sumber
“Istri tak tahu diuntung. Kukawini kau, kuberi makan, inikah pelayanan yang kau berikan? Di mana otakmu, Rafika?” Osman membentak istrinya karena terlambat menghidangkan makanan buatnya.
Rafika tertunduk lunglai, bintik kecil keluar perlahan. Diam sembari melepaskan kenangan indah bersama suaminya itu. Di lorong sungai, tempat mereka kerap bertemu, di mana Rafika sering mencuri-curi waktu dari kesibukannya di rumah, itu dilakukannya demi bertemu dengan Osman. Kala itu mereka masih berusia belasan tahun. Dan itu dilakukan nyaris tiap minggu, kala Rafika senggang. Berbilang bulan mereka menjalin asmara, penuh kasih dan sayang. Perhatian Osman melebihi Ayahnya, setiap permintaan tanpa banyak tempo dipenuhi. Gumpulan kebahagian tersemat erat, berhasrat hidup bersama dengan Osman, apalagi Lelaki Bertubuh Sedang itu kerap menulis puisi buatnya, yang sajak itu memuji kecantikan Rafika. Telinganya pun kian melemah kala Osman membaca puisinya yang dicomot dari sajak Kahlil Gibran.
“Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini… pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang” Ucap Osman penuh semangat.
Minggu berikutnya, mereka bertemu lagi di tempat yang sama. Kali ini, Osman memilih tempat sedikit lindap. Kali ini, Osman tidak datang dengan puisinya, melainkan sebongkah niat bejat yang tertahan di urat lehernya. Perlahan ia memegang tangan mulus Rafika.
“Lepaskan dulu Bang, tak baik seperti ini” dia mengiba.
Osman tidak peduli, ia makin memperkuat genggamannya hingga membuat Rafika kesal. Setelah tangannya lepas dari cengkraman lelaki itu, dia berlari menghindar. Osman mengejar sehingga gadis itu terjatuh di sisi sungai.
“Jangan, Bang!” Teriak Rafika
Syahwat Osman membuncah, tertumpah tak ada lagi yang bisa menahan. Ia lirik kiri kanan lorong sungai sepi lengang. Rafika tidak berdaya dengan cengraman Osman yang begitu kuat. Osman mengangkat Rafika. Ia melawan, mencoba lepas dari perlakuan bejat Osman. Usahnya tak membuahkan hasil. Kini, Osman merangkulnya dan membobong tubuh semampai Rafika ke tempat lindap. Melihat tingkah Osman yang menggila, dengan sisa tenaga, Rafika berusaha berteriak tapi teriakannya disapu gundulan semak-semak yang merayap di sepanjang pinggir sungai.
“Demi Allah Bang, jangan!” Kata-kata itu meluncur dari mulut kecilnya.
Osman tidak peduli kata ‘Allah’. Dia lebih mendahulukan apa yang telah diinginkan sejak dahulu kala. Sejak dia melihat bagian leher Rafika yang mulus itu.
Rafika dipaksa pasrah oleh kekuatannya. Kakinya kaku di atas rumput kecil. Matanya berkaca-kaca. Osman menarik jelbab putih bersegi tiga, lucut meninggalkan guratan leher Rafika yang begitu mulus itu, gejolak Osman bertambah tatkala rambut rafika menyentuh kulitnya. Semua nampak sempurna di matanya, dia mencoba menikmati setiap detik perbuatan bejatnya, hatinya padam.
Setelah tragedi miris itu terjadi. Rafika menutup diri. Dia tidak lagi pergi ke balai pengajian. Dia menyendiri, dan menarik diri dari lingkungan sekitar. Ia tak lagi merindukan masa keceriaan di usai remaja. Rafika lebih memilih menghabiskan waktunya menangis di kamar sambil meminta ampun kepada Yang Kuasa. Dalam pada itu, orang tuanya bertanya-tanya akan tingkah Rafika yang drastis berubah belakangan ini.
