Bukan Sebuah Keputusan | it's not a Decision |

in #fiction7 years ago

“Seandainya diberi uang seratus juta, mau tidak kamu memutuskan hubungan dengan kekasihmu?”



Source


Keasyikanku merakit rangkaian penyadap parabola seketika saja terganggu ketika mendengar suara pintu dibanttig. Sontak aku menoleh kebelakang. Beberapa langkah di depan pintu. Hadi berdiri sambil berkacak pinggang. Wajahnya merah padam, napasnya memburu seperti orang yang baru saja berlari puluhan kilometer. Keadaan itu sudah ckup bagiku untuk memastikan bahwa ada yang tidak beres dengan rekan sekamarku itu.

Keadaan seperti itu kubiarkan berlalu beberapa menit. Ketika kondisi Hadi sudah normal, aku baru berani membuka mulut.

“Ada apa, Di?”

Hadi maju beberapa langkah. “Aku merasa terhina sekali, Wis. Harga diriku seperti diinjak-injak!”

“Kenapa, Di?” aku mengambil posisi yang enak. Kurasa sebentar lagi aku akan mendengar sebuah cerita yang sangat menarik.

“Mama Itra menghinaku. Dia bilang aku nggak pantas pacaran dengan anaknya. Aku pacaran dengan Itra hanya ingin menikmati harta orang tuanya. Itu sama sekali nggak benar!”

Hadi terdiam. Matanya nampak garang memandang ke sudut kamar. Tak ada apa-apa disitu yang dapat membangkitkan amarah Hadi, selain circuit peralatan Hi-Fi yang sudah usang.

“Duduk dulu, Di,” aku bangun dari kursi dan membimbing Hadi duduk di atas tempat tidur. Langkah ini memang sengaja kulakuakan untuk menurunkan amarah Hadi.

“Terus?” tanyaku sambil menjatuhkan tubuh di sisi cowok itu.

“Katanya aku pacaran dengan Itra agar bisa membayar uang kuliah, membayar sewa kamar dan entah apa lagi. Aku lupa. Kalau memang tujuanku untuk itu, dia akan memberikanku uang berapa saja yang kuminta. Satu juta, dua juta, bahkan seratus juta, aku bisa ambil sekarang juga. Tapi hubunganku dengan Itra harus segera diakhri.”

Wah, sampai begitu jauhnya?

“Aku malu sekali, Wis, Soalnya dia ngomong begitu di depan Itra, Mas Alda, bahkan pembantu mereka juga ikutan dengar. Mau taruh dimana mukaku ini, coba!”

Dalam keadaan normal, ucapan Hadi itu pasti akan kutanggapi dengan tawa. Tapi kali ini merupakan pengecualiannya.

“Terus, reaksi Itra bagaimana?”

Hadi tersenyum masam, “Itulah yang membuatku sakit hati. Itra diam saja mendengar mamanya menghina diriku. Padahal kalau mau, dia bisa membelaku,” sesalnya.

Wah, pasti cewek itu sedang nggak beres. Masak sih dia tega membiarkan mamanya ngatai Hadi macam-macam.

“Aku nggak bisa terima penghinaan ini, Wis!”cetus Hadi kemudian.

“Lantas apa tindakan kamu selanjutnya?”

“Pertama, aku akan memutuskan hubungan dengan Itra.”

“Untuk mendapatkan satu juta?” tatapku sedikit kaget.

Hadi membalas menatapku dengan pandangan kurang senang. Itu tergambar jelas dalam sinar matanya.

“Aku nggak bakal menerima uang sepersen pun dari Mama Itra. Uang bukan segala-galanya. Harga diri masi jauh lebih mahal.”

Aku menyimpan senyum. “Tapi nggak ada salahnya kalau kamu terima, lho.” Kudekatkan mulutku pada telinga Hadi dan berbisik; “Sudah dua bulan kita nunggak sewa kamar, lho.”

“Untuk yang itu kita bisa cari jalan lain. Tapi yang jelas aku nggak mau menukar harga diriku dengan uang pemberian Mama Itra. Untuk urusan harga diri, apa pun mau kukorbankan!”

“Baguslah itu...,” komentarku setengah mengejek. Sesaat terbayang utang-utang Hadi padaku yang nggak pernah dibayarnya.

“Oh ya, apa tindakan kamu selnajutnya setelah memutuskan hubungan dengan Itra?”

“Aku akan balas menghina Mama Itra.”

“Dengan cara apa?”

