Hamka 4#: Tuduhan Ingin Menjadi Menteri

in #esteem7 years ago (edited)

image
Foto: Tempo, 1974
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=120386411974855&set=a.113877925959037.1073741840.100020104894588&type=3&theater
Tuan dan Puan Steemians...

Di bumi ini, rasa dengki sangat sulit dihapus. Bahkan rasa itu terus saja tumbuh di benak sebagian kita. Rasa itu bukan dibenam, tapi justru dipelihara oleh sebagian mereka, atau oleh kita sendiri yang selalu saja gundah dengan kesuksesan orang lain.

Pada era 1970an Hamka juga pernah "terganggu" dengan isu tak menentu yang dihembuskan oleh mereka yang (mungkin) telah dirasuki kedengkian. Isu itu terus saja beterbangan kian kemari sehingga Hamka benar-benar merasa "terusik."

Saat itu, Hamka dituding berambisi menjadi menteri pada masa pemerintahan Soeharto. Semua tindakan Hamka pada tahun-tahun itu, oleh si pembuat isu, dihubungkan dengan "keinginan" menjadi menteri.

Ada tiga aktivitas Hamka yang dijadikan dasar oleh si pembuat isu untuk menuduh Hamka sedang mengincar kursi menteri.

Pertama, pada 1969, Muhammadiyah membuat keputusan untuk berhari raya Idul Fitri pada 10 Desember. Sementara Hamka yang juga seorang pemuka Muhammadiyah justru memilih berhari raya pada 11 Desember, berbeda dengan Muhammadiyah.

Kedua, pada akhir Januari 1970 berhembus kabar bahwa pemerintah melarang umat Islam naik haji atas usaha sendiri. Para jamaah haji yang sudah terlanjur berangkat ke luar negeri ditahan oleh KBRI di Singapura sejumlah 700 orang.

Menyikapi kejadian ini, Hamka sempat memperingatkan pemerintan melalui tulisannya yang terbit di Harian Abadi. Hamka menyampaikan bahwa melarang orang menunaikan haji adalah perbuatan yang melanggar aturan dalam Alquran.

Ketiga, pada saat itu, Hamka juga menerima permintaan Kejaksaan Agung untuk menjadi saksi ahli atas dakwaan yang menimpa H.B Jassin dan Majalah Sastra. Kesaksian Hamka dimaksudkan untuk menguatkan dakwaan dari Kementerian Agama atas sebuah tulisan di majalah Sastra.

image
Foto: Pandji Masjarakat, 1959
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=140258079987688&set=a.140257789987717.1073741861.100020104894588&type=3&theater

Akibat tiga kejadian tersebut, muncullah desas-desus bahwa Hamka sengaja berbeda dengan Muhammadiyah dalam perayaan Idul Fitri, mengkritik menteri karena persoalan haji dan juga kesediaanya menjadi saksi dalam kasus Majalah Sastra H.B Jassin adalah untuk menarik perhatian Presiden Soeharto agar diangkat menjadi menteri.

Mirisnya lagi, saat itu, para muballigh Muhammadiyah di Jakarta juga melakukan "kampanye" di mana-mana dengan menuding Hamka telah mengkhianati Muhammadiyah sebab merayakan Idul Fitri pada hari yang ditetapkan pemerintah, 11 Desember. Dalam beberapa pidato, para muballigh Muhammadiyah di Jakarta juga menuduh Hamka berambisi menjadi menteri.

Bahkan dalam salah satu pertemuan di Jakarta, yang dihadiri oleh ratusan warga Muhammadiyah, Prof. Dr. Aboebakar Atjeh menyampaikan kepada para warga Muhammadiyah bahwa Hamka sengaja berhari raya menyamai pemerintah karena berharap tiket dari pemerintah untuk terbang ke luar negeri.

Tapi tanpa diduga, seperti dicatat Hamka dalam artikelnya di Panji Masjarakat edisi Februari 1970, beberapa hari setelah menyampaikan pidatonya, Prof. Aboebakar Atjeh tiba-tiba berjumpa dengan Hamka di sebuah toko buku.

Seketika saja, catat Hamka, Aboebakar Atjeh memeluk Hamka dan meminta maaf atas ucapannya beberapa hari sebelumnya. Hamka tersenyum mendengar permintaan Aboebakar Atjeh dan berkata kepada sahabatnya itu:

"Saudara sejak semula telah saya maafkan. Karena saudara ini seorang yang sedang sakit darah tinggi. Sebab itu, kalau marah, saudara tak dapat mengendalikan diri. Mungkin hari itu telah keluar pula ucapan-ucapan taik kucing"

Meskipun Aboebakar Atjeh telah melemparkan tuduhan tak berdasar kepadanya, tapi Hamka memaafkan sahabatnya itu.

Sementara itu, di Tebet, Amiruddin Siregar, melalui pemancar radio, meminta agar Hamka dikeluarkan dari Muhammadiyah. Amir juga menuduh Hamka ingin menjadi menteri.

