“Sudah berapa kali Ibu ingatkan untuk berhenti mengobrol dengannya. Apa kamu mau mempermalukan ras kita?” Omel sekuntum krisan dewasa pada anak gadisnya yang baru saja mekar.
“Tapi Ibu... apa bedanya kita dengan dia, bukankah kita sesama tanaman yang tumbuh?”
“Hah? Bagaimana pula caramu berpikir? Sudah! Jangan banyak mendebat Ibu. Bagaimana mungkin kau bisa berpikir kita genus Chrysantemum bisa disamakan dengan ilalang liar seperti dia!”
“Dia Setaria sphacelata, Bu. Ia juga ada dalam taksonomi tumbuhan. Ditulis dalam nomenklatur seperti kita.”
“Terserah kamu. Yang Ibu tahu ia ada di urutan terendah kalaupun masuk dalam taksonomi. Berhentilah berkarib-karib dan terlalu ramah padanya.”
Kalau sudah berbicara dengan nada seperti itu, Krisan Kecil hanya mengerucutkan bibirnya sambil menarik diri. Ia tak lagi mau berdebat dengan ibunya. Kelopak putihnya lesu tak bergairah.
Pagi ini kembali cerah, berbagai warna Chrysantemum bermekaran. Ditingkahi semilir angin lembut dan lazuardi biru, bunga-bunga indah tersebut bercanda-ria. Menikmati siraman cahaya matahari dan mengerahkan seluruh kemampuannya menarik perhatian lebah dan kumbang.
Krisan Kecil tidak terlalu bersemangat sejak muncul fajar tadi, ia terlihat lesu dan melirik sesekali ke seberang. Ia bisa melihat Sang Setaria baru saja menggeliat dengan warna hijau pucatnya tapi tampak tetap segar dan berkilau karena tetesan embun yang tertinggal di sisi-sisi badannya. Nyamur itu membuat semacam daya tarik yang memesona bagi Krisan Kecil. Apalah salahnya bergaul dan mengobrol dengan serumpun Setaria. Toh mereka senasib, pikirnya.
“Tugas kita mekar dengan indah dan menyiapkan madu lezat bagi lebah-lebah gagah itu. Buat apa menarik perhatian tanaman-tanaman kasta rendah yang memang tanpa diminta sudah mengagumi kita sejak lahir. Mereka hanya makhluk-makhluk yang tidak seberuntung kita. Tak ada manfaat apapun kalau berdekatan dengan mereka. Hanya membawa sial saja!” Ujar Krisan Merah Muda dengan wajah juteknya.
Ternyata kedekatan Krisan Kecil dengan Sang Setaria sudah terdengar di seantero taman dan kebun Yoga. Semua berbisik-bisik dan mencemooh perilaku Krisan Kecil yang bergaul akrab dengan kumpulan Setaria.
“Ras kasta rendah seperti mereka hanya berakhir dilumat gigi sapi dan kuda, buat apa membuang diri dengan bergaul dengan mereka. Aku setuju denganmu, Krisan Merah Muda.”
“Memang! Apa mungkin Krisan Kecil tidak percaya diri dengan warna putihnya itu? Aku bangga dengan warna merah muda-ku. Kau juga, kan, Krisan Kuning?”
“Iya juga. Kupikir Krisan Kecil menganggap dirinya buruk karena berwarna putih, ia tak percaya bisa menarik lebah madu kelas satu, jadi ia berusaha mendekati ilalang tak berguna itu.”
“Dasar anak aneh, Kalau aku... jangankan lebah dan kumbang, aku percaya suatu hari Yoga akan memetikku dan meletakkannya di meja kerjanya hingga aku selesai melepaskan helaian kuntum terakhirku...” Krisan Kuning menerawang, mengkhayalkan itu membuat dadanya mengembang dan matanya berbinar. Adalah impian semua bunga di taman Yoga untuk bisa dipetik dan diletakkan di vas kaca bening di depan meja kerjanya.
“Ah, ya ampun, Krisan Kuning... aku saja tak berani memikirkan hal itu. Terlalu indah dan belum pernah ada ras kita yang mengalami hal semacam itu. Andaikan itu aku... tentunya akan jadi legenda di dunia kita.”
Kedua bunga Krisan itu menyemburat dan tersipu sendiri demi membayangkan momen saat Yoga memandangi dan memetik mereka, meletakkannya dalam vas kaca, menatap dengan mata penuh cinta setiap senja.