“Itulah yang sedang kupikirkan.Tapi satu yang pasti, menghinaku ini jauh lebih kejam dan akan membuat sakit hati seumur hidup. Aku akan membuat Mama Itra nggak hidup, tapi juga nggak mati!”

Aku bergidik juga mendengar ancaman Hadi yang kejam itu. Tapi ketika dia menyadari dia tidak akan pernah berani melakukannya, aku jadi tersenyum sendiri. Jangankan aku membuat Mama Itra seperti yang dikatakannyya barusan, memutuskan hubungan dengan cewek itu saja dia tidak akan berani.

Sumpah mati, aku berani memastikan itu. Aku tahu siapa Hadi sesungguhnya. Aku mengenal anak itu luar dalam. Bukan saja karena aku tinggal sekamar dengannya. Tapi juga karena kami sudah bersahabat sejak kecil.



Source


Kalau mau dipikir lebih jauh, sebenarnya dia mendapat mendapat anugerah yang luar biasa sekali. Dengan wajah yang di bawah rata-rata, transfer uang dari ortu yang nggak pernah lancar, dia bisa mendapatkan Itra. Padahal cewek itu primadona di kampus kami. Cowok yang naksir dia seabreg. Lebih kaya dan lebih gaya dibanding Hadi yang mempunyai celana jins cuma empat potong itu.

Makanya ketika Hadi menggambarkan bahwa ia berhasil mendapatkan Itra, aku sama sekali nggak percaya. Rekan-rekan lain yang berada di sampingku waktu itu juga banyak yang tak percaya. Malah ada yang menanggapinya dengan sinis.

“Alaah, itu cuma triknya aja. Sengaja nyebarin gosip biar cowok-cowok yang naksir Itra pada mundur,” kata Heru Wiguna yang sering main ke rumah Itra pada malam Minggu.

Seminggu, dua minggu bahkan tiga minggu setelah mendengar berita itu aku masih tetap tidak percaya. Kupikir Hadi cuma main-main saja. Tapi ketika melihat dia semakin sering jalan bersama Itra, aku jadi ragu. Lebih-lebi pada malam Minggu dia sering minjam celanaku. Penampilannya rapi, jika keluar dia selalu pamit ke rumah Itra. Dua bulan melihat kejadian itu terus berulang, aku baru percaya seratus persen kalau Hadi telah menjadi cowok Itra.

Banyak yang berubah pada cowok itu kemudian. Kuliah tidak pernah absen lagi. Keperluan-keperluan vital seperti sabun, odol, shampoo, dan minyak rambut sudah menjadi tanggung jawabnya. Padahal dulu jangan harap dai mau membelikan barang-barang seperti itu sebelum disindir.

Perubahan seperti itu tentu mendatangkan keuntungan buatku. Aku tidak tahu dari mana Hadi mendapatkan uang untuk membeli barang-barang itu. Tranferan dari ortu jelas tidak mungkin. Soalnya tiap bulan hanya cukup untuk membeli keperluan kuliah. Itu pun harus ngutang.

Perubahan lain yang terjadi pada Hadi adalah cowok itu jadi rajin membersihkan kamar. Letak meja belajar dan tempat tidur selalu berpindah setiap bulannya. Dan itu dikerjakan seorang diri!

Jadi, aku pun ikut bersyukur karena Hadi berhasil mendapatkan Itra. Selain bisa menghemat, aku tidak perlu menyediakan waktu khusus untuk membersihkan kamar. Makanya tidak herankalau aku berharap hubungan Hadi dengan Itra akur-akur selalu. Yah, setidaknya sampai kuliah kami selesai.



Source


Tapi harapan itu agaknya harus kukubur dalam-dalam. Untuk kedua kalinya, Hadi kembali membuat kami terkejut.

Kami sedang duduk-duduk di kantin ketika anak itu datang dan mengatakan hubungannya putus sejak hari ini.

“Kamu mutusin dia?” aku yang paling kaget di antara rekan-rekan lain.

“Ya!” sahut Hadi mantap. “Aku ‘kan sudah bilang ke kamu kemarin sore,” sambungnya tanpa merasa sedih sedikit pun.

Anak-anak lain tercengang.

“Gila, kamu bakal nyesel seumur hidup!” sentak Iyan.

“Kamu nggak akan ngomong begitu kalau tahu persoalan yang sebenarnya,” sahut Hadi tenang.

“Itra ngelaba dengan cowok lain?”

