Cerpen ini mengambil setting di Sigli, Kabupaten Pidie, pada era 1990-an. Boleh jadi suasana tempat yang saya gambarkan dalam cerpen kini telah banyak berubah. Sebelumnya cerpen ini pernah dimuat di sebuah koran.
Cerpen: Mustafa Ismail
Malam masih sangat senja, kami ketemu di kantin alun-alun, tak jauh dari terminal kota. Marwan mengajakku mencari tempat lain. Aku setuju saja. Sebagai tamu, Marwan tentu sangat tahu kemana harus membawaku.
Kami berjalan kaki melintasi depan lapangan alun-alun, kemudian belok kiri memutar kantor sebuah organisasi. Angin laut berhembus menusuk. Dari arah kananku hingar-bingar musik seakan ingin bertanding dengan suara ombak berbaur cahaya lampu yang redup seperti nyala lilin anak-anak kecil malam lebaran.
Marwan memberi isyarat dengan tangan dan matanya, supaya kami membelok ke kanan memasuki sebuah kafe. Kami berjalan beberapa meter, lalu menaiki tangga. "Di atas lebih asyik," kata Marwan. "Kita bebas untuk ngobrol-ngobrol." Beberapa pasangan sedang asyik di pojok. Aku tidak peduli, itu adalah pemandangan biasa.
Tetapi Marwan seperti tidak nyaman. "Saya yakin, kamu tidak terkejut. Ini kota kecil, tetapi penampilannya barangkali melebihi ibu kota," ujarnya.
Aku ingin membenarkannya. Namun, aku tersadar bahwa di kotaku itu tidak seperti ini. Tidak ada yang terbuka seperti disini.
Kalau pun mereka "berasyik-asyikan" mereka lebih memilih tempat tertutup. Artinya, mereka masih menghormati keadaan. Pasangan-pasangan kasmaran itu tidak "bermain-main" di tempat-tempat di tengah kota. Begitu pun, aku tidak mungkin menyampaikan hal itu kepada Marwan.
Aku tahu, ia pasti bersedih sekali kalau aku katakan "muda-mudi" sini jauh lebih berani. Sebagai kota kecil, mestinya perubahan sosial tetap tidak sama dengan kota besar. Orang-orang tetap yakin, kota itu --- yang sebenarnya adalah kampungku juga --- masih sangat "bersih" dari unsur-unsur yang merusak.
"Apakah kau sedang ada masalah. Kuperhatikan, kau tidak ceria." Suara Marwan memecah hening. Seorang lelaki datang mengantar dua gelas kopi, dan dua porsi nasi goreng. Aku ingin menjawab pertanyaan Marwan, tapi terpotong oleh kehadiran lelaki itu. Syukur juga, paling tidak aku bisa menyembunyikan apa yang kupikirkan tadi.
"Kemarin aku membaca cerpenmu tentang seorang wanita. Ya, kalau tidak salah judulnya Surat Dari Lautan."
Marwan menghirup kopi. Diambil sebatang rokok, dinyalakan dan disulutnya. Kemudian matanya mengarah ke laut. Memandang bulan yang ogah-ogahan menampak dirinya. "Benar. Idenya dari kejadian sebenarnya," katanya.
"Tapi sudahlah, kita tidak usah membicarakan itu. Sebuah masa lalu terkadang tidak menarik untuk disampaikan kepada orang lain."
Ia diam. Kembali matanya diarahkan ke laut. Ke ombak yang mendebur, yang cuma suaranya yang terdengar. Aku menangkap suatu nuansa lain, antara terharu dan menyesali. Sebuah kenyataan yang tampaknya begitu rapat disimpannya.
"Kenyataan itu terkadang pahit. Tapi juga menyenangkan." Kata-kata Marwan keluar begitu saja. Aku tidak menanggapinya. Kupikir, ia sedang menghadapi satu konflik dengan dirinya sendiri. Barangkali menyangkut dengan cerpen "Surat Dari Lautan" itu.
"Kamu menyesalinya?" Entah bagaimana suaraku tiba-tiba terlontar. Padahal dari tadi aku sedang menahan diri untuk tidak terpancing. Keterlibatan seseorang pada persoalan orang lain tidak selamanya dapat membantunya. Justru terkadang bahkan bisa lebih meruwetkan masalahnya, atau paling tidak bisa menambah kesedihan atau keterharuannya.
