Another Name | Sebuah Nama Lain |

in #fiction7 years ago

Rida laid out a teen magazine she'd just read through among the piles of other magazines. The sense of disappointment painted clear on his face after seeing no work that is published in a special magazine fiction.

"What happen?" asked Ninuk who had just returned from upstairs. He stuck a packet containing several pieces of baby clothes for his nephew.

Rida shook her head slowly. After purchasing a new edition Anita magazine, Rida immediately invites Ninuk home.

"Why, he said you want to drink first. Why is different with all plans?" Ninuk protested.

"The promise becomes more memorable because it is denied. Never mind, do not have much protest. I'm in a bad mood," Rida grabbed the packet from Ninuk's hand. And before Ninuk opened his mouth again, Rida hurriedly jumped into the back saddle of the motorcycle.

Frowning, Ninuk turned on his motorcycle.

"Rida, it seems like I have not read your short story in the media," said Ninuk when they were on the highway. The streets are still quiet. They are free to talk without being distracted by the sound of a vehicle engine.

"I do not know why. In fact, my short story stock quite a lot in some media. But no one has loaded any seed," Rida said half complained.

"Maybe your short story is not yet qualified to be loaded."

"If it does not qualify, it must be notified."

“Maybe it's been loaded somewhere else, you don't know! "

"What’s do you mean?"

"Your stories have been loaded in the trash can!" Nunik said with a loud laugh. But a second later the girl screamed hysterically because Rida's hands are full of riveted nails like tiger's nails, twisting Nunik's stomach skin.

Minutes later, Ninuk dismissed his bike in front of a house in front of Jalan Kemuning. Rida who sat in the back immediately jumped down. "Please stop by for a while," she offered a small talk.

"Thanks, next time. I want to meet soon Mbak Pier and her junior," Ninuk said before sped away.



Source


While lying on the carpet in his room, Rida flicked through the magazine Anita he had bought. The girl was impressed with the short story titled Aku pun Pernah Luka which this time the main story. The short story is exactly the same as the short story she sent to the magazine Anita four months ago.

After taking a comfortable position, Rida began to read the short story carefully. The first and second paragraphs he passed without feeling anything. But entering the third paragraph and so on, Rida began to feel something else with the short story. And the third Rida had read half of it, then he realized that the short story is exactly the same as the short story of his work. Not only the name of the character but the storyline, setting, even to the sign of reading.

Rida again saw the name of the author who had not been read carefully. Widdy Nopinda. Rida had never heard of the author's name. Probably a new writer or a senior writer but using a pseudonym.

Suddenly Rida's bedroom door opened. Wida, her younger sister in junior high school, stood under the door frame. Her hand flanking a recent edition of the Anita magazine. The young girl looked at Rida guiltily.

Rida waved her hand to her sister. But Wida instead ran out after throwing the magazine before Rida.

Rida shook her head as she grabbed the magazine on the floor. He knows Wida is Widdy Nopinda because he often asks his sister to type a short story script on the computer when she is busy with college assignments. It's okay, this time Rida will forgive her sister's mistake. However, Wida must also know how valuable intellectual property.[]

This short story was published in Anita magazine No. 498 edition dated 16 - 25 January 1995.


Anita_02@dok.jpg


Kaver Anita@ayijufridar copy.jpg


Sebuah Nama Lain

Oleh @ayijufridar

Rida meletakkan sebuah majalah remaja yang baru saja dibacanya di antara tumpukan majalah lain. Rasa kecewa terlukis jelas di wajahnya setelah melihat tidak ada karyanya yang dimuat di majalah khusus fiksi tersebut.

“Ada, Rid?” tanya Ninuk yang baru saja kembali dari lantai atas. Dia meneteng sebuah bungkusan berisi beberapa potong baju bayi buat keponakannya.

Rida menggeleng lesu. Setelah membeli sebuah majalah Anita edisi terbaru, Rida langsung mengajak Ninuk pulang.

“Lho, katanya tadi mau minum-minum dulu. Kok jadi lain dengan rencana semua?” protes Ninuk.

“Janji menjadi lebih dikenang karena diingkari. Sudahlah, tidak usah banyak protes. Aku sedang bad mood, neh,” Rida merebut bungkusan dari tangan Ninuk. Dan sebelum Ninuk membuka mulut lagi, Rida buru-buru melompat ke sadel belakang sepeda motor.

Sambil bersungut, Ninuk menghidupkan sepeda motornya.