Hadi tersenyum, lantas menggeleng.

“Jadi?”

“Harga diri, harga diri, harga diri jauh lebih berharga dari apa pun juga, termasuk cinta. Mama Itra telah mengusik harga diriku. Dia telah menghinaku. Dia....”

Aku segera menarik Hadi ke luar sebelum anak itu kelepasan bicara. Kubiarkan anak-anak lain menatap heran. Sampai di tempat yang sunyi, aku mendudukkan Hadi di atas lantai. Aku pun ikut duduk di sisinya.

Lima menit berlalu tanpa suara.

“Kamu nggak pantas membeberkan persoalan itu di depan orang banyak. Masak sih kamu mau membuka aib sendiri. Malu dong!”

“Sengaja. Biar mereka nggak ssembarangan lagi kalau naksir cewek itu.”

Aku menghembus napas panjang.

“Jadi benar sudah mutusin Itra?”

Hadi mengangguk mantap.

“Nggak nyesel?”

“Untuk urusan harga diri, Hadi Andria nggak pernah nyesal,” sahut jumawa.

“Seharusnya kamu nggak mengambil keputusan yang ekstrem begitu. Yang menghina kamu ‘kan Mama Itra, jadi nggak bijaksana kalau cewek itu ikut menanggung akibatnya. Saranku, kamu harus menjumpai Itra sekarang juga. Minta maaf pada cewek itu.”

“Minta maaf?” tanya Hadi dengan suara tinggi dan mata sedikit melotot.

“Memangmua aku punya dosa apa?”

“Nggak ada dosa apa-apa. Tapi kamu telah gegabah dalam mengambil keputusan. Pikirkan lagi, deh. Dalam hal ini yang bersalah adalah Mama Itra. Kamu bakal nyesal dan rugi besar kalau mutusin cewek itu. Mana ada cewek lain sebaik dan secantik dia di kampus ini. Masak sih pikiran kamu nggak sampai ke situ?”

“Aku sudah pikirkan sepuluh kali untuk keputusan ini, Wis. Akan kubuktikan pada Mama Itra bahwa aku nggak mengharapkan hartanya. Aku bubar dengan anaknya tanpa menerima uang sepeser pun.”

“Tapi Di....”

“Keputusanku ini nggak dapat diganggugugat lagi. Aku nggak mau menelan ludah yang sudah keluar. Dan kamu jangan coba-coba mempengaruhiku!”

Aku tidak tahu ngomong apalagi. Agaknya keputusan Hadi itu memang sudah dipikirkan masak-masak. Semua saranku sepertinya sudah tidak berguna lagi.

“Di” panggilku ketika cowok itu hendak melangkah pergi. “Keputusanmu itu bukan berdasarkan emosi, kan?”

“Jelas bukan. Aku selalu mengutamakan akal sehat dalam setiap mengambil keputusan,” sahutnya sebelum berlalu.

Aku kembali menghembus napas panjang. Ketika berjalan melewati kantin, aku mendengar Hadi bicara keras-keras mengenai hubungannya dengan Itra. Untuk pertama kalinya aku tidak mengerti jalan pikiran sahabatku itu.
Kuputar langkahku menuju teman kampus. Di sana kulihat Itra duduk seorang diri. Mungkin dia bisa bercerita mengenai perubahan Hadi yang mendadak itu.



Source


Pulang kuliah, aku melihat Hadi termenung di depan jendela. Begitu khusuknya dia hingga tidak mendengar salam yang kuucapkan.

Aku mencolek pinggangnya hati-hati. Dia menoleh sekejap sebelum kembali membuang pandang keluar jendela.

“Ada apa, sih?” pertanyaan itu kulontarkan tanpa membutuhkan jawaban. Bahkan aku langsung menulikan telingaku dengan berkonsentrasi pada laptop ibu kos yang minta diperbaiki. Aku sudah letih memikirkan Hadi. Barang-barang elektronik rusak yang bertumpuk di kamarku kini membutuhkan pemikiran yang lebih serius.

Sambil meraih multimeter digital di kolong meja, aku melirik Hadi sekilas. Cowok itu masih tetap seperti tadi. Hanya saja wajahnya kini nampak semakin murung.

Hadi sahabatku, lanjutkan saja kesedihanmu. Aku sudah tahu semuanya.

“Wis....,” terdengar suara Hadi memanggilku. Aku pura-pura tidak mendengarkan. Wajahku sengaja kudekatkan dengan papan sirkuit.

