Petani, menggapai asa dalam 'bayangan'.

20-47-32-41176_01542410112015_swasembada_pangan1.jpg
Ilustrasi sumber panen Padi.

Ya, inilah bahasa 'hati' yang tidak pernah terdengar lagi secara terang-terangan. Bahasa yang telah lama bersimpuh tersipu malu disudut kehidupan. Reformasi 'omong kosong' mampu meluluh lantakkan diktator dari pucuk kepemimpinannya (pasca 21 Mei 1998).

Ketika keberhasilan mencapai 'target' melumpuhkan 'musuh bersama', Takbir menggelegar di komplek Gedung Kura-kura, Senayan, Jakarta. Pertanda kemenangan telah digenggam. Ya, bukan tugas mudah mengisi 'kemerdekaan' reformasi ini. Tapi apakah mereka yang berada diseluruh pelosok negeri masih bergelut dengan lumpur kehinaan?, tanpa ada yang mau mengusap 'airmata darah' yang sudah bercucuran dengan gelimang penderitaan berpuluhan tahun.

Kala itu, semua orang mengharapkan reformasi birokrasi dan kebebasan berpendapat (demokrasi) yang menjadi biang utama terjadinya peristiwa reformasi pada era Orde Baru (Orba) berkuasa dengan 'tangan besi' nya, namun tidak dapat kita pungkiri juga dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto dengan program Revolusi Hijau dan Pelita - nya mampu mengusap sedikit perihnya mata petani.

Kenyataan pahit ini, lagi dan lagi mengusik kenyamanan dalam pranata sosial seakan mereka (Petani) adalah lahan yang paling empuk untuk disiasati dengan 'janji manis' penuh kepentingan.

Kita semua tahu, bahwa sektor Pertanian (Pangan) adalah sektor yang sangat urgen dan sangat vital dalam proses jalannya roda pemerintahan suatu negara, lihat saja di seberang lautan sana seperti Somalia dan beberapa negara di 'benua hitam' dilanda krisis pangan.

IMG_20180227_204847.jpg
Dokumentasi pribadi, di areal Persawahan Bambi Kabupaten Pidie.

"Camkan sekali lagi Camkan! Kalau kita campakkan soal makanan rakyat secara besar-besaran, secara radikal dan secara revolusioner, kita akan mengalami malapetaka" (Soekarno). Dalam pernyataan Sang Proklamator, melihat kenyataan bahwa sektor pangan adalah pemberi jaminan dalam menjalankan roda pemerintahan (sektor ekonomi dan politik) dan sebagai pemenuhan hajat orang banyak.

Realita lapangan.
Petani, sering bergelut dalam masalah 'lingkaran setan' mahalnya Saprodi (sarana produksi) seperti benih, pupuk dan obat-obatan demi jalannya proses budidaya tanaman. Ketimpangan ini terus menghantui keadaan 'dompet' Petani dalam setiap musim tanam tiba (baik musim gadu atau musim rendengan) ditambah lagi dengan murahnya nilai jual gabah di pasaran (tidak adanya konsistensi pemerintah dalam hal menetapkan regulasi harga gabah), kurangnya subsidi sektor Pertanian, apalagi kalau wabah gagal panen melanda!.

Petani sekarang terkesan, seakan 'melihat rumput hijau di tengah ladang' dalam melakukan usaha warisan agraris sebagai Land mark Nusantara ini, bergelut dalam hal ketidakpastian masa depan (panen). Mau tidak mau mereka (Petani) membohongi diri dengan menyiasati pola tanam yaitu 'memaksakan' lahan garapan (sawah atau ladang) untuk ditanam beberapa kali (sebanyak mungkin) dalam satu tahun, juga kegiatan mengejar 'fatamorgana' ini menggunakan pupuk dan pestisida kimia supaya hasilnya memuaskan dan perilaku ini terus dilakukan para petani.

13-40-45-23a5648467ca4606c9e0599d806f9038--wellington-new-zealand-scampi.jpg
Ilustrasi memupuk cinta (kesejahteraan).

Paradigma Petani makin Menjadi-jadi dalam 'mengeksploitasi' lahannya sendiri, mereka tidak lagi peduli akan kelangsungan (sustainable) ekosistem lingkungan akibat kegiatan yang berkesan ekonomis (kapitalisme). Mereka hanya mempedulikan isi kantongnya karena keterpaksaan tanpa turun tangan Pemerintah.

Kualitas lahan dinomer sekiankan, sehingga Degradasi Lahan makin menunjukkan 'taringnya'. Degradasi Lahan adalah adalah hasil dari satu atau lebih proses terjadinya penurunan kemampuan tanah secara aktual maupun potensial, atau lazim disebut sebagai lahan yang sudah miskin hara atau kandungan keasaman meningkat (pH Asam meningkat hasil produksi menurun).

"Ta meublang geutanyoe, lagee tatulak toeng tinggai teim". Istilah yang sudah dan mudah kita dengarkan dari Petani, bukan karena hasil panen (teknik budidaya petani hari sudah mulai membaik /modern) tetapi lebih kepada nilai jual dari hasil budidaya tanaman yang terkesan 'seenaknya' menetapkan harga gabah.

Kesejahteraan bagi petani adalah harga yang begitu mahal untuk dibayar, dan sangat sulit kita temui di setiap penjuru negeri agraris ini. Menurunnya Kesejahteraan Petani dapat ditinjau dari menurunnya nilai tukar petani (NTP). NTP menghitung rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang diterima petani yang diformulasikan dalam bentuk persentase. Apakah Petani kita sudah merasakan kesejahteraan?.

Jangan menutup mata atas 'ketidaktahuan' ini, perhatikanlah mereka dengan hati yang tulus dan ikhlas. Sejahterakan mereka dengan berbagai kemudahan dalam mengelola sumber daya alam negeri yang kaya ini.

Indonesia sekarang adalah akumulasi 'pakaian lusuh' masa lalu yang menjadi pakaian bersama, ketika rasa elegan dan eksklusif menghampiri Indonesia jangan menutup mata pada masa lalu.

Salam Pertanian Aceh, Bravo Steemian!
@mahzalabdullah

Sort:  

Keren tulisannya senior...

Mencoba mengkritisi, tapi masih pada tahap analisa

Semoga pemerintahan memperhatikan sektor pangan (pertanian) agar petani mendapat pendapatan dengan harga yang normal dan tidak anjlok dengan harga yang murah !
Miris bila semua itu diabaikan pemerintahan terkait