bahkan tidak hafal jalan-jalan di Banda Aceh, kota tempat saya tinggal.
Makanya, saya suka bertualang, dan bagi saya, tersesat itu adalah inti dari petualangan.
Awalnya, saya tidak sadar bahwa saya buta arah. Sebab orang tua saya sangat protektif. Saya tidak pernah pergi jauh-jauh tanpa orang tua saya. Saya juga tidak pernah diijinkan untuk mengikuti kegiatan yang bersifat main-main, juga diantar dan dijemput.
Lalu ketika saya koass, rumah sakit tempat saya koass itu lumayan luas. Dan saya sering nyasar ke tempat yang tidak terduga. Lalu saat diijinkan bawa motor, saya mulai nyasar kemana-mana. Membuat waktu pulang saja bisa berkali lipat jadi panjang.
Namun saya selalu bisa menemukan jalan pulang, pada akhirnya.
Beranjak dewasa, saya mulai lebih banyak bertualang. Dan saya bersyukur, dikaruniai teman-teman yang pandai membaca peta dan petunjuk arah. Saya akan tersesat dan mereka akan menemukan arahnya. Tidak ada kesulitan besar, saya selalu bisa kembali.
Hingga saya ke Eropa, tepatnya Jerman. Saya sendiri, otomatis saat tersesat tidak ada yang bisa membantu saya. Saya bahkan tersesat berkali-kali di area kampus. Sampai teman sekelas yang baru saya kenal sudah tahu kebiasaan saya. Saya butuh waktu sampai sebulan, dan setelah hampir setahun tinggal di kota kecil itu, Luebeck, barulah saya bisa bertualang tanpa tersesat.
Mungkin ada yang kepo, kenapa gak pake GPS?Masalahnya, GPS di hp saya tidak begitu handal. Saya butuh tersesat berkali-kali sebelum sadar bahwa si GPS menunjukkan saya berada di lokasi yang salah.
Sebenarnya, saking seringnya saya tersesat, sehingga semua orang gak akan heran lagi kalau saya tersesat, saya sudah imun dengan namanya tersesat. Saat muncul di tempat yang rasanya asing banget, biasanya saya akan menunggu. Menunggu pangeran berkuda unicorn? Ya gaklah. Saya menunggu feeling saya menuntun saya menuju arah yang benar. Kadang berhasil, kadang harus menunggu ada orang yang gak begitu mencurigakan untuk ditanya.
Jadi kalau jalan bersama teman, mereka biasanya antara 2 kemungkinan aja, kalau saya guide-nya: dongkol kalau saya menyesatkan mereka, atau menikmati feeling getting lose dan ketawa bareng. Biasanya yang terjadi yang pertama. Hanya satu orang teman yang saya kenal, yang saya bisa tersesat sambil tetap bisa tertawa bersama.
Kadang saya panik juga sih. Momen yang paling saya ingat adalah tersesat jam 3 pagi di Berlin, Jerman. Buat yang tahu Berlin ya, kota itu salah satu kota sentral di Jerman. Gede sih, agak kumuh, dan gak begitu aman juga dibandingkan kota lain. Tempat itu gelap, gak ada lampu jalan, map saya error (as always), sendirian, dan hujan. Komplit.
Saya berdiri di pinggir jalan dengan jantung berdebar keras. Merutuki kenapa saya nekat berjalan sebelum menentukan arahnya dengan pasti, hingga lewatlah seorang bule. Agak bau alkohol, tapi masih nampak waras dan jalannya lurus. Dia menawarkan menunjuki jalan. Tidak melihat pilihan lain yang lebih baik, saya ikut dia sampai jalan yang dimaksud. Alhamdulillah selamat, tidak dicincang dan dimasak jadi kaserol :)
Nah, sepertinya jalan yang harus saya lalui untuk bertualang masih panjang. Gak ada tips untuk gak tersesat. Yang ada hanya tips saat tersesat: berdoa, gak panik, kalau tempatnya sepi jalan aja terus sampai tempat rame, kalau gak ada peta temukan orang terbaik untuk ditanya.
Pada akhirnya, separah apapun buta arahmu, jangan takut bertualang!
~Paris, saat berpetualang secara impulsif selalu menyenangkan
Ade, aku teringat sepenggal adegan dalam film Assalamualaikum Paris, ada adegan kayak gitu, tersesat, ada orang mabuk, hehee... Suka baca tulisan Ade...
Bukan Assalamualaikum Beijing ya Kak Ihan?
Buka, Assalammualaikum Paris. Yang main Velove Vexia dan Nino Fernandes.
Hoo... Ada juga ya. Ntar buat Assalamu'alaikum Banda Aceh ah
Saya untuk bisa tau dan hafal jalan rasanya perlu minimal perjalanan beberapa kali ke tempat yang sama. Atau lebih efektif lagi sering-sering sepedaan melalui rute itu.
Saya di Banda Aceh juga sering tersesat Bang Azhar. Karena suka cari jalan baru juga.
Ade jangan khawatir sesat di jalan, sebab kesesatan yang mengerikan adalah kesesatan dalam memaknai agama...
benar sekali Bang Ariel, mohon diingatkan jika tersesat di jalan agama
Kalau dibuat film pasti keren nih. Juga ga sabar nunggu novelnya. :)
Hahaha... doakan saja Bang Sayid
Yeees... Let's get loooooost... Aku pun suka nyasar di tempat-tempat baru. Panik sih tapi tetap aja suka kesel sendiri. Hahaha...
iya, kadang kalau waktunya mepet, buru-buru kesal sendiri juga.
Mungkin ada yang nggak percaya kalau Kak Aini bilang kerap nyasar di Banda Aceh setelah menetap di BNA sejak 2001. Pernah nyasar di pasar Peunayong dan nggak tau jalan ke luar. Hahaha...orang-orang dekat udah hapal kelakuan Kak Aini yang kayak gini. Disorientasi namanya. Kiri kanan saja bisa tertukar.
Over all, Ade...senaaang membaca tulisan Ade lagi.
Hahaha... sama kita Kaak... Toss dulu :D