“Kenapa kau ini, Nak?”Tanya ibunya.
Dia terdiam, terisak. Matanya sembab dan memerah. Ibunya bertanya-tanya.
“Bilang sama ibu kenapa?”
Dia bergeming tak mengucapkan sepatah katapun. Hanya suara isak tangis yang terdengar. Ibunya keluar, enggan memaksa anak gadis malangnya itu.Beberapa saat kemudian, ayah Rafika pulang. Sudah seminggu dia mencari rezki di gunung. Pulang membawa buah cempedak, buah kesukaan Rafika.
“Nak Fika, ayah pulang.” Kata ayahnya di saat memasuki pintu.
Ibunya mendekati.
“Tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan anak kita. Di saat mama tanya, dia hanya diam.”
Lantas giliran ayahnya yang kelabakan. Ayahnya pun masuk ke kamar Rafika. Dia masih menangis.
“Kenapa kamu menangis, Fika?”
Rafika menoleh ayahnya, dan langsung memeluk lelaki kesayangannya. Ayahnya mengusap punggung Rafika penuh kasih.
“Maafkan Fika yah. Maafkan, Fika.”
Ayahnya makin terheran. Ia melepaskan rangkulan ayahnya dan kini ia mencium lutut ayahnya.
“Maafkan Fika Yah.”
“Ada apa, Nak?”
Rafika mencari kata-kata yang tepat untuk menceritakan itu kepada ayahnya berharap ayanya tidak murka. Tapi sudah duluan diserobot oleh keluguannya.
“A..a..ku diperkosa, Yah”kata Rafika terbata-bata.
Ayahnya terkejut. Ternyata ibunya yang menguping dari tadi seketika pingsan.
“Apa!!”
“Aku diperkosa, Yah.”
“Apa???” tanya ayahnya berang, mukanya memerah. Matanya awas.
“Betul Yah.”
“Siapa? Kurang ajar.”
Rafika terdiam. Meski Osman telah berlaku bejat padanya, rasa cinta kepada Osman masih mengepul. Disamping wajahnya ganteng Osman juga sering memberikan hadiah kepada Rafika. Kebaikan kecil itu membuat Rafika mengelak memberitahu pelaku itu. Cinta tetap cinta.
Ayahnya mengoyang tubuh Rafika. Ia masih terdiam.
“Siapa?!!”bentak ayahnya.
“Osman Yah” tak tahan melihat kesedihan Ayahnya, nama itu keluar sangat berat dari mulutnya.
Ayahnya berang. Dia kenal betul ayah Osman. Kawannya pergi ke gunung. Di kala mengingat bantuan yang pernah diberikan oleh ayah Osman. Kemurkaannya sedikit surut. Parang yang sudah ada di tangan jatuh. Dulu ayah Rafika bangkrut dari usaha dagang. Orang sering datang ke rumahnya buat menagih utang. Dia harus minggat dari desa. Dengan bantuan yang ditawarkan ayah Osman. Dia bisa kembali lagi berkumpul dengan keluarganya.
Kesal, marah, iba bercampur aduk dalam relung hati ayah Rafika. Ibunya yang pingsan dibawa ke kamar. Rafika perempuan satu-satunya yang kini berkuyup hina. Rafika masih menutup diri. Ayahnya menyimpan benci sekaligus bingung cara menghadapi ayah Osman. Utang budi kadang membuat orang harus tunduk pada keadaan, walau genting sekalipun.
Dua bulan mereka memendam kemurkaan itu. Dalam dua bulan itu Rafika nampak begitu pucat. Perut sudah mulai terasa sakit, kerap dia berteriak di tengah malam hingga membuat kedua orang tuanya terjaga. Lantas mereka membayangkan apa yang sedang terjadi.
“Apa dia hamil Ma?” Tanya ayah Rafika.