“Wis....,” suara serak Hadi kembali terdengar. Kali ini aku tidak tahan untuk tidak menolehnya.

“Ada apa, sih?” pertanyaan itu lagi yang meluncur dari bibirku. Tapi kali ini aku tak membutuhkan jawaban dari Hadi.

“Aku merasa berdosa padamu,” katanya tanpa menoleh sedikitpun.

“Lho, kenapa?” tanyaku pura-pura kaget.

“Aku ini manusia yang nggak tahu diri. Aku manusia yang nggak tahu diuntung, manusia yang nggak pandai bersyukur.”
Hadi memutar tubuhnya. Mungkin sebentar lagi aku akan mendengar sebuah pengakuan yang jujur.

“Aku benci pada diriku sendiri karena nggak berhasil menjaga hubunganku dengan Itra. Aku terlalu dimabuk kesombongan, Wis. Keberhasilanku mendapatkan Itra membuatku jumawa hingga lupa siapa diriku sebenarnya.”

Aku menelan ludah. Hadi tersenyum getir. Lalu, “Sebenarnya aku nggak pernah memutuskan Itra. Tapi dia yang memutuskan aku.”

Aku kembali berpura-pura kaget. Tapi dalam hati aku berkata: “Ya, ya, ya. Aku tahu. Siang tadi Itra menceritakan semuanya.”

Cerpen ini pernah dimuat di majalah Anita Cemerlang nomor 548 edisi 24 Juni – 3 Juli 1996.



Source


Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Sangat luar biasa bg @ayijufridar...
Lagak that

"Fiksi" atau fiksi bg @ayijufridar? Hehehe...

Fiksi tanpa tanda kutip @ampondel. Saleum.

Saya pikir "Fiksi", karena ada teman yang berkomentar seperti kejadian sebenarnya.

Cerpen luar biasa! Tapi, gambarnya kok itu ya? Hahaha

Itu gambar si Itra @hermanrn. Waktu di akuliah di Politeknik Negeri Unsyiah, tahun 1995 silam. Nama lengkapnya Dini Itra Agustina. Bapaknya kerja di PT Arun waktu itu. Sudah nyambung gambar dengan ceritanya. Oh ya, pasti @hermanrn kasih komen tanpa baca. Hehehehe....

Kalau belum baca mana mungkin komen. Vote aja. Itu si Itra salah alamat. Unsyiah tak ada Politeknik, yang ada poligigi hahaha

Justru Pak @hermanrn salah alamat. Saya ini lulusan Politeknik Negeri Unsyiah tahun 1996. Kampusnya di Buketrata. Ijazah saya diteken oleh Prof Dr Dayan Dawood. Sekarang namanya Politeknik Negeri Lhokseumawe. Waktu itu @hermanrn masih SMA atau SMP, ya?

Berarti abang leting dong. Saya lulusan tahun 2001. Jurusan Teknik Sipil.

Benar @aspariahmarzumi. Tapi tak sempat jumpa karena saya sudah keluar letika Aspariah masuk.

Oo.. Itu namanya Politeknik Lhokseumawe hahaha

Nah. Itu baru betul. Poliklinik Lhokseumawe....👍👍👍👍😂🤣😅

Pagi pagi baca novel :) alur cerita bagus

Terima kasih @voodoovan. Saleum takzim.

cerita ini hampir mirip dengah kisah cinta ku beda nya sama-sama miskin sama berharap yang lebih material nya.

Miskin itu malah menginspirasi kita untuk berubah. Kata Bill Gates, kalau kita dilahirkan sebagai orang miskin, itu bukan kesalahan kita. Tapi kalau kita mati sebagai orang miskin, maka itu adalah kesalahan kita.

Kami tunggu edisi berikutnya... Good job

Terima kasih @muhamadiman. Saleum sukses.

Salam sukses juga bang @ayijufridar... Kami tunggu meet up ksi berikutnya! He he he

Salam sukses kembali @muhammadiman.

Cerita yang bagus bang, mungkin cerita ini jadi inspirasi buat kita bersama, hidup tidak akan selamanya indah... Salam bamg... Pjan jak lom u timu?

Memang benar @suhaimiaceh. Hidup memang tidak selamanya indah dan hidup juga tidak selamanya tidak indah. Kalau ada undangan dari sahabat di Aceh Timur, pasti akan lebih indah, hehehehe.... Pokok siap barangkajan.