Uniknya lagi, Hamka juga mendapat kartu ucapan selamat hari raya bernada ejekan dari seseorang di Kramat. Di kartu tersebut tertulis: "Selamat masuk NU. Kapan dilantik jadi menteri?"

Tidak hanya itu, teguran Hamka kepada menteri Idham Chalid dan Dachlan karena persoalan haji, juga dituding sebagai strategi Hamka untuk menyingkirkan mereka dari kursi menteri agar kemudian Hamka diangkat sebagai menteri.
Akhirnya informasi Hamka akan menjadi menteri pun tersebar luas.

Dalam kondisi demikian, tersebar pula berita bahwa kesediaan Hamka menjadi saksi dalam sidang cerpen "Langit Makin Mendung" di majalah Sastra yang dipimpin Jassin adalah untuk mencari muka pada pemerintah agar Hamka diangkat sebagai menteri.

Bahkan, seorang pengarang yang merasa simpati kepada H.B. Jassin sempat datang ke rumah Hamka pada malam hari guna mencela sikap Hamka yang bersedia menjadi saksi di persidangan.

Padahal, menurut Hamka, cerpen di majalah sastra tersebut telah memicu amarah umat Islam sehingga Menteri Agama mengambil sikap membawanya ke pengadilan. Dan kehadiran Hamka di persidangan tentunya sangat dibutuhkan demi meredam amarah umat Islam.

Konyolnya lagi, si pengarang yang datang ke rumah Hamka ini juga mencoba mengecek salah seorang cucu Hamka yang kabarnya mirip Soeharto.

Waktu itu salah seorang anak Hamka sempat marah karena anaknya (cucu Hamka) disebut mirip Soeharto sebab Hamka sudah sangat dekat dengan Soeharto dan akan diangkat menjadi menteri.

Akibat kabar tidak jelas tersebut sudah tersebar luas, akhirnya Hamka menulis sanggahannya dalam sebuah artikel di Pandji Masjarakat dengan tajuk "Djiwa Merdeka dalam Negara Merdeka."

image
Artikel Hamka di Majalah Pandji Masjarakat, Februaru 1970/ Koleksi @tinmiswary

Hamka mengkritik pikiran orang-orang yang menganggap puncak karir seseorang adalah menjadi menteri. Hamka juga menyatakan bahwa tidak semua orang yang kritis bercita-cita menjadi menteri.

Padahal, tulis Hamka, kalau ia ingin jadi menteri, sudah bisa didapatkannya dari dulu, sewaktu Partai Masjumi masih berkibar. Tapi dia memang tidak pernah berhajat menjadi menteri.

Bahkan, pada tahun 1959, Hamka memilih keluar dari pegawai negeri, padahal Hamka berstatus sebagai pegawai tinggi golongan F di Kementerian Agama.

Dalam artikelnya itu Hamka juga menegaskan bahwa pujian yang ia sampaikan kepada pemerintah bukan karena ia ingin menjilat. Demikian pula, kritik yang ia ajukan kepada pemerintah juga bukan untuk meraih kedudukan.

Apa yang ia dapatkan selama ini, tambah Hamka, adalah atas usahanya sendiri sebagai pengarang, bukan pemberian pemerintah. Dia dikenal di mana-mana, sampai ke luar negeri pun bukan sebab pemerintah, tapi dari karya dan goresan penanya sendiri.

image
Foto: Majalah Santunan, 1980
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=119392045407625&set=a.113877925959037.1073741840.100020104894588&type=3&theater

Bagi Hamka, "melacurkan keyakinan hidup adalah satu kehinaan." Sebab itu dia tetap berusaha konsisten dengan sikapnya. Jika pemerintah itu baik, dia akan memuji. Sebaliknya, jika pemerintah melakukan kesalahan, ia tak segan mengkritik.

Di akhir artikelnya, Hamka menulis:

"Meskipun dalam kemiskinan benda, saya merasai kemerdekaan dan kebebasan jiwa."

Demikian dulu Tuan dan Puan Steemians, lain waktu disambung kembali...

image

Part 1: https://steemit.com/indonesia/@tinmiswary/hamka-1-mengislamkan-gubernur-serawak

Part 2: https://steemit.com/indonesia/@tinmiswary/hamka-2-berkunjung-ke-pulau-penjengat-14f43b93488ff

Part 3: https://steemit.com/indonesia/@tinmiswary/hamka-3-berkunjung-ke-irak-c11e0ff106922

Sort:  

Alfatiha untuk Buya Hamka

Terima kasih telah memberikan kami catatan sejarah yang banyak diantara kami tidak mengetahui kejadian dimasa itu

Terima kasih juga sudah sedia membaca😁

Banyak hal yang dapat dipelajari sosok Hamka ini, Bung. Beliau memang sufinya kesusasteraan disamping menjadi orang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. makasih infonya.