Istrinya bangkit, menatap suaminya lekat-lekat. Mereka masuk ke kamar Rafika. Suara orang sedang muntah terdengar dari kamar mandi. Mereka berkeringat, menarik nafas panjang. Apa yang harus mereka lakukan?
Keesokan harinya. Kemarahan mengeluarkan taringnya. Ayah Rafika memberanikan diri untuk menuntut apa yang sedang dilakukan Osman. Dengan langkah cepat dia pergi ke desa sebelah, mengecohkan jasa ayah Osman. “Ah peduli amat, anakku tidak setimpal dengan apa yang pemberiannya, kurang ajar.”Dia bergumam geram. Tangannya tergepal di saat pintu rumah Osman diketuk.
Belum sempurna pintunya terbuka.
“Mana Osman? Mana Osman?”
Ibu Osman terkaget-kaget.
“Ada apa Bang Muis?”
“Mana Osman kutanya”.
Ayah Osman keluar.
“Ada apa?”
“Mana Osman?” Ayah Rafika berteriak kalap.
“Osman pergi ke pasar.” Balas Yakob.
“Baiknya duduk dulu Muis.” Suruh ibu Osman yang sedang menutup pintu.
Akhirnya nalar ayah Rafika sembuh. Dia terduduk di atas kursi jok. Darah dalam tubuhnya seketika kembali bekerja normal tatkala melihat senyum Ibu Osman.
“Rafika…anakku hamil,” kata Muis terisak.
“Jadi, kenapa marah-marah datang ke rumah kami?” Tanya Yakob, istrinya mengangguk.
“Osman telah memperkosanya.”
Barulah petir menyambar, menghantam kalbu Yakob dan istrinya. Mereka terkejut bukan main. Seakan tidak percaya apa yang baru saja mereka dengar. Bagaimana tidak. Yakob termasuk orang yang disegani di desanya. Istrinya sering pergi ke pengajian juga dihormati oleh kaumnya. Mereka sangat dermawan membantu siapa saja yang membutuhkan.
“Astagfirullah.”Desah Yakob.
Istrinya terduduk. Matanya berkaca-kaca tak kentara mengingat putranya yang sudah mencoreng nama baiknya. Suara pintu terdengar. Osman melangkah masuk tanpa rasa bersalah. Orang tuanya menatapnya berang sedangkan ayah Rafika menunjukkan ekpresi layaknya seorang pembunuh.
“Kau duduk!” Bentak Ayahnya.
Osman berpura-pura menjadi orang bingung. Dia meluncur ke kamarnya. Ayahnya masuk dan menyeretnya keluar.
“Kurang ajar, apa yang sudah kau lakukan kepada Rafika?” Bentak ayahnya.
Osman terdiam. Menggelengkan kepala
“>Tidak apa-apa” balas Osman santai.
“Kau telah memperkosanya, anak yang tidak tahu diuntung” Ayahnya kembali membentak Osman.
Dia masih mengelak. Ayah Rafika makin berang. Yakob kalap. Tinju melayang ke arah kepala Osman. Dia tersungkur. Ibunya mengambil alih dan membangunkan Osman yang sedang tersungkur.
“Kau manjakan terus anak kurang ajar ini. Anak yang sudah membuat kita malu.” Kata Yakob kepada istrinya.
Ayah Rafika masih duduk menyaksikan adegan yang begitu mengesankan.
“Kenapa kau lakukan itu nak?”
Barulah mulut kecil Osman terbuka.
“Terpaksa Bu, aku sangat menyukainya tapi di saat itu aku terhanyut akan kecantikannya”
“Kurang ajar kau, anak yang tidak tahu diuntung” nyeloros ayahnya.
“Ya sudah, kamu masuk ke dalam.” Kata ibunya.
Bertemulah kedua orang tua mereka. Mengajak Muis untuk berdamai dan mereka siap menebus kesalahan anaknya. Apapun yang diminta, akan mereka sanggupi.