“Rida, sepertinya sudah lama aku tidak baca cerpen kamu di media,” kata Ninuk ketika mereka sudah berada di jalan raya. Jalanan masih sunyi. Mereka bebas bicara tanpa terganggu dengan suara mesin kendaraan.

“Itulah, Nuk. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Padahal, stok cerpenku lumayan banyak di beberapa media. Tapi kok tidak ada yang dimuat sebiji pun,” sahut Rida setengah mengeluh.

“Mungkin cerpenmu belum memenuhi syarat untuk dimuat.”

“Kalau tidak memenuhi syarat, pasti diberitahukan.”

“Mungkin sudah dimuat di tempat lain, kamu nggak tahu!”

“Maksudmu?”

“Cerpen-cerpenmu sudah dimuat di tong sampah!” sahut Nunik sambil tertawa keras. Tapi sedetik kemudian gadis itu menjerit histeris karena tangan Rida yang penuh dengan kuku rincing seperti kuku harimau, memelintir kulit perut Nunik.

Sepeluh menit kemudian, Ninuk memberhentikan motornya di depan sebuh rumah di depan Jalan Kemuning. Rida yang duduk di belakang segera melompat turun. “Nggak singgah dulu, Nuk?” tawarnya berbasa-basi.

“Thanks, lain kali saja. Aku ingin segera berjumpa dengan Mbak Pier dan juniornya,” sahut Ninuk sebelum melesat pergi.


Sambil rebahan di atas karpet di dalam kamarnya, Rida membuka-buka majalah Anita yang tadi dibelinya. Gadis itu terkesan dengan cerpen berjudul Aku pun Pernah Luka yang kali ini menjadi cerita utama. Judul cerpen itu persis sama seperti cerpen yang dikirimnya ke majalah Anita empat bulan lalu.

Setelah mengambil posisi nyaman, Rida mulai membaca cerpen itu dengan saksama. Paragraf pertama dan kedua ia lewati tanpa merasakan sesuatu pun. Tapi memasuki paragraf ketiga dan seterusnya, Rida mulai merasakan ada yang lain dengan cerpen itu. Dan ketiga Rida sudah membaca setengahnya, barulah ia sadar bahwa cerpen itu sama persis dengan cerpen hasil karyanya. Tidak hanya nama tokoh, tetapi alur cerita, setting, bahkan sampai ke tanda bacanya.

Rida kembali melihat nama penulisnya yang tadi tidak sempat dibaca dengan teliti. Widdy Nopinda. Rasanya Rida belum pernah mendengar nama penulis itu. Barangkali penulis baru atau bisa jadi penulis senior tetapi menggunakan nama samaran.

Tiba-tiba pintu kamar Rida terbuka. Wida, adiknya yang masih kelas satu SMP mematung di bawah bingkai pintu. Tangannya mengapit sebuah majalah Anita edisi terbaru. Gadis belia itu menatap ke arah Rida penuh rasa bersalah.

Rida melambaikan tangan menyuruh adiknya masuk. Tapi Wida malah berlari ke luar setelah melemparkan majalah itu ke hadapan Rida.

Rida menggelengkan kepala sambil meraih majalan itu di lantai. Dia tahu Wida adalah Widdy Nopinda, karena dia sering meminta bantuan adiknya untuk mengetik naskah cerpen di komputer ketika ia sibuk dengan tugas kuliah. Tidak apa-apa, kali ini Rida akan memaafkan kesalahan adiknya itu. Namun, Wida pun harus tahu betapa berharganya hak cipta intelektual.[]

Cerpen ini dimuat di majalah Anita Nomor 498 edisi tanggal 16 - 25 Januari 1995.



Source


Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Are you ever make another name in your writing? What the name?

I never use a pseudonym. Wearing a real name is better in my opinion because there is nothing I have to cover.

Kadang nama samaran lebih dikenal dari pada nama aslinya...

Banyak penulis terkenal menggunakan nama samaran dan lebih terkenal dibandingkan dengan nama aslinya.

“Janji menjadi lebih dikenang karena diingkari",
Sebuah kalimat yang sangat kuat dan mengena sekali, mantap bg..😀

Terima kasih @akar-rumput. Tapi jangan sampai kita mengingkari janji hanya karena ingin dikenal.

Duuh, melihat majalah lawas itu jadi ingat masa belia dulu. :)

Dulu saya selalu bersemangat mencari majalah Anita, Aneka, atau majalah Gadis terbaru untuk melihat adakah cerpen saya yang dimuat.

Nick name or user name :D

Saya suka teka-teki silangnya :D

Mantap bang. Memberikan sedikit pencerahan untuk mengulas kisah yang lampau.