"Sebenarnya tidak," katanya. Kembali ia menyulur rokoknya. Sebuah suara menghentakkanku dan Marwan. Aku melirik, seorang gadis sedang mengibas-ngibaskan roknya yang terkena minuman kaleng. Lelaki pasangannya mengambil tissu dan melapnya dengan sangat hati-hati. Sebuah refleksi kasih-sayang yang tidak ada taranya.
"Terkadang cinta itu berlebihan," ucap Marwan. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Matanya memandang lurus. Ombak di laut tanpa henti berdebur, seolah enggan membiarkan kesunyian merayap di pantai itu.
Aku meneguk kopi. "Kau pasti punya pengalaman yang sama dengan pasangan itu," ujarku.
"Iya," suara Marwan berat. "Tetapi belakangan aku menyadari tidak ada yang kekal dalam hidup ini. Cinta itu hanya sebuah kesementaraan."
Aku tidak menanggapi. Pandanganku mengarah ke bangku-bangku di kafe itu yang mulai kosong. Malam makin larut. Tak lama, seorang pelayan mendatangi meja kami dan memberitahu bahwa kafe akan segera tutup. Aku merongoh kantong untuk membayar, tetapi Marwan buru-buru mencegah sambil mengeluarkan dompetnya.
"Percapakan masih panjang. Kau tidak usah pulang," kata Marwan.
Lalu ia mengajakku ke sebuah tempat. Ia tidak mau menjelaskannya. "Nanti saja," gumamnya.
Aku tidak protes. Aku tamu, dan tamu akan dianggap "raja" oleh tuan rumah. Tidak ada tamu yang "disemena-menakan" oleh tuan rumah. Aku tahu pasti, Marwan adalah seorang tuan rumah yang sangat baik. Berkali-kali aku ke kota ini, selalu Marwan menyambutku hangat.
"Aku yakin, kau sudah pernah ke tempat ini."
"Ya. Tetapi dulu pantai ini sepi."
"Keadaan memang akan selalu berubah. Setiap hari Minggu pagi disini sangat ramai."
"Pasti kau sering kemari."
"Tidak terlalu sering. Hanya beberapa kali. "
"Pasti dengan tokoh dalam cerpen "Surat dari Lautan" itu," kataku sambil meliriknya. Marwan tidak menanggapi. Matanya menyorot tajam ke laut lepas. Entah apa yang dipandanginya. Padahal malam begitu gelap.
"Ia adalah seorang perempuan yang cantik. Kalau boleh, aku ingin mengenalnya. Mana tahu ia jatuh cinta padaku," suaraku sekenanya.
Marwan tidak bergeming. Ia mengeluarkan sepotong sapu tangan dari saku celana, dan dibukanya pelan-pelan. Sebuah foto kecil menyembul. Aku tidak bisa melihat dengan jelas foto itu. Tetapi itu adalah foto close up seorang perempuan. Marwan memandang lekat-lekat foto itu.
"Itukah perempuan dari cerita itu?"
Marwan mengangguk. "Tetapi ia sudah pergi."
"Pergi?"
"Orang-orang asing itu telah merenggut cinta kami," suara Marwan berat dan pelan. Luka teramat dalam.
Aku menelan ludah. Orang-orang asing itu memang telah merebut cinta saudara-saudara kami.
Bogor-Jakarta, 1997-2000
MUSTAFA ISMAIL
#cerpen #ceritapendek #fiksi #sastra #aceh #sigli #pidie #kabpidie #indonesia #steemit
Foto-foto: MI | @musismail
“Iya," suara Marwan berat. "Tetapi belakangan aku menyadari tidak ada yang kekal dalam hidup ini. Cinta itu hanya sebuah kesementaraan."
Ya, kesementaraan. Sangat kesementaraan.
Jadi pingin pulkam,
Pulang lebaran bu dokter? Semoga pidie selalu berjaya
Masalahnya lebaran g libur, kena jadwal jaga, nasib. Rindu kampung hehe. Pidie selalu berjaya, namanya aja pidiejaya
Seperti ku kenal nama tokoh dalam cerpen ini.
Ah dugaan ku saja hehe
idenya memang dari obrol-obrolan bersama "beliau". Dari obrolan itulah lahir berkembang imajinasi alias menghayal, sehingga lahirlah cerpen tersebut.
Mantaap
Pasti kesedihan Marwan amat berat karena kepergian kekasihnya.
sangat. kita tahu pada masa konflik banyak orang hilang tak berbekas
endingnya membuat kita masih terasa haus. ingin terus membaca cerita berikutnya. keren bang @musismail