“Begini saja. Mereka kita nikahkan saja sebelum banyak yang tahu tentang hal ini.” Ucap Yakob dengan nada diplomatis.
“Tapi umur mereka masih sangat muda, Yah” sela istrinya.
“Sekarang bukan soal umur, tapi soal kehormatan. Bagaimana Muis?.
Ayah Rafika menarik nafas panjang.
“Apalagi yang harus aku lakukan. Hanya ini jalan yang terbaik.”
Acara pernikahan pun digelar. Setelah dua bulan Rafika tidak melihat Osman, kini sudah menjadi suaminya. Aib itu akhirnya tertutup, hanya keluarga mereka saja tentang rencana itu.
Dua bulan setelah menikah, biduk rumah tangga begitu damai bahkan mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Bulan berikutnya ketidakmatangan terhunus. Keributan sering terjadi di dalam rumah Rafika. Tamparan sering dirasakan oleh Rafika. Osman masih bersikap seperti remaja. Dia tidak pernah pulang ke rumah. Masa lalu yang kelam sering diungkit-ungkit, tak jarang membuat Rafika menangis sementara orang tuanya sudah lelah menasehati dan berserah kepada kehendak Ilahi. Genap tujuh bulan usia pernikahan, seorang bayi kecil muncul ke dunia. Osman masih belum percaya kalau itu anaknya. Anak yang dihasilkan di tepi sungai, di bawah dedaunan pohon kecil. Kini Rafika merawatnya seorang diri sementara Osman sudah pergi jauh merantau ke Malaysia hingga anaknya masuk sekolah tingkat pertama, Osman masih belum kembali. "Barangkali dia sedang berpora dengan wanita lain, ah biarlah, cinta sudah terlanjur menipuku." Dia bergumam sambil melihat anaknya yang sedang bermain.
artikel yang sangat luar biasa sahabat,saya harus belajar dari anda,sungguh karya yang sangat hebat,sukses selalu rakan @abduhawab
@mukhtarilyas, layak untuk di bukukan sebagai kumpulan cerpen pak @abduhawab, dalam kenyataan tokoh oesman dan fika banyak terjadi. Semoga jadi pelajaran juga , jangan jatuh pelukan conta buta. Jaga putra putri kita dan berikan kasih sayang dan cinta yang cukup.
Hmm,,,setelah kalimat demi kalimat saya lalui, antara oesman dan rafika saya sedikit berkesimpulan bahwa, suatu dosa yang dilakukan dengan Cinta lebih bernilai ketimbang suatu ibadah tanpa Cinta. Sebab, Ibadah tanpa cinta tidak memperoleh ganjaran selain membuang-buang tenaga. Suatu dosa yang dilakukan dengan Cinta, tentu saja tetap diancam dengan siksaan tapi setidaknya perbuatan itu bisa dinikmati. Seperti yang oesman lakukan, saya dan beberapa orang teman disamping saya saat ini sangat mengutuk keras perbuatannya. Good luck bg @abduhawab sangat menginspirasi
Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by abduhawab (koffieme) from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, theprophet0, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.
If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.
inilah yang terjadi kalau cinta didasari nafsu, bukan karena tulus. Pasti ujung-ujungnya siwanita yang jadi korban, perbuatan Osman membuat saya sebagai laki-laki ikut malu, Masa depan Rafika jadi hancur, meskipun akhirnya mereka menikah. Semoga kelak Rafika dipertemukan dengan laki-laki yang betul-betul mencintainya dengan tulus. Kisahnya sangat menyentuh sekali bang @abduhawab😞
Selalu saya habiskan cerpen Bang @abduhawab.. Point sakralnya ini.. "Utang budi kadang membuat orang harus tunduk pada keadaan, walau genting sekalipun."
Osman ni melebih orang sini Qrasa kasarnya bg
great post dear friend
Banyak kisah nyata seperti uraian di atas. Beda lagi dengan Jamrud dengan Putrinya. Atau lebih pas Suti dengan Tejonya.