Salam aiqabrago Aceh Timu menurot dron bang.... Hehehehe

Hahahaha, cocok nan lakap nyan.

Bukan Bang Ayi namanya bila tak mampu menghidupkan. Suasana dalam cerita. Alhamdulilah saya tidak perlu mengalaminya, setragis ini.

Pak Pemred @muhajir.juli pasti punya kisah cinta lebih menarik lagi. Ditunggu buku fiksi tentang kisah cinta di masa lalu.

Udah aku baca bang ya 😅😅, keren story nya bang pagi ini😄😄

Terima kasih @danialves. Selamat berakhir pekan.

Hahahah kesombongan yang membawa sengsara....... Selamat pagi salam rindu aja buat bg @ayijufridar

Makanya jangan bangga berlebihan ketika mendapatkan cewek cantik, pekerjaan hebat, dan dapat voted banyak, hehehehehe....

pagi ini dengan segelas kopi dan cerita cinta bg @ayijufridar... Hehehhe

Terima kasih @shofie. Kisah cinta mahasiswa era 1990-an.

Ini true story bukan fiksi hahaha....

Sssst, jangan ribut-ribut Sista @mariska.lubis. Memang mirip kisah cinta sahabat saya. Nggak sama persis, ada bagian yang mirip.

Kebayang Majalah Anita Cemerlang dengan ilustrasi lukisan cewek2 cantik mirip2 artis sinetron jaman now :)

Majalah Anita Cemerlang memang sangat inspiratif Bunda @rayfa. Ketika itu, kalau dibuat cerpen di Anita rasanya gimanaaa gitu. Kuliah saya di Politeknik selesai karena Anita.

Ya bg.. sering baca majalah itu di tahun 90-93, setelah itu terpaksa baca literatur yg tebal2, buku2 chemical engineering :D

Saya sangat produktif menulis di Anita dulu, sebab biaya kuliah dari hasil menulis.

Hehehe.. keren, saya langsung stress kalau udah pelajaran mengarang, bisanya cuma pada suatu hari....

tadinya nama Maya kebawa- bawa...sekarang malah nama Hadi...ah semoga bukan BH ku bng ( BH : Bang Hadi) @hadimemories ...hahaha

Jangan-jangan itu pengalaman BH dulu semasa kuliah, sebelum bertemu dengan @lusanamaya, hehehehe. Tapi secara karakter beda, kok. Keren sebutan @hadimemories, BH alias Benda Hangat.

iya ya...Benda Hangat ya...wuikh ...gagal fokus.haha..kenyataan itu adalah benar beda karakter ...jauuuuh . Bang ditunggu kelanjutannya " Fanny - Dudu " ya??👳😳😳😳

Kereeen. Suka sama cara menghadirkan kejutannya.

Terima kasih @anggreklestari. Namanya bagus.

Salam kenal, Bang.

Butuh banyak belajar nulis fiksi yang terasa bukan fiksi nih 😁

Platform Steemi adalah tempat yang tepat untuk belajar @anggreklestari. Di sini sekarang sudah banyak penulis hebat.

Siaaap @ayijufridar semangat belajar di steemit nih. 😊😊😊

Great @anggreklestari. Banyak penulis hebat di sini yang siap membantu. Saya juga belajar sama mereka.

Cerpennya menarik, pantas masuk di majalah. Dan asyiknya, karya zaman old selalu memiliki makna tersendiri. Terima kasih bang @ayijufridar atas cerpen yang mengingatkanku kepada seorang teman. Hahahahha

Sama-sama @andrianhabibi. Nanti sore hadir di Kalibata nggak?

Ah.Majalah Anita Cemeroang. Aku pernah mengoleksi tiap edisinya pada masa itu. Dan sekarang entah dimana edisi-edisi itu. Entah masih tersimpan atau udah menjadi makanan sijago merah di rumah mamaku.

Hahahahhaa... awalnya sombong, abis itu merasa gak pantas untuk sombong... Baguus cerpennya bg @ayijufridar..

Terima kasih @irasiregar. Orang seperti itu banyak di sekitar kita.

Hahahahaha....
Lucu juga cerita ini. Ku kira tadi ini kisah pribadi Bg @ayujufridar, terasa begitu nyata. Eh, rupanya cuma cerpen

Sebuah nostalgia. Jadi inget jaman SMA. Sambil mojok baca Anita Cemerlang.

Emang @aimeehariss pernah SMA? Bukannya begitu lahir langsung kuliah? 🤣😂😅