Matahari mulai sepenggalah. Yoga dengan sepatu boot hijau navy sudah berada di antara rumpun Setaria. Rambut coklatnya berkilau diterpa mentari, kulitnya tampak sedikit memerah, cucuran keringat di pelipis mengalir hingga membasahi dagunya yang kesat sisa bercukur dua hari lalu.
Yoga sangat mencintai profesinya sebagai Botani dan menghabiskan harinya di shelter, kebun, laboratorium, dan rumah kaca setiap hari. Sejak bangun tidur, menyeduh kopi lalu menghabiskan tiga jam di dalam perpustakaan, sarapan dan dilanjutkan ke lapangan hingga sore.
Ia menutup harinya di meja kerja, di sebuah ruang kecil yang nyaman di sudut perpustakaan, berjendela kaca lebar yang menyajikan pesona keelokan taman yang dirawatnya sepenuh hati. Tepat di sebelah kirinya ada vas kaca bening yang sering berisi dua atau tiga kuntum mawar liar berwarna merah yang berganti setiap minggu. Semua furnitur di ruangan itu berwarna putih, warna favoritnya.
Krisan kecil menatap Sang Setaria dari seberang. Ia memerhatikan sepertinya Sang Setaria sudah paham kondisinya. Ia pun hanya membalas tatapan Krisan Kecil dengan senyuman sedih. Ingin sekali Krisan Kecil mengucapkan sepatah kata maaf untuk sekadar menyampaikan bahwa perasaannya tetap sama pada Sang Setaria. Ia tetap ingin bersahabat baik.
Bahwa ia suka mengobrol dengan Sang Setaria tentang bagaimana pengalaman teman-temannya dipindahkan, digemburkan tanah-tanah di sebelahnya, supaya mereka bisa tumbuh sehat dan berisi untuk kemudian dipanen dan ditumpuk menjadi hay ataupun disantap langsung oleh para Friesh Holland di kandang sebelah Utara. Katanya mereka membuat sapi-sapi itu menghasilkan susu yang bagus. Mereka bangga bermanfaat dan merasa cukup bermartabat dengan tugas yang diembannya.
Seluruh penghuni dan tukang di kebun ini menuai manfaatnya. Bahkan masyarakat seputaran distrik ini salalu datang mengambil susu di sini. Mereka juga mengambil bibit-bibit Setaria dari kebun Yoga. Bahwa mereka bukan sekadar ilalang, bahwa mereka bukan hama walau terlihat sama di mata para tumbuhan hias yang hidup di taman Yoga.
Krisan Kecil menikmati obrolan semacam itu setiap hari. Ia juga tahu kalau sudah hampir tiba waktu Sang Setaria akan dipanen. Melihat ruas daunnya yang melebar dan batangnya yang semakin tinggi, ia barangkali akan dipanen beberapa hari ini. Ingin sekali mengucapkan salam perpisahan dan selamat berbahagia. Akhirnya ia menjadi dewasa dan berguna seperti pendahulu-pendahulunya. Apakah ia akan dijemur djadikan hay atau dimasukkan ke dalam Chopper untuk disajikan segar. Ah, mungkin saja diolah menjadi konsentrat bersama bahan baku lainnya.
“Maafkan aku, Sang Setaria...” gumam Krisan Kecil agak sedih. Terkadang ingin menjelaskan pada rasnya sendiri bahwa hidup para Setaria tidaklah semenyedihkan yang mereka kira. Mereka bahagia menjadi seperti apa adanya. Tapi belum lagi berbicara, Krisan Kecil sudah banyak disudutkan. Apalagi Ibu mengaku malu kalau ia masih membahas hal tabu semacam itu.
Krosak!
Terdengar suara tebasan di seberang. Tiba-tiba saja terlihat celana baggy dan sepatu boot Yoga sudah ada di hadapan Krisan Kecil. Baru kali ini ia berada sedekat ini dengan Yoga dalam beberapa bulan ini. Selama ini ia hanya menatap Yoga dari jauh sedang menekan kenop keran otomatis untuk menyalakan beberapa keran penyiram tanaman yang dibuat di beberapa titik di kebun ini.
Yoga ternyata sudah mulai memanen beberapa rumpun Setaria yang ada di depannya. Hati Krisan Kecil berdebar kencang. Ia sedikit panik karena beberapa batang di sebelah Sang Setaria, sahabat baiknya, sudah ditebas dan masuk ke dalam keranjang pengangkut. Tiba-tiba saking gugupnya ia berteriak memanggil temannya, “Setaria Muda!”
Semua mata menatap dan menoleh ke Krisan Kecil. Mereka menatapnya tajam, sementara ibu Krisan Kecil tak tahu bagaimana menyembunyikan wajahnya. Mukanya merah padam.
