Didikan Terbiasa

in #fiction7 years ago

Bersama angin yang menyelinap masuk ke dalam mobil, aku sejuk menikmati arunika dari balik Seulawah Inong yang menghamparkan cahaya ke atas bentangan sawah. Tetes-tetes air berbutir kecil melayang-layang di udara. Embun-embun masih membawa cerita yang sama ketika menghampiri ilalang. Bukan hanya aku, burung-burung pipit pun begitu terpana memandang suasana.

ilustrasi-ayah-dan-anak-karyapuisi-com_.jpg
source

Pagi ini, perjalanan menuju rumah nenek terasa begitu sepi. Aku hanya berdua ayah saja. Sembari mengemudi, seketika ayah memecah sunyi, "Lihatlah anak-anak itu, berbeda dengan aku kala dulu." Memang tampak dua-tiga anak sekolahan bercelana biru dongker rapi. "Dulu aku menenteng plastik kacang-kacang, sambil pergi ke sekolah ku titip kacang-kacang itu di warung dekat sekolah. Semuanya kubuat sendiri, itung-itungan hasilnya bisa untuk membiayai uang sekolahku." Aku hanya mendengar, meskipun aku tahu betul kemana arah celoteh ayah. “Bajuku, bajuku tak serapi itu, compang-camping.” Tambahnya, sambil menunjuk-nunjuk anak-anak yang segera kami lewati.

Cerita lama ini sudah sering dilantunkannya. Mungkin itu semua adalah hal yang patut dibanggakan oleh ayah, setelah susah payah ayah menerjang deras arus badai demi mencapai kesuksesannya seperti sekarang. Aku tak tahu pasti apa pekerjaan ayah, sebenarnya aku pun tidak mau tau, apapun itu. Tapi sepertinya pekerjaan ayah mempunyai manfaat bagi orang banyak, semacam artis mungkin, entahlah. Pokoknya aku pernah beberapa kali melihat wajah ayah terpampang di pinggir-pinggir jalan. Senyum yang menyungging di bibirnya tak ada mati, tak peduli ia pada debu-debu yang berterbangan di sekitaran wajahnya. Dari poster-poster itu bisa kunilai hebat betul ayahku.

“Dari mana kau belajar mandiri seperti itu ayah?”

“Ya tentu dari nenek, nenekmu selalu mengajari ayah untuk hidup serba ada dan mandiri. Manfaatkan apa yang ada, lakukan apapun yang bisa dikerjakan. Dulu guru-guru ayah juga mengajari tentang pentingnya bekerja keras. Menghasilkan apapun dengan cara yang halal.”

Aku bingung, aku selalu berpikir bahwa aku harus sukses, tetapi ayah menunjukkan bahwa sukses berawal dari kemandirian, seperti jual kacang-kacangan yang ia maksud dari cerita lamanya. Sedangkan sekarang ini, aku tak pernah melihat dengan mata kepalaku ia memberlakukan hal semacam itu padaku. Aku kerap kali mendapatkan hal instan tanpa pintaan. Para guru-guruku di sekolah, guru di kelas kursusku, juga tidak mengajarkan hal semacam itu, semuanya hanya teori-teori yang membuat mata kepala berdesak-desakan ingin masuk ke alam bawah sadar, para guru-guruku tak sama seperti guru ayah, mereka terlihat hedonis dan “ketakutan”. Bahkan ayah sendiri tak pernah menyeru padaku untuk menjual kacang-kacangan dan hidup mandiri.

Ingin kukatakan buat apa ayah menyuap-nyuap aku dengan kehidupan yang serba mewah dan tak tahu diri. Ah, tapi benteng "keamanan" masih tinggi menjulang, aku tak mau menyakiti hati ayah yang sedang bersenang-senang dengan hasil jerih payahnya sendiri.

"Sekarang hidup kalian sudah enak, serba ada. Kau manfaatkan itu. Kau tak perlu mengulang hal yang sama. Cukup aku saja yang merasakan pahitnya getah hidup. Tak rela kualirkan itu pada kau. Yang harus kau lakukan sekarang adalah belajar, belajar, dan belajar."

"Tapi ayah, bagaimana jika suatu saat nanti aku terkungkung dengan keadaan yang serba menakutkan?" Wah tak betul ini, mengapa sepoi angin sungguh menyudutkan batin. Pikiranku menyeruak ke balik benteng "keamanan" yang menjulang tinggi.

"Menakutkan seperti apa coba?"

"Ya, aku terbiasa dengan kehidupan yang kau beri. Bagaimana nantinya jika aku mengharapkan sesuatu yang lebih dari ini? Aku haus akan kehidupan yang wah-wah. Aku memprioritaskan kehidupanku dengan mengenyampingkan semua realita yang ada. Aku tumbuh dengan egois terhadap pencapaianku. Mengapa tidak ayah ajarkan padaku sebagaimana yang pernah kau terima dulunya? Bukankah itu lebih menarik untuk mendidik karakter ku sebagai buah hatimu? ayah?"


source

Jalan kenangan terasa semakin begitu sunyi, tetes-tetes air telah luput terbakar panasnya sinar matahari. Ayah hanya mengatup bibir keringnya rapat-rapat. Dari balik keningnya yang berkerut tampak setumpuk rasa yang aku tak paham betul apa maknanya. Sementara aku hanya menunggu jawaban dari ulasan yang sungguh tak kuharapkan. Tentu saja jawaban itu tak kuharapkan sekarang, melainkan di hari-hari esok. Sepertinya ayah juga mengerti.

Sort:  

Super. Anak ayah ini