(15)
“26 tahun sekian bulan”
Dialah perempuan yang sulit ku terka. Usianya masih 26 tahun sekian bulan cantik tiada terbilang, tapi aku tak mengerti kenapa begitu yakin 26 tahun sekian bulan kemudian dia akan tetap cantik tiada berkurang. Sudah cukup lama aku melewati hari bersamanya, kebiasaan memahaminya terus aku telan dengan manis tiada peduli aku nanti terserang gula darah, terlalu manis teman. Kenapa aku bisa demikian? Senyuman pananya begitu mengguncang mampu mengalahkan amarahnya yang bisa aku redam terhempas pekat rasa dalam sekejap.
Belum lama, masih berapa hari lalu, peristiwa yang begitu menjengkelkan Dita persembahkan, alasanya aku masukkan saja ke akal, itu setelah dia jujur, aku telan memang, sudahlah aku ambil kesimpulan. Diam mungkin cara terbaik menjelaskan saat landa terbakar itu, tapi sia, tetap sudahlah.
Hampir tiga bulan akau dan Dita tidak berjumpa, secara sendirinya rindu yang sempat terikat bisa menghirup segarnya udara pertemuan, ahh Dita sudah berdiri di gerbang bangunan lima lantai itu. Masih seperti biasa balutan merah warna baju yang begitu disukainya di padu dengan rok hitam bergaris-garis timbul, aku masih jauh sekian meter darinya, aku masih menunggu memperhatikan apa yang akan dilakukannya sendiri tanpaku. Aku biarkan sekian menit melihat tingkah sendirinya, tidak ada lain yang bisa di mainkan dengan jari tangan gemulainya, aku lebih suka menyebut jarinya mulai bengkak, tapi tak lain itu karena aku begitu bahagia melihat Dita tersipu malu bercampur marah manja.
Dita masih belum sadar dengan kedatangannya yang hanya berjarak sekian meter darinya, tepatnya di halaman parkir gedung berlantai lima yang baru siap di bangun dua tahun yang lalu. Sengaja memang aku coba memancing perempuan yang begitu aku sayang agar marah, aku seperti ada kelainan dalam psikis karena begitu menikmati setiap kemarahan Dita, dia sendiri begitu mudah menyulut api amarahnya. Aku sempatkan diriku singgah ke gerai kopi cepat saji, tapi aku butuh sepuluh menit sampai kopi itu dituang ke dalam cup yang bisa aku bawa tanpa harus meminum di gerai tersebut. Aku tak perlu memberi tau kopi apa yang barusan aku pesan, aku gampang lupa kalau sedang menikmati Dita yang hampir mulai marah kali ini dia masuk ke dalam swalayan yang ada di gedung lantai lima itu.
“kenapa lama”, itu pesan yang terus dikirim melalui pesan instan yang niatnya supaya aku cepat menemuinya. Aku yakin rindunya melebihi rinduku. Dita masih cantik saja, hatiku terlalu lebay untuk mengatakan itu. Masih aku perhatikan, perpaduan cara dia berjalan dengan ekpresi yang mulai terlihat dari wajah Dita membuat aku menyudahi niat meledakkan amarah Dita.
Mulai aku dekati, dia sedang mengarah ke tangga berjalan untuk naik ke lantai dua, aku mengikuti Dita yang tanpa menoleh sedikitpun kebelakang, ini yang buat aku begitu yakin pada gadis berusia 26 tahun sekian bulan cantik tiada terbilang, bahwa melihat kebelakan hanyalah ahh biarlah apapun itu, yang pastinyanya dibelakang Dita sekarang jalan menuju masa depannya, itulah aku, sulit orang memuji, hanya diri sendiri terus menerus bahkan selalu.
**
Aku sergap dia dari belakang, “sayang” pipinya memerah biarpun bedak yang dipakai hari itu sedikit membantu mencerahkan merahnya. Lalu kami, aku menghabiskan kopi ku, Dita coba mengubah warna pipinya sekalian diam, kami berjalan keluar dari swalayan di lantai dua tanpa membeli apa-apa, keamanan di depan pintu tetap menggratiskan senyumannya. Rindu aku dan Dita mulai merenggang.
Kita jalan menghantam rindu.
sweet kali kok 😳
Udah sembuh ya buk 😂
sembuh apa bang agus ?
Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by agsdiansyah. arbi from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, theprophet0, someguy123, neoxian, followbtcnews/crimsonclad, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows and creating a social network. Please find us in the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.