“Selamat tinggal! Selamat berbahagia dan menjadi berguna!” katanya setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya.
Sang Setaria menatapnya kagum dan berbinar. “Terima kasih, Krisan Kecil Putih. Semoga kau juga bahagia!” balasnya mantap. Ia merasa sangat bangga karena penghargaan Krisan Kecil. Setaria lain juga menatapnya kagum. Ternyata Sang Setaria sudah mengabarkan tugas mulianya pada tanaman lainnya, bahwa mereka juga berguna, mereka bukan hama, mereka dibutuhkan.
Krosak ...
Sang Setaria dipangkas daunnya dan mendarat dengan baik ke keranjang pengangkut sambil tetap tersenyum bangga. Tinggal Krisan Kecil dengan hati yang baru saja lega sesaat dan kembali dicekam cemas. Ia pasrah dan berusaha menghibur hatinya sendiri, toh aku tak salah, pikirnya.
Hari ini memang terik luar biasa, Yoga rehat dan melepaskan topi rimbanya. Kali ini tepat di sebelah Krisan Kecil, sambil menatap tumpukan Setaria. Semilir angin membuat bunga dandelion terlepas dari tangkainya. Terbang searah tiupan angin. Yoga menikmati pemandangan menenangkan itu. mengikuti arah dandelion yang terbang dan kemudian tersangkut di kelopak Krisan Kecil.
Krisan Kecil terkesiap tapi lebih terkejut lagi ketika sadar Yoga mendekatinya dan menepis dandelion dari kelopaknya perlahan. Krisan lainnya menahan nafas menyaksikan adegan itu. Krisan Kecil tampak begitu bahagia dan sumringah. Ia keluarkan seluruh daya tariknya di depan mata Yoga yang memang sangat menyukai warna putih.
Selarik senyum terulas di wajah Yoga, ia spontan mengeluarkan gunting ranting dari kantong celana baggy-nya dan memetik Krisan Kecil. Meletakkan hati-hati di atas tumpukan Setaria dan membawanya pulang.
“Krisan Putih!” Sang Setaria menatap kaget ke sebelahnya.
“Lihat, Setaria Muda! Lihat! Yoga memilihku! Yoga membawaku pulang!”
Mereka berdua seolah merayakan bahagia dalam keranjang pengangkut. Setiap krisan yang mereka lalui terperangah dan menatap iri. Ibu Krisan terharu dengan pencapaian anaknya.
“Sampai jumpa Ibu,” kata Krisan Kecil sembari berlalu bahagia.
“Maafkan Ibu, Sayang. Selamat jalan, nikmati harimu...” Jawab Ibu Krisan lega.
I really don't know your language, but I so love the picture.
Thank you for visiting my blog. I really want to translete this fiction for you, but I don't think I'm good enough. Maybe at the next post I will try to write bilingual.
This is only fiction story about a flower, its name is Krisan Kecil. She wanted to make a friend with another plan around the garden but her mom asked her to make a friend only with similiar flower. at the last she shows to everyone that every plan has uniqeness. This story is about equality.
I took a picture from the source that I wrote down under the picture. Hope you enjoy it @raibow.
kalau cerita hewan disebut fabel, kalau tanaman seperti ini apa ya istilahnya?
Haiii, Ihaaan! Senang kali Ihan singgah di sini.
Tau gak, kalau ide cerita ini sebenarnya datang setelah memandangi foto bunga krisan yang Ihan kirim di grup GIB. Hahaha...waktu Kakak minta bibit itu, looh :D Setelah tulisan jadi, Kakak cari-cari foto bunga itu di album, tapi udah nggak tau lagi di mana...
i love this story.... bagus, Kak. Aku hanyut dalam alur ceritanya.
😍😍 makasih Ihan. Kalau udah Ihan yang bilang begitu, rasanya berbunga-bunga 💞
Bagus sekali ceritanya
Imajinasi tingkat tinggi
Sambil baca sambil menghayalkan anime bunga
Ditunggu kelanjutannya
Terima kasih @bundaqubeki. Insyaallah ada fiksi-fiksi lainnya. Dipantengin aja blognya ya. Hihihi...hope you enjoy it!
Postingan yg sangat bagus
Terima kasih sudah mampir ya, @dekka. Kamu kok manis sekali yaa 😅😅😅
Haha
Fiksi yang diimajinasikan dengan sangag baik, pembaca jadi terbawa dan menikmati sekali isinya. Cerita juga seperti menggambarkan kehidupan manusia 😁
Terima kasih rekomendasi dan komentarnya ya, Kak 🌷🌷🌷🌹
Masama 😍😊